Rabu, 15 Maret 2017


BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK


 BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Perkembangan Konseling Kelompok.
1.  Periode Pertama
Perkembangan gerakan bimbingan pada periode ini diprakarsai oleh Frank Parson yang dikenal sebagai pendiri dan pelopor gerakan bimbingan jabatan di Amerika dengan menuliskan sebuah buku yang berjudul Choosing a Vocational dan pada tahun 1908 mendirikan Vocational Bureau of Boston di Boston yang memberi pelayanan bantuan kepada mereka yang mendapat kesulitan mencari pekerjaan. Bimbingan pada masa ini baru mencakup bimbingan jabatan.  Pada tahap awal ini disebut sebagai Periode Parsonia, bimbingan dilihat sebagai usaha mengumpulkan berbagai keterangan tentang individu dan jabatan, keterangan itu kemudian dipasang-dicocokkan yang akhirnya menentukan jabatan apa yang paling cocok untuk individu yang dimaksudkan.
2.  Periode Kedua
Pada periode ini gerakan bimbingan menekankan pada bimbingan pendidikan, bimbingan baru menjadi sebagian dari program pendidikan di sekolah. Pada tahun 1915 Charles L. Jacobs dari California menerbitkan buku Manual Training and Vocational Education, dalam buku ini pekerjaan bimbingan dibagi tiga bagian yaitu bimbingan pendidikan (educational guidance), bimbingan jabatan (vocational guidance) dan bimbingan di luar jabatan resmi misalnya masalah hobi (avocational guidance). Pionir lain yang mengawali bimbingan sebagai program pendidikan di sekolah yaitu Jessie B. Davis, Anna Reed, dan Eli Weaver. Pada periode ini bimbingan dirumuskan sebagai suatu totalitas pelayanan yang secara keseluruhan dapat diintegrasikan ke dalam upaya pendidikan. Pada masa ini rumusan konseling juga belum dimunculkan.
3.   Periode Ketiga.
Pada periode ini pelayanan untuk penyesuaian diri mendapat perhatian utama. Pelayanan bimbingan tidak hanya pada usaha-usaha pendidikan dan mencocokkan individu untuk jabatan-jabatan tertentu saja namun juga pelayanan bagi peningkatan kehidupan mental. Dalam kaitan itu secara keseluruhan bimbingan ditekankan untuk membantu penyesuaian diri individu terhadap diri sendiri, lingkungan dan masyarakat. Pada periode ini rumusan konseling mulai dimunculkan. Para ahli bimbingan pada periode ini menyadari bahwa apa yang mereka lakukan “bukan hanya sekedar menyediakan bimbingan atau memberikan latihan”, mereka membantu indidvidu memcahkan masalah-masalah dalam kehidupan individu itu yang kadang-kadang amat pelik dan membesar (Belkin, 1975).  Rumusan konseling pada periode ini secara nyata memperlihatkan bahwa konseling merupakan salah satu bentuk pelayanan bimbingan di antara sejumlah pelayanan lainnya, seperti bimbingan jabatan dan bimbingan pendidikan. Perkembangan lebih lanjut pada periode ketiga ini lebih menonjolkan peranan pentingnya konseling di antara keseluruhan bentuk-bentuk pelayanan bimbingan, sampai-sampai konseling dianggap jantung hatinya bimbingan.
4.   Periode Keempat
Pada periode ini gerakan bimbingan menekankan pentingnya proses perkembangan individu. Pelayanan bimbingan dihubungkan dengan usaha individu untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya, membantu individu dalam mengembangkan potensi dan kemampuannya dalam mencapai kematangan dan kedewasaan menjadi tujuan yang utama. Menurut Myrick (dalam Mayers,1992) perkembangan individu secara tradisional dari dulu sampai sekarang  menjadi inti dari pelayanan bimbingan. Sejak tahun 1950-an orientasi perkembangan bimbingan dan kosneling sejalan dengan konsepsi  tugas-tugas perkembangan yang dicetuskan oleh Havighurst (Hansen, at.al.1976) Dalam hal itu peranan bimbingan dan konseling adalah memberikan kemudahan bagi gerka individu menjalani alur perkembangannya.
5.   Periode Kelima
Pada periode ini tampaknya ada dua arah yang berbeda yaitu kecenderungan yang ingin kembali ke periode pertama dan kecenderungan yang lebih menekankan pada rekonstruksi  social dan personal dalam rangka membantu memecahkan masalah yang dihadapi individu. Pada dua tahap terakhir tampaknya terjadi tumpang tindihnya pengertian bimbingan dan konseling, yang satu dapat dibedakan dari yang lain, tetapi tidak dapt dipisahkan satu sama lainnya. Perkembangan selanjutnya Belkin (1975) secara tegas menolak konsep, rumusan ataapu penjelasan yang mengecilkan arti istilah konseling.Dia mengusulkan akan lebih baik dan menguntungkan untuk membangun rumusan konseling yang meliputi segala sesuatu yang selama ini disebutkan sebagai pelayanan bimbingan. Untuk selanjutnya istilah bimbingan tidak dipakai lagi dan diganti dengan istilah konseling.
Pada tahun 1907 , Jesse B.Davis mengembangkan kerja kelompok di sekolah untuk bimbingan kejuruan dan moral ( Glanz & Hayes,1967, dalam Gladding,1995). Pada tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an, bimbingan kelompok di sekolah dipusatkan pada tema –tema pribadi dan kejuruan. Saat itu  kegiatan bimbingan kelompok menjadi tanggung jawab wali kelas. R.D Allen ( 1931, dalam Gladding,1995), mengembangkan bimbingan kelompok  itu  menjadi konseling kelompok. Pada tahun 1950 bimbingan kelompok digantikan dengan konseling kelompok dan menjadi sangat populer sebagai salah satu cara utama untuk membawa perubahan tingkah laku. Pada tahun 1980, popularitas konseling kelompok ditingkatkan, teori dan praktek diperbaiki. Pada tahun 1989, Gazda menawarkan penggunaan “konseling kelompok perkembangan”. Pada tahun 1990, konseling kelompok terus berkembang dan mulai ditingkatkan penggunaannya di sekolah, sebagai salah satu cara mempengaruhi kemajuan pendidikan dan kemampuan sosial.

B.     Posisi Konseling Kelompok dalam Setting sekolah.
Era globalisasi dan informasi yang begitu pesat mengakibatkan meningkatnya konflik dan kecemasan. Pendidikan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang. Upaya penmdidikan adalah upaya normatif. Proses pendidikan menyangkut pengembangan seluruh dimensi kepribadian manusia.Sasaran umum pendidikan yang juga sasaran kegiatan konseling yaitu pengembangan potensi peserta didik. Pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja dalam rangkaian upaya pemberian bantuan. Pada tataran Makro, eksistensi konseling dalam pendidikan dijamin oleh UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989 dan PP no 28 dan 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Profesi konseling makin kokoh dengan ditetapkannya istilah “konselor”sebagai salah satu tenaga kependidikan dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003.
Dahlan ( dalam Mungin,2005:10) menyatakan bahwa bimbingan dan konseling tidak lepas dan melepaskan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan.m Intervensi konseling dalam merealisasikan fungsi pendidikan akan terarah pada upaya membantu individu.Konseling kelompok sebagai bentuk upaya pendidikan mengemban tanggung jawab untuk membantu individu mampu menyesuaikan diri terhadap dinamika dan perubahan kehidupan sosial. Profesi konseling sebagai profesi bantuan diabdikan bagi peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan.

C.    Kerja Kelompok
1.                              Arti Kelompok
Webster s New World Dictionary memberikan definisi kata kelompok, satu diantaranya adalah bahwa kelompok bercirikan interaksi antar anggota dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap unit diubah oleh anggota kelompoknya.
Kumpulan individu dapat menjadi kelompok bila (1) ada interaksi antar individu tersebut,(2) anggota berusaha mencapai beberapa tujuan, (3) anggota tidak mendapat paksaan dari siapapun.

2.Tipe-tipe Kelompok Sosial
Pertama, kelompok primer dan kelompok sekunder
Kelompok primer merupakan kelompok yang anggotanya bertemu secara langsung, saling membantu dan menangani berbagai masalah yang ada. Ciri-ciri kelompok primer : (1) kelompok kecil; (2) kesamaan latar belakang anggota; (3) kepentingan pribadi yang terbatas; dan (4) intensitas dan kepentingan yang sama.  Sedang kelompok sekunder adalah kelompok yang anggotanya tidak seintim dan sedekat seperti kelompok  primer.
Kedua, kelompok dalam dan kelompok luar
Kelompok dalam adalah kelompok yang identitas individu berkaitan dengan ciri-ciri pribadi.. Ekspresi tingkah laku subyektif sering muncul. Kelompok luar diartikan dengan individu yang berkaitan dengan kelompok dalam, biasanya ditunjukkan dengan ekspresi kontras antara”kita/kami “dengan “mereka”, atau “orang lain”. Tingkah laku kelompok luar ditandai dengan ekspresi perbe3daan, dan kadang dengan angoisme, prasangka, kebencian dan apatis.
Ketiga, kelompok fisik dan kelompok sosial.
Kelompok fisik ditandai dengan struktur informal, beberapa peraturan, keanggotaan bersifat sukarela, homogenitas usia anggota, dan tidak ada tujuan pasti. Tujuannya adalah memuaskan kebutuhan emosi anggota. Sedang kelompok sosial ditandai dengan tujuan-tujuan yang jelas, perbedaan usia dan status anggotanya. Kelompok sosial ini berorientasi pada pemecahan masalah.
Keempat, kelompok sementara dan kelompok berkelanjutan
Kelompok sementara terdiri dari mereka yang hadir saat kelompok dimulai. Sedangkan kelompok berkelanjutan merupakan kelompok yang mempunyai tahap-tahap perkembangan. Ini sering menimbulkan masalah komunikasi, penerimaan dan pencapaian kesiapan untuk berpartisipasi secara penuh bagi angota-anggota.

3.Dinamika Kelompok.
Dinamika kelompok mengacu pada kekuatan interaksi dalam kelompok saat mereka berorganisasi dan beroperasi untuk mencapai tujuannya.Produktifitas kelompok merupakan fungsi interaksi yang harmonis antar anggota dalam melaksanakan proses dan mematuhi prosedur atau aturan main yang diberlakukan oleh anggota kelompok.

4.Proses Kelompok
Proses yang dimaksud merupakan gerakan yang berkesinambungan, dinamis dan terarah.  Proses  kelompok mengacu  pada dua orang  atau lebih yang bekerja  sama atas dasar beberapa kebutuhan /masalah/tujuan tertentu. Prosesnya meliputi tiga cara yaitu :anggota dengan anggota, anggota dengan kelompok, dan kelompok dengan anggota. Proses kelompok  adalah cara anggota bekerja sama atas dasar moral, sifat kohesif dan kerja sama.

5.   Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan kelompok dimana pimpinan kelompok menyediakan informasi dan  mengarahkan  diskusi agar anggota kelompok menjadi lebih sosial atau mencapai  tujuan bersama. Tujuan bimbingan kelompok  adalah untuk memberi informasi dan data untuk mempermudah pembuatan keputusan dan tingkah laku. Bimbingan kelompok bersifat preventif.
Gazda menyimpulkan bahwa bimbingan kelompok diorganisasi untuk mencegah perkembangan masalah, isi utamanya meliputi informasi penmdidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial. Anggota kelas berjumlah 20-30 orang. Peranan anggota (a) berpartisipasi aktif dalam dinamika interaksi sosial,,(b) menyumbang bagi pembahasan masalah, dan (3) menyerap informasi untuk diri sendiri. Suasana interaksi multi arah, mendalam. Sifat pembicaraan umum, tidak rahasia dan kegiatan berkembang sesuai tingkat perubahan dan pendalaman masalah/topik.

6.                              Konseling Kelompok
Konseling kelompok adalah suatu proses interpersonal yang dinamis yang menitikberatkan pada kesadaran berpikir dan tingkah laku, melibatkan fungsi terapeutis, berorientasi pada kenyataan, rasa saling percaya, ada pengertian, penerimaan dan bantuan.
Ohlsen(1977) menyatakan bahwa konseling merupakan pengalaman terapeutik bagi orang yang tidak memiliki masalah emosional yang serius. Dalam konseling kelompok ada hubungan antara konselor dengan anggota kelompok penuh rasa penerimaan, kepercayaan dan rasa aman.
Gazda dkk (1967), menyatakan bahwa konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang dinamis dan terpusat pada pemikiran dan perilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi terapi. Gazda membuat beberapa perbedaan antara bimbingan dan konseling kelompok adalah (1) bimbingan kelompok disarankan untuk semua siswa, konseling kelompok untuk mereka yang memiliki masalah sesaat/berkesinambungan,(2) bimbingan kelompok membuat usaha tidak langsung untuk mengubah tindakan dan tingkah laku dan menekankan  fungsi kognitif, sedangkan konseling kelompok memberi usaha langsung untuk memodifikasi perilaku dan menekankan fungsi afeksi; dan (3) bimbingan kelompok bisa diterapkan untuk kelompok seukuran kelas, sementara konseling kelompok diterapkan untuk kelompok kecil yang terdiri atas 3-4 siswa.
Tujuan dalam konseling kelompok adalah pengembangan pribadi, pembahasan dan pemecahan masalah pribadi anggota kelompok. Peranan anggota kelompok (a) berpartisipasi aktif dalam dinamika interaksi sosial, (b) menyumbang bagi pemecahan masalah pribadi anggota kelompok, dan (c) menyerap informasi, saran dan berbagai alternatif untuk pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Suasana interaksi yaitu multi arah, mendalam dan tuntas, melibatkan aspek kognisi, afeksi dan kepribadian.Sifat pembicaraan pribadi dan rahasia dan lama kegiatan sesuai tingkat pendalaman dan penuntasan masalah.

7.                              Konsultasi Kelompok keluarga
Fullmer melaporkan bahwa penggunaan kelompok kecil sebagai model belajar-mengajar untuk mengubah perilaku sesorang. Menurut Fullmer bahwa konsultasi kelompok keluarga untuk (1) memperbaiki komunikasi dan interaksi dalam keluarga,(2) mengurangi distorsi anggota keluarga atas kejadian yang bersifat situasional,(3) mengembangkan kesadaran anggota atas realita dan dampaknya pada orang lain, dan (4) mengklarifikasi peranan anggota keluarga dan harapan-harapannya.

8.   Kelompok Berstruktur.
Kegiatan kelompok berstruktur diarahkan kepada pembahasan dan latihan ketrampilan sosial yang dilaksanakan secara berstruktur dan didasarkan pada minat dan kebutuhan yang dirasakan bersama para anggota kelompok.
Pertemuan dalam kelompok berstruktur berlangsung selama kurang lebih 2 jam per minggu dengan rentang waktu empat minggu hingga satu semester. Pada awal pertemuan , para anggota diminta mengisi angket mengenai kemampuan anggota dalam memecahkan masalah. Pada akhir seluruh kegiatan, anggota mengisi angket kedua untuk menilai hasil yang dicapai masing-masing anggota kelompok.

9.Training group(T-Group)
Laboratorium Pelatihan Nasional (1947), mengawali menyelenggarakan lokakarya dan konferensi yang dirancang untuk mendidik anggota tentang hubungan manusia, untuk meningkatkan ketrampilan dirinya dan unuk mengembangkan  individu untuk menjadi pimpinan dalam organisasi yang bersifat dinamis.
Berne dkk, membuat garis besar sejarah T-Group, yaitu camp para psikolog penganut Kurt Lewin, bahwa T-Group sebagai alat meningkatkan ketrampilan manajemen pengelolaan, efisiensi tugas, organisasi dan perubahan sosial,; sedang camp yang lain, terdiri dari ahli psikologi klinis memandang T-Group utamanya berfokus pada dinamika inter dan antar personal. Hasil T-Group adalah meningkatnya kesadaran gaya interpersonal dan meningkatkan ketrampilan komunikasi, pengetahuan tentang dinamika kelompok dan perkembangan kelompok.
Tujuan T-Group adalah membantu individu agar mampu menerapkan apa yang telah dipelajari tentang dinamika kelompok dan hubungan antarpribadi dalam suasana tempat mereka hidup dan bekerja. T-Group merupakan laboratorium untuk belajar tenatang bagaimana belajar dan memusatkan perhatian pada hal-hal yang terjadi pada saat ini dan sekarang. Dengan T-Group, konselor dapat mengetahui anggota kelompok yang kreatif, memiliki inisiatif, bakat memimpin, bersikap positif, bisa bekerjasama, mudah tersinggung, toleran dll.

10.  Kelompok Pertemuan ( Encounter Group )
Encounter group dikenalkan oleh Moreno dalam puisinya yang berjidul Invitation to an Encounter. Penekanan kegiatan kelompok ini adalah memacing dan menyatakan emosi secara penuh. Encounter group membahas masalah yang terjadi “ di sini dan saat ini”dan ditujukan untuk “mengajar” orang hidup “ pada saat ini “. Pada umumnya para peserta belum mengenal satu sama lain.
Enconter group, biasanya berlangsung pada akhir pekan dan anggotanya mengemukakan dirinya dihadapan orang banyak. Fokus utama kegiatan ini adalah pengembanan kesadaran, ekspresi, dan penerimaan perasaan para anggotanya.
Secara umum, tujuan encounter group adalah membantu individu – individu untuk :
a.       Membebaskan aset-aset beku dengan mengekspresikian diri kepada satu pengalaman yang membutuhkan investasi emosional.
b.      Menyadari potensi yang tersembunyi, menemukan kekuatan yang tidak dimanfaatkan, dan mengembangkan kreatifitas dan spontanitas.
c.       Memudahkan pertumbuhan personal dan aktualisasi diri.
d.      terlibat dalam keakraban dan interaksi yang berarti dengan anggota lainnya.
e.       Terbuka dan jujur  dalam berkomunikasi dengan orang lain.
f.       Mempertipis rasa keterasingan dari orang lain.
g.      Mengurangi sikap pura-pura yang menghambat  perasaan intim.
h.      Menjadi terbebas dari nilai-nilai luar dan mengembangkan nilai-nilai dari dalam dirinya.
i.        Mengurangi perasaan terasing dan ketakutan untuk berdekatan dengan orang lain.
j.        Belajar bagaimana meminta sesuatu secara langsung sesuatu yang diinginkan.
k.      Belajar membedakan antara memiliki perasaan dengan tindakan yang dilakukannya.
l.        Meningkatkan kemampouan untuk mengurusi orang lain.
m.    Belajar bagaimana memberi sesuatu kepada orang lain.

11.  Kelompok Sensivitas, Dorongan dan Yang lainnya.
Pelatihan Sensivitas pada awalnya mengacu pada pelatihan kelompok kecil yang fokus utamanya adalah yingkah laku antar dan inter anggota. Perhatian pada peran dan proses-proses kelompok. Hasilnya meliputi klarifikasi nilai kehidupan , meningkatnya sensivitas dan peningkatan diri.
Pelatihan Laboratorium, istilah yang mengacu pada metode pendidikan, yang menekankan kegiatan belajar berdasar pengalaman. Menurut Blumberg, pelatihan laboratorium memberi pelajaran anlogi kelompok atau sistem organisasi yang dihadapi/ada dalam kehidupan sehari-hari.
Kelompok Pengembangan Pribadi, dirancang untuk memperkuat kemampuan individu dalam menghadapi orang dan berjalan secara lebih akurat.
Kelompok Dorongan adalah kelompok yang menekankan perkembangan diri melalui peningkatan kesadaran, eksplorasi intrafisik dan masalah-masalah interpersonal, dan pelepasan batasan-batasan disfungsional.
Kelompok Pengalaman adalah pendidikan bukan terapi. Tujuan kelompok ini adalah pengakuan kompetensi interpersonal, ketrampilan komunikasi dan perubahan pribadi dan organisasi yang bersifat membangun.

12.  Kelompok Marathon ( Marathon Group )
Kelompok marathon bertemu secara terus-menerus minimal 18 jam sampai 24 jam dan maksimal 48 jam. Anggota mengeksplor dan mengekpresikan perasaan dan pandangannya tentang diri dan orang lain, hubungannya dengan orang lain dan cara-caranya berinteraksi.Anggota kelompok akan terjadi perubahan kepribadian di dalam mengerti dan menerima keadaan dirinya.

13.  Kelompok Membantu Diri Sendiri ( Self-help group)
Selp-help group sebagai upaya orang awam menanggulangi persoalan tanpa meminta bantuan lembaga atau perorangan yang memberikan pelayanan profesional. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melindungi diri sendiri anggota kelompok dari tekanan psikologis dan mendorong anggotanya untuk mengubah kehidupannya yang lebih positif. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan di tempat seperti sekolah, masjid, gereja dan kerlompok belajar.

14. Perkembangan Organisasi
Asal perkembangan organisasi ada dalam proses pelatihan laboratorium dan T-Group. Perkembangan organisasi memberlakukan berbagai strategi kelompok yang dirancang untuk membawa perubahan dalam organisasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Huse menyatakan bahwa praktisionir awal perkembangan organisasi berfokus pada individu dan kelompok, yang berasumsi  bahwa perubahan  yang ada akan mengubah seluruh organisasi.

15.                                                                                  Psikoterapi Kelompok
Psikoterapi kelompok didefinisikan sebagai aplikasi prinsip terapi pada dua individu atau lebih secara bersamaan untuk mengklarifikasi konflik psikologisnya sehingga mereka bisa hidup secara normal.
J.L Moreno, mengenalkan istilah psikoterapi kelompok pada awal tahun 1931 yang selanjutnya psikoterapi kelompok ini banyak memberi dasar pemikiran untuk konseling kelompok. Psikoterapi kelompok menganalisis masalah secara mendalam, fokus pada ketidaksadaran, dengan gangguan jiwa atau problema emosi lain yang parah, dan dilaksanakan dalam waktu relatif panjang.
Yalom(1975), menyimpulkan beberapa faktor yang bersifat kuratif  dalam terapi kelompok adalah pembinaan harapan, universalitas, penerangan, altruisme, pengulangan korektif keluarga asal, pengembangan teknik sosialisasi, peniruan tingkah laku, belajar berhubungan dengan pribadi lain, rasa kebersamaan, katarsis, dan faktor eksistensial. Butler an Fuhrman (1983) menambahkan satu faktor yaitu pengertian diri.
Tujuan psikoterapi kelompok, antara lain(1) menjadi lebih terbuka dan jujur terhadap diri dan orang lain,(2) belajar mempercayai diri sendiri dan orang lain,(3) berkembang untuk lebih menerima diri sendiri,(4) belajar berkomunikasi dengan orang lain,(5) belajar akrab dengan orang lain,(6) belajar bergaul dengan sesama atau lawan jenis,(7) meningkatkan kesadaran diri,(8) belajar memberi dan menerima,(9) belajar memecahkan masalah,(10) belajar memberi perhatian pada orang lain,(11) belajar untuk lebih peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain,(12) belajar untuk lebih mengerti bahwa orang lain juga memiliki masalah berat,(13) belajar memberi umpan balik dan konfrontasi demi kepentingan dan perkembangan pribadi orang lain.
Kondisi klien yang tidak direkomendasikan untuk kegiatan kelompok, yaitu (1) klien dalam keadaan krisis,(2) klien sangat takut berbicara untuk berbicara dalam kelompok,(3) klien sangat tidak efektif dalam hubungan pribadinya, atau sama sekali tidak memiliki ketrampilan sosial, (4) klien tidak menyadari akan perasaan, motivasi dan perilakunya,(5) klien menunjukkan perilaku yang menyimpang,(6) klien terlalu banyak minta perhatian dari orang lain sehingga mengganggu kelompok,(7) klien dalam keadaan psikotik akut,(8) klien diperkirakan mengganggu jalannya kegiatan kelompok,(9) klien sangat agresif,(10) klien memiliki masalah kontrol impuls.





BAB II
MAKNA KONSELING KELOMPOK

A.    Pengertian Konseling Kelompok.
Gazda(1984) dan Shertzer&Stone(1980), mendefinisikan konseling kelompok sebagai suatu proses antar pribadi yang dinamis yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari. Proses itu mengandung ciri terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan  secara leluasa, orientasi pada kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan, saling percaya, saling perhatian, saling pengertian dan saling mendukung.
Hansen, Warner&Smith (dalam Larrabee&Terres,1984), menyatakan bahwa konseling kelompok merupakan cara yang amat baik untuk menangaini konflik-konflik antar pribadi dan membantu individu-individu dalam pengembangan kemampuan pribadi mereka. Konseling kelompok berorientasi pada pengembangan individu, pencegahan dan pengatasan masalah (Gazda,1984). Rochman Natawidjaya (1987:33-34) mengemukakan bahwa konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembanga dan pertumbuhannya. Masalah yang dibahas dalam konseling kelompok, menurut Corey(1985:6) lebih berpusat pada masalah pendidikan, pekerjaan, sosial dan pribadi. Sedangkan Gazda(1984), menyebutkan konseling kelompok dapat digunakan untuk membantu individu dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dalam tujuh bidang, yaitu psikososial, vokasional, kognitif, fisik, seksual, moral, dan afektif.
Konseling kelompok lebih menekankan pada pengembangan pribadi, yaitu membantu individu dengan cara mendorong pencapaian tujuan perkembangan dan memfokuskan pada kebutuhan dan kegiatan belajarnya. Kegiatan konseling kelompok merupakan hubungan antar pribadi yang menekankan pada proses berpikir secara sadar, perasaan-perasaan, dan perilaku anggota untuk meningkatkan kesadaran akan pertumbuhan dan perkembanagn individu yang sehat. Konseling kelompok berorientasi pada perkembangan individu dan usaha menemukan kekuatan-kekuatan yang bersumber pada diri individu itu sendiri dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Melalui konseling kelompok individu mencapai tujuannya dan berhubungan dengan individu lain dengan cara produktif dan inovatif(Mc Clure,1990).
Kegiatan konseling kelompok mendorong terjadinya interaksi yang dinamis. Suasana konseling kelompok menimbulkan hubungan yang hangat , akrab, terbuka dan bergairah yang memungkinkan antar anggota saling memberi dan menerima. Melalui konseling kelompok, individu akan mampu meningkatkan kemampuan mengembangkan pribadi, mengatasi masalah-masalah pribadi, terampil dalam mengambil alternatif dalam memecahkan masalah, serta memberi kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu untuk melakukan tindakan yang selaras dengan kemampunannya.
Tujuan konseling kelompok, adalah sebagai berikut :
(a) pemahaman tentang diri sendiri yang mendorong penerimaan  dan perasaan diri berharga,
(b) hubungan sosial, khususnya hubungan antar pribadi serta menjadi efektif untuk situasi-situasi social
(c) pengambilan keputusan dan pengarahan diri,
(d) sensivitas terhadap kebutuhan orang lain dan empati,
(e)perumusan komitmen dan upaya mewujudkannya (Mahler,1969;Dinkmeyer&Munro,1971).

Suasana kelompok yang dipersyaratkan dalam konseling kelompok adalah (a) dinamika interaksi sosial,(b) suasana keterikatan emosional,(c) penerimaan,(d) intelektual,(e) altruistik,(f) katarsis, dan (g) empati (Cartwright&Zender dalam Shertzer&Stone,1980;Dinkmeyer&Munro,1971; Shaffer,1988;Brammer&Shostrom,1982).


B.  Konseling Kelompok sebagai Profesi
 Konseling kelompok sebagai ilmu dan profesi bantuan( helping profession) diabdikan bagi peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan  cara memfasilitasi perkembangan   perkembangan individu aau kelompok individu sesuai kekuatan, kemampuan potensial dan aktual serta peluang-peluang yang dimilikinya, dan membantu menggatasi kelemahan dan hambatan serta kendala yang dihadapi dalam perkembangan  dirinya.
Profesi konseling kelompok merupakan keahlian pelayanan pengembangan pribadi dan pemecahan masalah yang mementingkan pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan pengguna sesuai dengan martabat, nilai, potensi, dan keunikan individu berdasarkan kajian dan penerapan ilmu dan teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi yang dikemas dalam kaji-terapan konseling yang diwarnai oleh budaya pihak-pihak yang terkait. Paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya.
Profesi konseling merupakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku. Masyarakat percaya bahwa pelayanan yang diperlukan hanya dapat diperoleh dari seorang konselor yang kompeten unuk memberikan pelayanan konseling.Public trust akan melanggengkan profesi konseling, karena dalam public trust terkandung keyakinan publik bahwa profesi dan para anggotanya berada dalam kondisi (a) memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus dalam standar kecakapan yang tinggi; (b) memiliki perangkat ketentuan yang mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik;(c) anggota profesi dimotivasi untuk melayani pengguna dan pihak-pihak terkait dengan cara terbaik, dan memiliki komitmen untuk tidak mengutamakan kepentiongan pribadi dan finansial.
Profesi konseling merupakan profesi yang bermartabat, maka perlu didukung oleh (a) pelayanan yang tepat dan bermartabat,(b) pelaksanan yang bermandat, dan (c) pengakuan yang sehat dari berbagai pihak yang terkait. Profesi konseling tidak hanya dipelajari sebagai seperangkat teknik, melainkan sebagai kerangka berpikir dan bertindak yang bernuansa kemanusiaan dan keindividuan. Konseling memiliki peran membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan belajar baru dan memberdayakan mereka memperoleh keseimbangan hidup, belajar dan bekerja ( Mungin Eddy Wibowo,2002:14).
Pendekatan konseling bergeser dari supply-side ke demand-side dengan melakukan  upaya proaktif kepada masyarakat yang menjadi target pelayanan, menggunakan berbagai sumber dan teknologi informasi untuk memperkaya peran profesional, mengembangkan manajemen informasi dan jaringan kerja konselor, serta memanfaatkan berbagai jalur dan setting baik formal maupun nonformal.
Visi profesi konseling  adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang membahagiakan melalui tersedianya pelayanann bantuan dalam pemberian dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar individu berkembang secara optimal, mandiri dan bahagia. Sejalan dengan visi tersebut, maka misi konseling difokuskan kepada: (a) misi pendidikan, yaitu mendidik peserta didik dan warga masyarakat melalui pengembangan  perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian,(b) misi pengembangan, yaitu memfasilitasi perkembangan individu di dalam satuan pendidikan formal dan nonformal, keluarga, instansi, dunia kerja dan industri, serta kelembagaan masyarakat lainya,(c) misi pengentasan masalah, yaitu membantu dan memfasilitasi pengentasan masalah individu mengacu kepada kehidupan sehari-hari yang efektif.

C   Bimbingan Kelompok, Konseling Kelompok dan Konseling Individual.
Meskipun isi dari konseling kelompok menyerupai bimbingan kelompok,namun ada beberapa faktor yang benar-benar berbeda., yaitu :
Pertama, bimbingan kelompok diberikan kepada semua individuuntuk membahas masalah atau topik umum secara luas dan mendalam yang bermanfaat bagi anggota kelompok, sedangkan konsling kelompok membahas dan memecahkan masalah pribadi yang dialami anggota kelompok.
Kedua, bimbingan kelompok menggunakan upaya tidak langsung dalam mengubah sikap dan perilaku klien melalui penyajian informasi yang teliti, sedangkan konseling kelompok menggunakan upaya langsung  untuk mengubah  sikap dan perilaku  dengan menekankan keterlibatan menyeluruh individu yang bersangkutan.
Ketiga, bimbingan kelompok  beranggotakan jumlah besar antara 15 – 30 siswa, sedang konseling kelompok keanggotaannya tergantung kadar kekuatan kebersamaan serta kesediaan setiap anggota kelompok untuk saling memperdulikan terhadap anggota yang lain.
Keempat, Bimbingan kelompok lebih bersifat instruksional, sedangkan konseling kelompok bercirikan komunikasi antar pribadi anggota kelompok serta menggali lebih dalam budi dan hati  masing-masing anggota kelompok.
Kelima,   bimbingan kelompok ditujukan untuk memberikan informasi seluas-luasnya dan lebih bersifat pencegahan, sedangkan konseling kelompok sebagai upaya bantuan kepada individu dalam rangka memberi kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, selain bersifat pencegahan, konseling kelompok bersifat penyembuhan.
Keenam, Isi pembicaraan bimbingan kelompok bersifat umum dan tidak rahasia, sedangkan dalam konseling kelompok bersifat pribadi dan rahasia.
Ketujuh, suasana interaksi dalam bimbingan kelompok multi arah, mendalam dengan melibatkan  aspek kognitif, sedang dalam konseling kelompok multi arah, mendalam dan tuntas dengan melibatkan aspek kognitif, afektif dan aspek kepribadian lainnya.
C.G Kemp(1970), membandingkan antara konseling individual dan kelompok, yaitu konseling kelompok memiliki potensi untuk perubahan yang terapeutis :
1.      Dalam konseling kelompok individu-individu dapat mencobakan sikap-sikap dan idea.
2.      Penerimaan dan pengalaman-pengalaman dari perubahan sikap dicobakan tersebut memperkuat motivasi untuk mengadakan perubahan-perubahan pada dirinya.
3.      Pengalaman kelompok meningkatkan ketrampilan berkomunikasi dengan orang lain, di mana akan berkembang hubungan antar pribadi yang secara genuine.
4.      Memperkembangkan keberanian untuk mencoba memecahkan masalah-masalah pribadi dan konflik-konflik emosional.
5.      Penerimaan dan pengertian dari teman-teman dalam kelompok menghasilkan rasa aman dan rasa bersatu yang akan mendukung proses introspeksi dan ekspresi perasaan-perasaan yang mendalam.
Gazda(1984) membedakan antara konseling kelompok dan konseling individual,yaitu
1.      Hubungan antara pribadi dalam konseling. Dalam konseling kelompok hubungan terjadi antar klin dengan konselor, dan antar sesama klien. Sedangkan dalam konseling individual hubungan antara pribadi antara klien dan konselor saja.
2.      Tanggung jawab klien. Dalam konseling kelompok, selain klien bertanggung jawab atas tingkah lakunya sendiri, juga bertanggung jawab untuk membantu sesama klien. Mereka tidak tergantung pada konselor. Sedang dalam konseling individual klien lebih banyak tergantung pada konselor.
3.      Pusat perhatian. Klien dalam konseling kelompok lebih memusatkan perhatian pada hal-hal yang terjadi dalam kelompok. Sedang dalam konseling individual lebih terpusat pada hal-hal yang terjadi pada “there and then”
4.      Reality testing. Dalam konseling kelompok memberi kesempatan klien untuk mengadakan reality testing terhadap masalah maupun perubahan tingkah laku yang ingin dicobanya. Sedangkan pada konseling individual kemungkinan untuk mengadakan reality testing hanya terbatas pada konselor.
5.      Insight. Dengan kemungkinan mengadakan reality testing dalam konseling kelompok, maka perubahan tingkah laku sering tanpa disertai “insight”. Sedang pada konseling individual diperlukan insight sebelum mengadakan perubahan tingkah laku dalam situasi yang nyata.
6.      Suasana dalam situasi konseling kelompok. Adanya suasana permissiveness, acceptance, support dan tekanan dari kelompok sering mempermudah klien mendiskusikan masalah yang dirasakan sukar baginya.
7.      Jumlah klien yang dapat dibantu. Konseling kelompok memungkinkan konselor membantu lebih banyak klien dibandingkan dengan jumlah klien dalam konseling individual.
Kondisi-kondisi yang sesuai untuk pelaksanaan konseling kelompok,sebagai berikut:
1.      Individu yang ingin belajar memahami berbagai jenis orang dengan baik dan bagaimana orang tersebut menerima segala sesuatu.
2.      Individu yang ingin mempelajari penghargaan yang lebih dalam untuk orang lain, khususnya yang mereka anggap berbeda.
3.      Individu yang ingin mendapatkan ketrampilan sosial.
4.      Individu yang ingin berbagi dengan orang lain atau ingin diakui keberadaannya.
5.      Individu yang ingin bisa berbicara tentang kebutuhan, masalah dan nilai-nilainya.
6.      Individu yang memerlukan reaksi orang lain terhadap kebutuhan, masalah dan kepentingannya.
7.      Individu yang ingin mendapatkan dukungan dari teman sebayanya.
8.      Individu yang ingin melibatkan dirinya sendiri dalam konseling dan bisa menarik diri jika ia merasa terancam.

D.      Kekuatan dan Keterbatasan Konseling Kelompok
1.      Kekuatan-kekuatan konseling kelompok
Pertama, adalah kepraktisan. Dalam waktu relatif singkat konselor berhadapan dengan sejumlah siswa di dalam kelompok dalam upaya membantu memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan pencegahan, pengembangan pribadi dan pengentasan masalah.
Kedua, didalam konseling kelompok anggota akan belajar untuk berlatih tentang perilaku yang baru. Konseling kelompok merupakan mikrokosmik sosial.
Ketiga, dalam konseling kelompok terdapat kesempatan luas untuk berkomunikasi dengan teman-teman mengenai segala kebutuhan yang terfokus pada pengembanagn pribadi, pencegahan, dan pengentasan masalah yang dialami anggota.
Keempat, konseling kelompok memberi kesempatan anggota untuk mempelajari ketrampilan sosial.
Kelima, anggota kelompok mempunyai kesempatan  untuk saling memberi dan menerima bantuan serta berempati dengan tulus di dalam konseling kelompok.
Keenam,motivasi manusia muncul dari hubungan kelompok kecil.
Ketujuh, setiap usaha untuk mengubah perilaku manusia di luar lingkungan alam di mana individu bekerja dan hidup sangat tergantung pada efektifitas tingkat transfer pelatihan.
Kedelapan, konseling kelompok mempunyai manfaat  besar untuk bertindak sebagai miniatur situasi sosial, atau laboratorium yang mana individu tidak hanya mempelajari perilaku baru tetapi bisa mencoba, mempraktekkakn dan menguasai perilaku ini dalam satu situasi yang hampir sama dengan lingkungan yang sebenarnya individu berasal.
Kesembilan, melalui konseling kelompok individu-individu mencapai tujuannya dan berhubungan dengan individu-individu lain dengan cara yang produktif dan inovatif ( Mc Clure,1990).
Kesepuluh, konseling kelompok lebih sesuai bagi siswa yang membutuhkan untuk belajar lebih memahami orang lain dan lebih menghargai kepribadian orang lain.
Kesebelas, dalam konseling kelompok interaksi antar individu anggota kelompok merupakan suatu yang khas, yang tidak mungkin ditemukan dalam konseling individual.
Keduabelas, koseling kelompok dapat merupakan wilayah penjajagan awal bagi anggota kelompok untuk memasuki konseling individual.
Menurut Jacobs,Harvill&Masson (1994), bahwa ada dua pertimbangan dalam penggunaan kelompok. Pertama untuk kepentingan efisiensi, dan kedua, bahwa banyak sumber-sumber atau pendapat dapat diperoleh dalam setting kelompok. Selain dua alasan tersebut, Jacobs dkk, juga mengemukakan tujuh keuntungan yang dapat diperoleh dari konseling kelompok, yaitu (1) perasaan membagi keadaan bersama,(2) pengalaman merasa memiliki,(3) kesempatan untuk berpraktek dengan orang lain,(4) kesempatan untuk menerima berbagai umpan nbalik,(5) belajar seolah-olah mengalami berdasarkan kepedulian orang lain,(6) perkiraan untuk menghadapi kenyataan hidup, dan (7) dorongan teman guna memelihara komitmen.
2.   Keterbatasan konseling kelompok.
Pertama, tidak semua siswa cocok berada dalam kelompok, beberapa diantaranya membutuhkan perhatian dan intervensi individual.
Kedua, tidak semua siswa siap atau bersedia untuk bersikap terbuka dan jujur mengemukakan isi hatinya terhadap teman-temannya di dalam kelompok.
Ketiga, pesoalan pribadi satu-dua anggota kelompok mungkin kurang mendapat perhatian dan tanggapan sebagaimana mestinya.
Keempat , sering siswa mengharapkan terlalu banyak dari kelompok, sehingga tidak berusaha untuk berubah.
Kelima, sering kelompok bukan dijadikan sarana untuk berlatih melakukan perubahan, tetapi justru dipakai sebagai tujuan.
Keenam, sringkali kelompok tidakberkembang dan dapat mengurangi arti  kelompok sebagai sarana belajar, karena hanya untuk kepentingan seorang belaka.
Ketujuh, peran konselor menjadi lebih menyebar dan kompleks, karena yang dihadapi tidak hanya satu orang tetapi banyak orang.
Kedelapan, sulit untukdibina kepercayaan, untuk itu dibutuhkan norma dan aturan main khusus mengenail konfidensialitas.
Kesembilan, untuk menjadi konselor kelompok dibutuhkan latihan yang intensif dan khusus. 

Selain keterbatasan tersebut bahwa kelompok tidak selalu efektif untuk semua orang. Ada beberapa kondisi individu yang perlu diperhatikan , sehingga kelompok tidak dirkomendasikan. Kondisi tersebut adalah: (1) siswa dalam keadaan krisis,(2) siswa takut untuk berbicara di dalam kelompok dan sangat membutuhkan perlindungan,(3) siswa sangat tidak efektif dalam berhubungan  dengan orang lain, atau sama sekali tidak memiliki ketrampilan sosial, (4) siswa tidak menyadari akan perasaan, motivasi dan perilakunya,(5) siswa terlalu banyak minta perhatian dari orang lain sehingga mengganggu kelompok,(6) siswa diperkirakan sangat mengganggu jalannya konsdeling karena keterbatasan ekspresi verbal,(7) siswa sangat agresif, sehingga akan membuat orang lain merasa takut,(8) siswa kurang  memiliki keyakinan diri, harga diri, dan memiliki konsep diri yang negatif.

E.       Persoalan Etis dan Profesional
Sebagai pekerjaan profesional, maka cara kerjanya diatur dalam kode etik yang jelas. Kode etik adalah kode moral yang menjadi landasan kerja bagi pekerja profesional. Etik merupakan standar tingkah laku standar seseorang, atau kelompok  orang, yang didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Setiap kelompok profesi merumuskan standar tingkah lakunya yang dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas dan kewajiban profesi.
Masalah-masalah etis sering menjadi hal yang sulit bagi orang yang mempunyai profesi membantu karena beberapa alasan. Pertama, praktek-praktek etis khusus atau kode etik masih berkembang  yang memberikan arahan yang selayaknya terhadap perilaku etis dalam situasi-situasi yang sangat luas yang dijumpai dalam hubungan-hubungan personal yang bersifat membantu. Kedua, sebagian besar pekerja dalam profesi membantu tidak melakukan praktek sendirian.
Etika berasal dari kata Ethos yang berarti kebiasaan-kebiasaan atau tingkah laku manusia. Etika ialah suatu cabang ilmu filsafat. Menurut Bertens(1996:6), etika memiliki tiga arti : Pertama, etika dalam arti nilai/norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Ketiga, etika dalam arti ilmu tentang baik atau buruk. Konselor dalam melaksanakan tugas profesionalnya perlu memperhatikan kode etik profesi. Kode etik, bagi konselor adalah (1) memberikan pedoman etis/moral berperilaku waktu mengambil keputusan bertindak menjalankan tugas profesi konseling;(2) memberikan perlindungan kepada klien(individu pengguna);(3) mengatur tingkah laku pada waktu menjalankan  tugas dan mengatur hubungan konselor dengan klien, rekan sejawat dan tenaga-tenaga profesional yang lain, atasan, lembaga tempat kerja (jika konselor sebagai pegawai), dan denghan masyarakat;(4) memberikan dasar untuk melakukan penilaian atas kegiatan profesional yang dilakukannya;(5) menjaga nama baik profesi terhadap masyarakat9public trust0 dengan mengusahakan standar mutu pelayanan dengan kecakapan tinggi dan menghindari perilaku tidak layak atau tidak pantas/patut;(6) memberikan pedoman berbuat bagi konselor jika menghadapi dilema etis;(7) menunjukkan kepada konselor standar etika yang mencerminkan pengharapan masyarakat.
Kode etik menjadi penting  sebagai pedoman kerja bagi konselor dalam menjalankan tugas profesinya. Pelanggaran terhadap norma-norma tersebut akan mendapatkan sanksi. Tujuan ditegakkannya kode etik profesi adalah untukLa) menjunjung tinggi martabat profesi,(b) melindungi pelanggaran dari perbuatan malapraktik,(c) meningkatkan mutu profesi,(d) menjaga standar mutu dan status profesi, dan (e) menegakkan ikatan antara tenaga profesi dan profesi yang disandang.
Corey(1985) mengemukakan bahwa hak dan kewajiban yang perlu dijelaskan kepada anggota kelompok adalah sebagai berikut.
Sebelum anggota kelompok memasuki kegiatan kelompok :
1.      Pernyataan yang jelas tentang tujuan kelompok,
2.      Deskripsi tentang bentuk kelompok, prosedur dan peraturan-peraturan lainnya.
3.      Kecocokan proses kelompok dengan kebutuhan peserta.
4.      Kesempatan mencarai informasi tentang kelompok yang akan dimasukinya.
5.      Pernyataan yang menjelaskan pendidikan, latihan dan kualifikasi pemimpin kelompok.
6.      Informasi mengenai biaya yang harus ditanggung peserta, besar kelompok, banyak dan lama pertemuan, arah pertemuan serta teknik yang digunakan.
7.      Informasi tentang resiko psikologis dari keikutsertaan dalam kegiatan kelompok ini.
8.      Pengetahuan tentang keterbatasan kerahasiaan dalam kelompok, yaitu pengetahuan tentang di mana kerahasiaan itu harus dilanggar karena kepentingan bersama dan lasan hukum, etis dan profesional.
9.      Penjelasan tentang layanan yang dapat / tidak dapat diberikan dlm kegiatan kelompok
10.  Bantuan dari pemimpin kelompok dalam mengembangkan tujuan-tujuan pribadi  anggota kelompok.
11.  Pemahamann yang jelas mengenai pembagian tanggung jawab antara pemimpin klompok dan anggota.
12.  Diskusi mengenai hak dan kewajiban anggota kelompok.
 Selama kegiatan kelompok, kepada anggota perlu dijelaskan hal-hal sebagai berikut :
1.      Instruksi mengenai apa yang diharapkan anggota kelompok.
2.      Kebebasan untuk meninggalkan kelompok apabila kegiatan kelompok itu ternyata memenuhi harapan atau kebutuhan anggota yang bersangkutan.
3.      Pemberitahuan tentang adanya maksud penelitian,perekaman dari kegiatan itu, bila memang ada.
4.      Apabila ada perekaman, anggota kelompok berhak menghentikan jika perekaman itu memang mengganggu keikutsertaan anggota yang bersangkutan.
5.      Bantuan dari pemimpin kelompok untuk menterjemahkan hal-hal yang dipelajari dalam mkelompok itu menjadi tindakan-tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
6.      Kesempatan untuk mendiskusikan apa yang telah dipelajari dalam kegiatan kelompok dan mengarahkan pembicaraan ke akhir pertemuan, sehingga anggota kelompok tidak dibiarkan memperoleh pengalaman yang tidak tuntas.
7.      Konsultasi dengan pemimpin kelompok apabila timbul krisis sebagai akibat dari keikutsertaan peserta dalam kegiatan kelompok itu, atau rujukan kepada sumber lain, apabila pemimpin kelompok tidak dapat memberikan bantuan yang diharapkan anggota kelompok tersebut.
8.      Upaya jaminan pihak pemimpin kelompok untuk mengurangi resiko psikologis yang timbul dari kegiatan kelompok.
9.      Penghargaan terhadap keleluasaan pribadi berkenaan dengan pemunculan diri peserta.
10.  Kebebasan dari tekanan kelompok yang tidak adil tentang keikutsertaan dalam latihan-latihan dalam kelompok, pembuatan keputusan, pengungkapan hal-hal yang bersifat pribadi, atau penerimaan saran dari anggota lain.
11.  Ketaatan pemimpin kelompok dan anggota lain terhadap kerahasiaan.
12.  Kebebasan dari pemaksaan mengenai nilai tertentu dari pihak pemimpin kelompok atau anggota lainnya.
13.  Kesempatan untuk memanfaatkan sumber yang ada dalam kelompok untuk kepentingan pertumbuhan peserta.
14.  Hak untuk diperlakukan sebagai individu.
Tanggung jawab anggota kelompok dalam kegiatan dan proses konseling kelompok, meliputi : menghadiri pertemuan secara teratur, menepati waktu, mengambil resiko sebagai akibat dari proses kelompok, bersedia berbicara mengenai diri sendiri, memberikan balikan kepada anggota kelompok lain, memelihara kerahasiaan, dan meminta apa yang dibutuhkan.
Kerahasiaan merupakan asas kunci dalam usaha konseling kelompok.Jika asas ini benar-benar dilaksanakan, maka konselor dan anggota dalam konseling kelompok akan mendapat kepercayaan dari semua pihak. Kepercayaan anggota kepada konselor dan anggota kelompok yang lain hendaklah dihargai serta memperhatikan hal-hal berikut: (1) Anggota kelompok hendaknya dapat mengetahui bagaimana keduidukannya dalam hubungannya dengan kerahasiaan itu; (2) Suasana akan dijaminnya kerahasiaan adalah lebih penting daripada jaminan yang diberikan secara lesan;(3) Andaikata klien sebagai anggota kelompok menghendaki agar keterangan tertentu dirahasiakan, maka konselor dan nanggota kelompok konseling yang lain menghargai permintaan itu sebaik-baiknya;(4) Andaikata kerahasiaan suatu keterangan tidak lagi dapat dijamin yang disebabkan karena adanya tuntutan hukum atau karena pertimbanagn lain yang mungkin dapat membahayakan klien, maka klien harus diberi tahu sesegera mungkin;(5) Andaikata dalam usaha membantu klien dalam mengatasi masalahnya melalui konseling kelompok, diperlukan konsultasi dengan orang tua atau alih tangan kepoada pihak lain, maka klien hendaklah diminta ijinnya terlebih dahulu;(6)Bila kerahasiaan itu merupakan bagian daripada kode etik profesional, maka kerahasiaan itu hendaklah dihargai secara wajar.
Kegiatan konseling kelompok merupakan kegiatan dari sejumlah individu yang memiliki kepentingan, kepribadian, kebiasaan dan minat yang berbeda-beda. Maka ketika kegiatan konseling kelompok berlangsung dan telah berkembang, akan muncul hal-hal yang tidak diinginkan yang merupakan resiko psikologis dari kegiatan konseling kelompok itu. Rochman Natawidjaya(1987:46-47), menyatakan bahwa hal-hal pokok  yang harus diperingatkan secara khusus oleh konselor kepada para anggota konseling kelompok agar anggota waspada akan resiko psikologis sebagai berikut :(a) Peserta harus disadarkan akan kemungkinan bahwa keikutsertaan dalam kelompok dapat mengganggu ketenangan hidupnya;(b) Kelompok sebagai keseluruhan mungkin menekan individu anggota kelompok itu;(c) berbagai desakan kelompok, sampai batas tertentu dapat melanggar kebebasan individu untuk memilih tindakannya sendiri;(d) Sewaktu-waktu seorang individu anggota kelompok dijadikan kambinghitam dalam kelompok itu;(e)Konfrontasi, yang sesungguhnya merupakan alat yang kuat dan sangat berfaedah dalam konseling kelompok, dapat disalahgunakan, terutama apabila hal itu digunakan untuk menyerang orang lain secara destruktif;(f) Pemimpin kelompok harus waspada akan pelanggaran terhadapo kerahasiaan kelompok; dan(g) Luka fisik sangat mungkin terjadi dalam kegiatan kelompok yang menggunakan permainan fisik sebagai alat untuk memancing spontanitas dan katarsis.
Menyadari bahwa resiko psikologis dalam kegiatan konseling kelompok itu tidak mungkin dihindari sepenuhnya, namun demikian konselor harus berusaha menguranginya sampai batas yang paling kecil, maka konselor dapat menempuh dengan cara membuat kontrak antara konselor dan anggota kelompok.

BAB III
DINAMIKA KELOMPOK

A.  Pengertian dinamika Kelompok.
Dinamika kelompok menunjukkan seperangkat konsep yang dapat dipergunakan untuk menggambarkan proses kelompok.Dinamika kelompok bersifat deskriptif, yang berarti tidak ada  dinamika kelompok yang “ baik” atau yang” buruk”.Dinamika kelompok merupakan pengetahuan yang mempelajari gerak atau tenaga yang menyebabkan gerak itu sendiri. Dinamika kelompok  adalah pengetahuan yang mempelajari masalah-masalah kelompok.Jadi dinamika kelompok mencoba menerangkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kelompok dan mencoba menem,ukan serta mempelajari keadaan dan gaya yang dapat mempengaruhi kehidupan kelompok.
Menurut A.A Goldberg dan Carl E.Larson(1985), dinamika kelompok merupakan suatu studi terhadap berbagai aspek tingkah laku. Floyd D.Ruch mendiskripsikan dinamika kelompok adalah analisis dari relasi-relasi kelompok sosial, yang berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku dalam kelompok itu adalah hasil interaksi yang dinamis antara individu dan situasi sosial. Jenkins(1961), mendefinisikan  dinamika kelompok sebagai kekuatan di dalam kelompok yang menentukan  perilaku kelompok dan anggotanya agar tercapai tujuan kelompok. Cartwright&Zender (1967:7), mendiskripsikan dinamika kelompok sebagai suatu bidang terapan yang dimaksudkan untuk peningkatan pengetahuan tentang sifat atau ciri kelompok, hukum perkembangan , interelasi dengan anggota, dengan kelompok lain, dan lembaga-lembaga yang lebih besar. Jacobs,Jarvill&Masson, menyatakan bahwa dinamika kelompok mengacu kepada sikap dan interaksi pemimpin dan anggota-anggota kelompok. Gladding (1995), menggambarkan dinamika kelompok sebagai kekuatan dalam kelompok yang mungkin menguntungkan atau merugikan. Dinamika  kelompok mengarahkan sinergi dari semua faktor yangbada dalam suatu kelompok.Dinamika kelompok merupakan jiwa yang menghidupkan dan menghidupi suatu kelompok(  (Prayitno,1995:23).
Dinamika kelompok mengarahkan anggota kelompok untuk melakukan hubungan interpersonal satu sama lain. Jalinan hubungan interpersonal merupakan wahana bagi para anggota untuk saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan bahkan perasaan satu sama lain sehingga memungkinkan terjadinya proses belajar di dalam suatu kelompok yang kohesif. Kelompok kohesif adalah kelompok yang stabil, produktif mengerjakan tugas atau tujuan yang diharapkan, dan bersifat menarik bagi para angotanya. Lakin (1976, dalam Gazda,1984:56) mendiskripsikan kelompok kohesif sebagai ekspresi kolektif dari pemilikan pribadi.Kekohesifan kelompok memperlihatkan sebagai berikut (1) mengikat anggota secara emosional pada tugas-tugas satu sama lain,(2) memastikan stabilitas yang tinggi dari anggota bahkan dalam menghadapi keadaan yang mengecewakan, dan (3) mengembangkan sebuah batasan pembagian dari referensi antar anggota kelompok.

B.  Faktor-Faktor Kuratif dalam Konseling Kelompok
Menurut Yalom(1985), ada sebelas kategori utama faktor kuratif dalam konseling , yaitu pembinaan harapan, universalitas, pemberian informasi, altruisme, pengulangan korektif keluarga asal, pengembangan teknik sosialisasi, peniruan tingkah laku, belajar berhubungan dengan pribadi lain, rasa kebersamaan, katarsis, dan eksistensial. Selain kesebelas faktor tersebut, Butler dan Fuhrman(1983) menambahkan satu faktor yaitu penerimaan diri. Kedua peneliti menemukan ada empat faktor yang secara konsisten muncul dalam setiap konseling kelompok, yaitu pemahaman diri, katarsis, belajar berhubungan dengan pribadi lain dan kohesivitas.
1.      Pembinaan Harapan
Pembinaan dan pemeliharaan harapan adalah sangat penting. Seseorang dengan harapan tinggi bahwa ia akan memperoleh pertolongan selama dalam konseling mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan hasilnya. Makin tinggi taraf harapan dan kepercayaan klien terhadap keberhasilan konseling, maka akan tinggi pula taraf  perubahannya.
2.      Universalitas
Klien yang datang ke konseling          kelompok dengan pikiran bahwa masalah yang dihadapinya  adalah unik yang hanya diderita olehnya. Setelah mendengar bahwa anggota lain dan ternyata memiliki masalah, pikiran, fantasi dan impuls senada, klien merasa ia tidak sendiri dalam pendritaannya. Kesamaan dalam masalah berikut kekhawatiran yang timbul dan penuh penerimaan dari seluruh anggota yang disertai kelegaan emosional disebut universalitas. Perasaan senasib meningkatkan rasa bersatu di dalam kelompok dan meningkatkan kepercayaan terhadap kelompok.
3.      Pemberian Informasi
Di dalam tiap kelompok, pemberian informasi bersifat didaktis yang dapat dilakukan oleh profesional maupun anggota. Informasi itu dapat berupa cara belajar, cara menumbuhkan kepercayaan diri, topik kesehatan mental, penyakit mental, psikodinamika umum. Nasihat, saran ataupun bimbingan mengenai masalah kehidupan dapat diberikan oleh profesional atau anggota kelompok lain.
4.   Altruisme
Konseling kelompok merupakan tempat untuk melatih klien menerima dan memberi. Di dalam konseling kelompok ia akan menemukan bahwa ia dapat berperan penting untuk orang lain. Hal ini dapat meningkatkan harga dirinya. Dalam proses konseling kelompok antar anggota kelompok akan saling menolong. Mereka menawarkan dukungan, memberikan keyakinan, saran, insight, dan saling membagi satu sama lain masalah serupa.
5.   Pengulangan Korektif Keluarga Awal.
Konseling kelompok dalam banyak hal hampir sama dengan susunan keluarga asal merupakan kesempatan bagi anggota untuk mengulang konflik-konflik yang dialami ketika kecil secara singkat. Akan tetapi pengalaman ini akan berbeda oleh karena sikap profesional dan anggota lain tidak sama dengan keluarganya dulu. Ini memberi kesempatan klien mencoba tingkah lakunya  yang baru dalam hubunganya dengan orang lain.
Jacobs,Harvill&Masson(1994:36), mengemukakan 16 faktor yang perlu diperhatikan dalam dinamika kelompok, yaitu (1) kejelasan tujuan baik bagi anggota maupun pemimpin kelompok, (2) relevansi tujuan bagi anggota kelompok, (3) ukuran kelompok, (4) lamanya waktu setiap sesi, (5) frekuensi pertemuan, (6) tempat yang memadai, (7) ketepatan waktu pertemuan, (8) sikap pemimpin kelompok, (9)  kelompok terbuka dan tertutup,(10) keanggotaan sukarela atau terpaksa, (11) tingkat goodwill anggota kelompok, (12)  tingkat komitmen anggota kelompok, (13) tingkat kepercayaan kelompok,(14) sikap anggota kelompok  terhadap pemimpin, (15) sikap pemimpin kelompok terhadap anggota, dan pengalaman pemimpin kelompok dan kesiapan untuk berhubungan dengan kelompok.
Dinamika kelompok benar-benar akan terwujud dengan baik, yaitu benar-benar hidup mengarah pada tujuan, dan membuahkan manfaat bagi anggota, sangat ditentukan juga peranan anggota kelompok. Peranan yang dimaksud adalah meliputi (a) membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok; (b) mencurahkan segenap perasaan dalam kegiatan kelompok; (c) berusaha agar yang dilakukannya membantu tercapainya tujuan bersama;(d) membantu tersusunnya aturan kelompok dan berusaha mematuhinya dengan baik; (e) benar-benar berusaha secara aktif ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok;(f) mampu berkomunikasi secara terbuka, (g) berusaha membantu anggota lain;(h) memberi kesempatan anggota lain untuk menjalankan peranannya;(i) menyadari pentingnya kegiatan kelompok.
Peranan pemimpin kelompok penting dalam mempersiapkan  anggota kelompok untuk dapat memerankan hal-hal tersebut diatas. Pemimpin kelompok memiliki peran memberitahukan kepada anggota kelompok pada awal kegiatan kelompok, yaitu : (a) tentang apa saja yang diharapkan dari para anggota, suasana khusus yang dapat terjadi dalam kelompok itu; (b) bahwa keikutsertaan dalam kelompok itu adalah serba sukarela; (c) bahwa anggota kelompok bebas menanggapi hal-hal y6ang disampaikan atau menolak saran dari anggota lain; (d) bahwa hasil kegiatan kelompok tidak mengikat para anggota kelompok itu dalam kehidupan mereka di luar kelompok;(e) bahwa segala yang terjadi dan menjadi isi dari kegiatan kelompok itu sifatnya rahasia.
Tampilan interaksi pada suatu hubungan sosial, perilaku non verbal  menampilkan lebih 50% pesan yang dikomunikasikan. Menurut Vander Kolk, ada empat kategori perilaku non verbal, yaitu sikap tubuh, interaksi dengan lingkungan, berbicara dan penampilan fisik. Sedang Walter (1978) mengidentifikasi variasi emosi yang sering ditampilkan sebagai ekspresi perilaku non verbal yaitu keputusasaan, kegembiraan, ketakutan/kecemasan, permusuhan, pasif, ketergantungan, perlawanan untuk belajar. Setiap ekspresi dapat diidentifikasi dari kondisi dalam gerakan kepala, mimik muka, posisi mulut, kontak mata, gerakan tangan dan postur tubuh.
Perilaku komunikasi non verbal menggunakan waktu, tubuh, media vokal dan lingkungan. Komunikasi non verbal digunakan untuk tujuan mengekspresikan emosi, memberikan ilustrasi, mengubah atau memperkaya kata-kata, mengatur partisipan, menipu, menampilkan bentuk perasaan  serta memberikan umpan balik suatu hubungan
Perilaku verbal penting dalam dinamika kelompok, karena menggambarkan perilaku setiap anggota kelompok berbicara. Apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan. Cara anggota kelompok berkomunikasi verbal menunjukkan kematangan dalam berpikir, mengelola emosi, bertindak dan bersosialisasi. Perbedaan  perilaku verbal dan non verbal merupakan indikator adanya ambivalensi atau kebingungan dalam anggota kelompok.   
Kelompok yang baik ialah apabila kelompok diwarnai semangat  yang tinggi, kerjasama yang lancar dan mantap, komunikasi timbal balik baik, serta saling mempercayai antar anggota kelompok. Ini akan terwujud apabila anggota saling bersikap sebagai kawan, mengerti dan menerima secara positif tujuan bersama, dengan kuat merasa  setia kepada kelompok, serta mau bekerja keras atau bahkan berkorban untuk kelompok. Suasana kelompok yang terjadi dalam konseling kelompok diharapkan dapat merupakan dukungan bagi pengembangan pribadi masing-masing anggota kelompok.  Melalui dinamika kelompok setiap anggota kelompok diharapkan akan mampu tegak sebagai individu yang sedang mengembangkan kediriannya dalam hubungannya dengan orang lain.
                                
C.    Aplikasi Dinamika Kelompok Dalam Konseling Kelompok Perkembangan
Stockon &Marron,(1982:70-71) dalam survei kepemimpinan kelompok menemukan tipe kepemimpinan yang efektif, yaitu (a) moderat secara keseluruhan stimulasi emosional,(b) kepedulian yang sangat besar,(c) memiliki arti pemakaian, dan (d) moderat dalam menggambarkan fungsi eksekutif. Pemimpin yang efektif ditemukan untuk mendorong keduanya tetap hangat, hubungan yang sportif dan sebuah stimulasi emosional tingkat tinggi.
Pemimpin yang tidak efektif digambarkan sebagai agresif, otoriter, dan memperlihatkan kepedulian yang rendah pada anggota kelompok, penutupan diri yang tinggi, lebih dari sekedar egosentris.
Truax dan Carkhuff (1967:1), menggambarkan seorang konselor efektif yang terintegrasi, tidak defensif, dan otentik atau asli dalam kegiatan konseling atau terapeutik. Dalam studi model kepemimpinan yang diterapkan pada kelompok terapi,Gruen(1977) menyimpulkan (a) ketika pemimpin mengantisipasi dengan benar tema-tema kelompok, ada sebuah pergerakan yang dapat dilihat, dan dengan sabar memberikan pandangan satu sama lain; (b) ketika para pemimpin membuka secara keseluruhan moderat  pada kontrol proses, perkembangan kelompok melalui pemecahan masalah dapat diterima; dan (c) ketika interpretasi pemimpin dapat menjangkau secara luas atau membuat hubungan yang sangat kuat daloam sebuah kesempatan yang diberikan, perkembangannya dapat diterima, interpretasi dari pasienpun meningkat, dan kelompok memperlihatkan kebersamaan semangat yang tinggi ( Stockon &Marron,1982:71). Hasil dari penelitian disimpulkan, bahwa pertama, pemimpin harus memiliki kualitas peduli dan ekspresi diri yang diterapkan pertama kali oleh pemimpin kelompok. Kedua, pemimpin haruslah efektif atau kompeten. Ketiga,  pemimpin harus mampu menempatkan rasa percaya diri untuk model perilaku anggota. Keempat, pemimpin harus tetap konsisten dengan model dan pola mereka pada intervensi dalam konseling kelompok. Kelima, perbedaan kepemimpinan di dalam wilayah-wilayah tertentu mungkin membuktikan kepentingan yang  lebih lanjut.
Lakin (1976) menyatakan delapan proses inti  kelompok, sebagai berikut :
Pertama. Menetapkan dan mempertahankan kekohesifan.
Kekohesifan diperlihatkan dengan (1) melibatkan anggota secara emosional kepada tugas-tugas yang biasa sebagaimana satu sama lain,(2) memastikan stabilitas yang sangat kuat pada kelompok, dan (3) mengembangkan sebuah batasan pembagian referensi antara anggota kelompok yang menimbulkan toleransi lebih untuk tujuan anggota yang berbeda jelas.Kelompok yang kohesif adalah kelompok yang stabil dan produktif yang tujuan dan tugas-tugasnya telah pasti.
Kedua, Menempatkan kenyamanan dengan norma-norma kelompok.
Konsep  penyusunan norma memiliki  relevansi  khusus  dan  ekuivalen dengan apa yang diharapkan/diterima dalam kelompok. Norma tersebut mungkin eksplisit  atau implisit. Idealnya menyusun norma kelompok harus melihat kelompok itu sendiri, penerimaan norma berdasar konsensus kelompok dan  tidak dipaksakan oleh pemimpin, terutama pada tahap awal, memberi kesempatan anggota untuk dilibatkan pada perkembangan norma, masing-masing harus merasakan komitmen pada norma tersebut.
Ketiga, Validasi konseptual dari persepsi pribadi dan penggunaan umpan balik.
Lakin&Carson(1966) berpendapat bahwa banyak orang mengalami kesulitan dalam hidup karena mereka menderita dari pandangan yang tidak valid pada diri mereka sendiri.
Jacobs, menyarankan tiga metode umpan balik, yaitu: (1) informasi yang ada pada perkembangan yang diharapkan tindakan yang positif dan dihubungkan dengan akibat positif, (2) meningkatkan kredibilitas umpan balik dengan menekankan pada pengirimnya, dan (3) mempergunakan bagian positif atau negatif secara umum lebih efektif.
Keempat, Ekspresi  dari kesiapan emosional.
Kelompok konseling, membangun emosional  yang ekspresif pada peserta. Giges &Rosenfeld (1976) memperlihatkan bahwa ekspresi perasaan dalam sebuah kelompok melibatkan keadaan berikut: kesadaran, keputusan, tindakan, kesadaran, keputusan, reaksi. Secara umum ekspresi yang penuh memberikan secara khusus kebutuhan pada ekspresi diri seseorang.
Kelima, Persepsi kelompok yang berkaitan dengan masalah dan masukan untuk pemecahan masalah.
Kualitas yang unik pada kelompok konseling yaitu merupakan bagian terkecil dari masyarakat. Keputusan kelompok seringkali lebih baik daripada keputusan perseorangan, jika kelompok dilibatkan dalam pemecahan masalah, keputusan nampak lebih efektif daripada yang dicapai dengan yang diberikan/diserahkan  oleh seorang anggota atau bahkan pemimpin kelompok.
Keenam, Ekspresi Pengaruh Kekuatan
Kesempatan bagi peserta untuk muncul dalam aturan kepemimpinan  ada dalam kelompok konseling. Karena ada perbedaan pada masalah  personal dan interpersonal dalam kelompok, kebutuhan untuk keragaman kebutuhan akan menyebabkan anggota kelompok memiliki kesempatan untuk mempelajari pengaruh mereka pada lain waktu.



BAB IV
PROSES KONSELING KELOMPOK

Corey (1985:64-65) mengelompokkan tahapan proses konseling kelompok menjadi empat tahap, yaitu tahap orientasi, tahap transisi, tahap kerja, dan tahap konsolidasi. Jacobs,Harvill&Masson(1994:44), mengelompokkan tahapan proses konseling kelompok menjadi tiga tahap, yaitu : tahap permulaan, tahap pertengahan atau tahap kerja dan tahap pengakhiran atau tahap penutupan. Gibson&Mitchel(1995:198-204) mengklasifikasikan proses konseling kelompok ke dalam lima tahap, yakni tahap pembentukan, tahap identifikasi, tahap produktifitas,tahap realisasi dan tahap terminasi. Sedangkan Gladding mengklasifikasikan proses konseling kelompok menjadi empat tahap, yaitu tahap permulaan kelompok, tahap transisi dalam kelompok, tahap bekerja dalam kelompok, dan tahap terminasi kelompok.
A.  Tahap Permulaan ( Beginning Stage )
Pada pertemuan awal penting bagi konselor untuk membentuk kelompok  dan menjelaskan tujuan konseling kelompok dengan istilah yang mudah dipahami siswa  dalam kelompok. Kormanski &Mozenter (1987, dalam Gladding,1995:80), menyatakan bahwa kelompok dapat berkembang dari kesadaran lalu berlanjut pada pertentangan, kerjasama, produktifitas dan berakhir perpisahan.
Dalam mempersiapkan anggota memasuki kelompok Corey(1985,dalam Rochman N,1987), mengemukakan hal-hal penting yang perlu dibahas  konselor bersama calon anggota, yaitu : (1) pernyataan yang jelas tentang tujuan kelompok,(2) deskripsi tentang bentuk kelompok, prosedur dan peraturan mainnya,(3) kecocokan proses kelompok dengan kebutuhan peserta, (4) kesempatan mencari informasi tentang kelompok yang akan dimasukinya, mengajukan pertanyaan dan menjajagi hal-hal yang menarik dalam kegiatan kelompok itu,(50 pernyataan yang menjelaskan pendidikan, latihan dan kualifikasi pemimpin kelompok,(6) informasi biaya yang harus ditanggung peserta, besarnya kelompok, banyaknya pertemuan, lama pertemuan, arah pertemuan, serta teknik yang digunakan, (7) informasi tentang resiko psikologis dalam kegiatan kelompok itu, (8) pengetahuan tentang keterbatasan kerahasiaan dalam kelompok, yaitu pengetahuan tentang keadaan di mana kerahasiaan itu harus dilanggar karena kepentingan bersama dan karena alasan hukum, etis, dan profesional,(9) penjelasan tentang layanan yang dapat diberikan dalam kegiatan kelompok itu,(10) bantuan dari pimpinan kelompok dalam mengembangkan tujuan-tujuan pribadi peserta,(11) pemahaman yang jelas mengenai tanggungjawab antara pimpinan kelompok dan peserta, dan (12) diskusi mengenai hak dan kewajiban anggota kelompok.
Tahap ini merupakan tahap pengenalan, pelibatan diri atau tahap memasukkan diri ke dalam kehidupan kelompok, tahap menentukan agenda, tahap menentukan norma dan tahap penggalian ide dan perasaan.Dalam tahap permulaan ini konselor perlu  melakukan (a) penjelasan tentang tujuan kegiatan,(b) penumbuhan rasa saling mengenal antar anggota,(c) penumbuhan sikap saling mempercayai dan saling menerima, dan (d) pembahasan tentang tingkah laku dan suasana perasaan dalam kelompok.

A.    Tahap Transisi ( Transition Stage ).
 Transisi dimulai dengan masa badai, yang mana anggota mulai bersaing dengan yang lain dalam kelompok untuk mendapatkan  tempat kekuasaan dalam kelompok. Masa badai adalah masa munculnya perasaan kecemasan, pertentangan, pertahanan, ketegangan, koflik, konfrontasi, transferensi. Dalam masa ini anggota mulai resah atau tertekan yang menyebabkan tingkah laku mejadi tidak sebagaimana mestinya.
Masa badai adalah masa munculnya konflik atau kegelisahan saat kelompok beralih dari ketegangan primer ke ketegangan sekunder. Selama masa ini, anggota kelompok terlihat gelisah dalam interaksinya dengan sesama anggota. Kegelisahan berkaitan dengan ketakutan untuk lepas kontrol, salah persepsi, terlihat bodoh atau ditolak. Beberapa anggota bereaksi dengan diam sebagian lain terbuka mengemukakan kegelisahannya.
Masa transisi merupakan saat “perebutan kekuatan” antara anggota kelompok dengan pemimpin kelompok. Ada beberapa bentuk kekuasaan dan kekuatan dalam kelompok, yaitu kekuatan dan kekuasaan yang bersifat memberi informasi, mempengaruhi dan mengatur.
Yang berkaitan dengan masalah kegelisahan, kekuasaan dan kekuatan, dan kepercayaan antara anggota kelompok merupakan masalah yang berkaitan dengan interaksi verbal. Masa ini merupakan masa produktif bagi anggota untuk memperbaiki sosialisasinya di masa lalu yang tidak produktif, membuat pengalaman-pengalaman baru dan menetapkan tempat dalam kelompok tersebut.
Beberapa cara umum untuk mengatasi bentuk-bentuk masalah intrapersonal dan interpersonal selama masa ini adalah (1) menggunakan proses peningkatan di mana anggota diminta berinteraksi secara bebas dan mantap, (2) meminta anggota mengetahui apa yang sedang terjadi, (3) mendapatkan umpan balik dari anggota tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu dan apa yang mereka perlu.

B.     Tahap Kegiatan ( Working Stage)
Tahap ini merupakan inti kegiatan konseling kelompok. Tahap ini juga merupakan tahap sebenarnya dari konseling kelompok, yaitu  para anggota memusatkan  perhatian terhadap tujuan  yang ingin dicapai, mempelajari materi-materi baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan  tugas, dan mempraktekkkan perilaku-perilaku baru. Tahap ini dianggap sebagai tahap paling produktif ditandai dengan keadaan konstruktif dan pencapaian hasil. Selama tahap kegiatan, konselor dan anggota kelompok merasa lebih bebas dan nyaman dalam mencoba tingkah laku baru dan strategi baru, karena sudah terjadi saling mempercayai satu sama lain.
Pada tahap ini, hubungan antar anggota sudah mulai ada kemajuan, sudah terjalin rasa saling percaya antara sesama  anggota kelompok, rasa empati, saling mengikat dan berkembang lebih dekat secara emosional, dan kelompok tersebut akan menjadi kompak( kohesif). Kelompok yang kohesif ditandai adanya penerimaan yang mendalam, keakraban, pengertian, di samping juga mungkin berkembang ekspresi bermusuhan dan konflik. Pada kelompok kohesif  yang paling penting adanya saling ketergantungan anggota kepada anggota lain.
Penekanan utama pada tahap ini adalah produktifitas. Anggota kelompok  harus lebih produktif dalam menyelesaikan tugas pribadi atau masalah dengan melakukan kerja sama yang dinamis dan kondusif. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi “ transference “ atau “countertransference’ sebagai proses fundamental. Kegiatan kelompok yang sesungguhnya ditandai oleh tingkatan moral yang tinggi dan rasa memiliki kelompok yang tinggi pula. Dalam tahap ini juga, kelompok benar-benar sedang mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Kelompok berusaha menghasilkan sesuatu yang berguna bagi para anggota kelompok. Konselor tetap tut wuri handayani, terus-menerus memperhatikan  dan mendengarkan secara aktif, khususnya hal-hal atau masalah yang timbul dan kalau dibiarkan akan merusak suasana kelompok.
Tahap ini disimpulkan berhasil bila semua solusi yang mungkin telah dipertimbangkan dan diuji dapat diwujudkan. Solusi-solusi tersebut harus praktis, dapat direalisasikan, dan pilihan akhir harus dibuat setelah melalui perimbangan dan diskusi yang tepat.

D.  Tahap Pengakhiran ( Termination Stage )
Menurut Corey(1990), tahap penghentian atau pengakhiran sama pentingnya seperti tahap permulaan sebuah kelompok. Pada tahap penghentian pertemuan kelompok yang penting adalah bagaimana ketrampilan anggota, termasuk konselor, dalam mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam kelompok ke dalam kehidupannya di luar lingkungan kelompok, merefleksikan pengalaman mereka di masa lalu, memproses kenangan, mengevaluasi apa yang telah mereka pelajari, menyatakann perasaan yang bertentangan, dan membuat keputusan kognitif.
Dalam penghentian, ada masalah dan proses yang terjadi, satu diantaranya adalah ambivalen emosional. Hampir selalu ada masalah-masalah yang melibatkan “unfinished business”, transference, dan countertransference( Kauff,1977 dalam Gladding,1995:146).
Pengakhiran kegiatan konseling kelompok tepat dilakukan pada saat tujuan-tujuan individual anggota kelompok dan tujuan kelompok telah dicapai dan perilaku baru telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di luar kelompok. Ketika kelompok memasuki tahap pengakhiran, kegiatan kelompok dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok mampu menerapkan hal-hal yang telah mereka pelajari dalam suasana kelompok, pada kehidupan nyata  mereka sehari-hari.
Pengakhiran konseling kelompok, hendaknya membuat kesan positif bagi anggota kelompok. Untuk itu perlu kesempatan  bagi anggota untuk mengemukakan ganjalan-ganjalan yang mereka rasakan selama kegiatan berlangsung. Penghentian terjadi pada dua tingkatan, yaitu pada akhir masing-masing sesi, dan pada akhir dari keseluruhan sesi kelompok. Proses penghentian meliputi langkah-langkah : (1) orientasi, (2) ringkasan,(3) pembahasan tujuan, dan tindak lanjut( Epstein&Bishop,1981 dalam Gladding,1995:147).
Efek penghentian pada individu tergantung pada banyak faktor. Apakah kelompok itu terbuka atau  tertutup, apakah anggotanya dipersiapkan untuk pengakhiranya, dan apakah cepatnya dan intensitas kerja dalam kegiatan pada tahap yang tepat utuk membiarkan anggota mengidentifikasi dengan benar dan memecahkan masalah yang ada. Tingkah laku dari anggota kelompok pada akhir pertemuan memperlihatkan bagaimana mereka berpikir dan perasaan mereka sebagaimana yang mereka telah alami ( Luft,1984;Shulman,1992). Cara yang paling baik untuk setiap individu mengakhiri sebuah kelompok adalah untuk memperlihatkan pada apa yang telah mereka alami dan membuat jalan untuk awal baru di luar kelompok, tetapi pencapaian dari keadaan ideal ini tidak selalu memungkinkan.
Selama tahap penghentian, sejumlah anggota mungkin membutuhkan lebih banyak bantuan. Ada tiga pilihan produktif yang dapat dipilih, yaitu :
D.    Konseling individual, di mana kepedulian untuk dapat memberi perhatian yang lebih besar.
1.      Melihat pada kelompok dan organisasi lain, di mana bantuan yang lebih spesifik dan spesialis dapat diharapkan, atau
2.      Mendaur ulang, di mana individu dapat pergi melalui sebuah pengalaman kelompok yang sama sekali lagi dan mempelajari pelajaran yang tertinggal pada pertama kali ( Gladding,1995:149).

Kadang-kadang,  individu  menghentikan kelompok secara tiba-tiba atau pengalaman kelompok berakhir begitu saja karena tindakan pemimpin kelompok. Kedua masalah itu adalah contoh-contoh penghentian prematur  dan mungkin menyebabkan kesulitan bagi peserta ( Donigian&Malnati,1987). Ada batas-batas etika untuk mengikuti masalah penghentian prematur berkaitan dengan alasan untuk tindakan atau keadaan teoritikal pemimpin kelompok. Biasanya, tipe-tipe penghentian prematur harus berhubungan dengan : (a) penghentian kelompok sebagai satu kesatuan, (b) penghentian pada anggota kelompok yang berhasil, dan (c) penghentian pada anggota kelompok yang tidak berhasil ( Yalom,1985).
Penghentian prematur dari kelompok keseluruhan mungkin terjadi karena tindakan pemimpin kelompok atau anggota. Pemimpin kelompok mungkin menghentikan kelompok secara prematur dengan tepat jika mereka sakit, pergi/pindah, atau ditugaskan pada jabatan lain. Bagi individu atau kelompok, penghentian prematur mungkin berkaitan dengan alasan yang tidak tepat atau tepat, dan pengalaman keberhasilan atau kegagalan. Yalom (1985:233) membuat daftar sejumlah alasan  yang seringkali diberikan oleh individu anggota kelompok yang meninggalkan psikoterapi dan konseling kelompok secara prematur:
1.      faktor-faktor eksternal ( konflik penjadwalan atau tekanan eksternal ).
2.      ketidakcocokan ( anggota yang tidak cocok dengan anggota lain ).
3.      masalah kedekatan.
4.      takut akan kontak emosional.
5.      ketidakmampuan untuk berbagi dokter.
6.      komplikasi individu dan terapi kelompok.
7.      provokator awal( tertutup, penolakan yang kuat pada kelompok )
8.      orientasi yang tidak terpengaruh pada terapi.
9.      komplikasi yang muncul dari sub-kelompok.
           



BAB IV
PROSES KONSELING KELOMPOK

Corey (1985:64-65) mengelompokkan tahapan proses konseling kelompok menjadi empat tahap, yaitu tahap orientasi, tahap transisi, tahap kerja, dan tahap konsolidasi. Jacobs,Harvill&Masson(1994:44), mengelompokkan tahapan proses konseling kelompok menjadi tiga tahap, yaitu : tahap permulaan, tahap pertengahan atau tahap kerja dan tahap pengakhiran atau tahap penutupan. Gibson&Mitchel(1995:198-204) mengklasifikasikan proses konseling kelompok ke dalam lima tahap, yakni tahap pembentukan, tahap identifikasi, tahap produktifitas,tahap realisasi dan tahap terminasi. Sedangkan Gladding mengklasifikasikan proses konseling kelompok menjadi empat tahap, yaitu tahap permulaan kelompok, tahap transisi dalam kelompok, tahap bekerja dalam kelompok, dan tahap terminasi kelompok.

A.  Tahap Permulaan ( Beginning Stage )
Pada pertemuan awal penting bagi konselor untuk membentuk kelompok  dan menjelaskan tujuan konseling kelompok dengan istilah yang mudah dipahami siswa  dalam kelompok. Kormanski &Mozenter (1987, dalam Gladding,1995:80), menyatakan bahwa kelompok dapat berkembang dari kesadaran lalu berlanjut pada pertentangan, kerjasama, produktifitas dan berakhir perpisahan.
Dalam mempersiapkan anggota memasuki kelompok Corey(1985,dalam Rochman N,1987), mengemukakan hal-hal penting yang perlu dibahas  konselor bersama calon anggota, yaitu : (1) pernyataan yang jelas tentang tujuan kelompok,(2) deskripsi tentang bentuk kelompok, prosedur dan peraturan mainnya,(3) kecocokan proses kelompok dengan kebutuhan peserta, (4) kesempatan mencari informasi tentang kelompok yang akan dimasukinya, mengajukan pertanyaan dan menjajagi hal-hal yang menarik dalam kegiatan kelompok itu,(50 pernyataan yang menjelaskan pendidikan, latihan dan kualifikasi pemimpin kelompok,(6) informasi biaya yang harus ditanggung peserta, besarnya kelompok, banyaknya pertemuan, lama pertemuan, arah pertemuan, serta teknik yang digunakan, (7) informasi tentang resiko psikologis dalam kegiatan kelompok itu, (8) pengetahuan tentang keterbatasan kerahasiaan dalam kelompok, yaitu pengetahuan tentang keadaan di mana kerahasiaan itu harus dilanggar karena kepentingan bersama dan karena alasan hukum, etis, dan profesional,(9) penjelasan tentang layanan yang dapat diberikan dalam kegiatan kelompok itu,(10) bantuan dari pimpinan kelompok dalam mengembangkan tujuan-tujuan pribadi peserta,(11) pemahaman yang jelas mengenai tanggungjawab antara pimpinan kelompok dan peserta, dan (12) diskusi mengenai hak dan kewajiban anggota kelompok.
Tahap ini merupakan tahap pengenalan, pelibatan diri atau tahap memasukkan diri ke dalam kehidupan kelompok, tahap menentukan agenda, tahap menentukan norma dan tahap penggalian ide dan perasaan.Dalam tahap permulaan ini konselor perlu  melakukan (a) penjelasan tentang tujuan kegiatan,(b) penumbuhan rasa saling mengenal antar anggota,(c) penumbuhan sikap saling mempercayai dan saling menerima, dan (d) pembahasan tentang tingkah laku dan suasana perasaan dalam kelompok.

B.       Tahap Transisi ( Transition Stage ).
 Transisi dimulai dengan masa badai, yang mana anggota mulai bersaing dengan yang lain dalam kelompok untuk mendapatkan  tempat kekuasaan dalam kelompok. Masa badai adalah masa munculnya perasaan kecemasan, pertentangan, pertahanan, ketegangan, koflik, konfrontasi, transferensi. Dalam masa ini anggota mulai resah atau tertekan yang menyebabkan tingkah laku mejadi tidak sebagaimana mestinya.
Masa badai adalah masa munculnya konflik atau kegelisahan saat kelompok beralih dari ketegangan primer ke ketegangan sekunder. Selama masa ini, anggota kelompok terlihat gelisah dalam interaksinya dengan sesama anggota. Kegelisahan berkaitan dengan ketakutan untuk lepas kontrol, salah persepsi, terlihat bodoh atau ditolak. Beberapa anggota bereaksi dengan diam sebagian lain terbuka mengemukakan kegelisahannya.
Masa transisi merupakan saat “perebutan kekuatan” antara anggota kelompok dengan pemimpin kelompok. Ada beberapa bentuk kekuasaan dan kekuatan dalam kelompok, yaitu kekuatan dan kekuasaan yang bersifat memberi informasi, mempengaruhi dan mengatur. Yang berkaitan dengan masalah kegelisahan, kekuasaan dan kekuatan, dan kepercayaan antara anggota kelompok merupakan masalah yang berkaitan dengan interaksi verbal. Masa ini merupakan masa produktif bagi anggota untuk memperbaiki sosialisasinya di masa lalu yang tidak produktif, membuat pengalaman-pengalaman baru dan menetapkan tempat dalam kelompok tersebut.
Beberapa cara umum untuk mengatasi bentuk-bentuk masalah intrapersonal dan interpersonal selama masa ini adalah (1) menggunakan proses peningkatan di mana anggota diminta berinteraksi secara bebas dan mantap, (2) meminta anggota mengetahui apa yang sedang terjadi, (3) mendapatkan umpan balik dari anggota tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu dan apa yang mereka perlu.

C.  Tahap Kegiatan ( Working Stage)
Tahap ini merupakan inti kegiatan konseling kelompok. Tahap ini juga merupakan tahap sebenarnya dari konseling kelompok, yaitu  para anggota memusatkan  perhatian terhadap tujuan  yang ingin dicapai, mempelajari materi-materi baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan  tugas, dan mempraktekkkan perilaku-perilaku baru. Tahap ini dianggap sebagai tahap paling produktif ditandai dengan keadaan konstruktif dan pencapaian hasil. Selama tahap kegiatan, konselor dan anggota kelompok merasa lebih bebas dan nyaman dalam mencoba tingkah laku baru dan strategi baru, karena sudah terjadi saling mempercayai satu sama lain.
Pada tahap ini, hubungan antar anggota sudah mulai ada kemajuan, sudah terjalin rasa saling percaya antara sesama  anggota kelompok, rasa empati, saling mengikat dan berkembang lebih dekat secara emosional, dan kelompok tersebut akan menjadi kompak( kohesif). Kelompok yang kohesif ditandai adanya penerimaan yang mendalam, keakraban, pengertian, di samping juga mungkin berkembang ekspresi bermusuhan dan konflik. Pada kelompok kohesif  yang paling penting adanya saling ketergantungan anggota kepada anggota lain.
Penekanan utama pada tahap ini adalah produktifitas. Anggota kelompok  harus lebih produktif dalam menyelesaikan tugas pribadi atau masalah dengan melakukan kerja sama yang dinamis dan kondusif. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi “ transference “ atau “countertransference’ sebagai proses fundamental. Kegiatan kelompok yang sesungguhnya ditandai oleh tingkatan moral yang tinggi dan rasa memiliki kelompok yang tinggi pula. Dalam tahap ini juga, kelompok benar-benar sedang mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Kelompok berusaha menghasilkan sesuatu yang berguna bagi para anggota kelompok. Konselor tetap tut wuri handayani, terus-menerus memperhatikan  dan mendengarkan secara aktif, khususnya hal-hal atau masalah yang timbul dan kalau dibiarkan akan merusak suasana kelompok.
Tahap ini disimpulkan berhasil bila semua solusi yang mungkin telah dipertimbangkan dan diuji dapat diwujudkan. Solusi-solusi tersebut harus praktis, dapat direalisasikan, dan pilihan akhir harus dibuat setelah melalui perimbangan dan diskusi yang tepat.

D.  Tahap Pengakhiran ( Termination Stage )
Menurut Corey(1990), tahap penghentian atau pengakhiran sama pentingnya seperti tahap permulaan sebuah kelompok. Pada tahap penghentian pertemuan kelompok yang penting adalah bagaimana ketrampilan anggota, termasuk konselor, dalam mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam kelompok ke dalam kehidupannya di luar lingkungan kelompok, merefleksikan pengalaman mereka di masa lalu, memproses kenangan, mengevaluasi apa yang telah mereka pelajari, menyatakann perasaan yang bertentangan, dan membuat keputusan kognitif.
Dalam penghentian, ada masalah dan proses yang terjadi, satu diantaranya adalah ambivalen emosional. Hampir selalu ada masalah-masalah yang melibatkan “unfinished business”, transference, dan countertransference( Kauff,1977 dalam Gladding,1995:146). Pengakhiran kegiatan konseling kelompok tepat dilakukan pada saat tujuan-tujuan individual anggota kelompok dan tujuan kelompok telah dicapai dan perilaku baru telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di luar kelompok. Ketika kelompok memasuki tahap pengakhiran, kegiatan kelompok dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok mampu menerapkan hal-hal yang telah mereka pelajari dalam suasana kelompok, pada kehidupan nyata  mereka sehari-hari.
Pengakhiran konseling kelompok, hendaknya membuat kesan positif bagi anggota kelompok. Untuk itu perlu kesempatan  bagi anggota untuk mengemukakan ganjalan-ganjalan yang mereka rasakan selama kegiatan berlangsung. Penghentian terjadi pada dua tingkatan, yaitu pada akhir masing-masing sesi, dan pada akhir dari keseluruhan sesi kelompok. Proses penghentian meliputi langkah-langkah : (1) orientasi, (2) ringkasan,(3) pembahasan tujuan, dan tindak lanjut( Epstein&Bishop,1981 dalam Gladding,1995:147).
Efek penghentian pada individu tergantung pada banyak faktor. Apakah kelompok itu terbuka atau  tertutup, apakah anggotanya dipersiapkan untuk pengakhiranya, dan apakah cepatnya dan intensitas kerja dalam kegiatan pada tahap yang tepat utuk membiarkan anggota mengidentifikasi dengan benar dan memecahkan masalah yang ada. Tingkah laku dari anggota kelompok pada akhir pertemuan memperlihatkan bagaimana mereka berpikir dan perasaan mereka sebagaimana yang mereka telah alami ( Luft,1984;Shulman,1992). Cara yang paling baik untuk setiap individu mengakhiri sebuah kelompok adalah untuk memperlihatkan pada apa yang telah mereka alami dan membuat jalan untuk awal baru di luar kelompok, tetapi pencapaian dari keadaan ideal ini tidak selalu memungkinkan.
Selama tahap penghentian, sejumlah anggota mungkin membutuhkan lebih banyak bantuan. Ada tiga pilihan produktif yang dapat dipilih, yaitu :
1.      Konseling individual, di mana kepedulian untuk dapat memberi perhatian yang lebih besar.
2.      Melihat pada kelompok dan organisasi lain, di mana bantuan yang lebih spesifik dan spesialis dapat diharapkan, atau
3.      Mendaur ulang, di mana individu dapat pergi melalui sebuah pengalaman kelompok yang sama sekali lagi dan mempelajari pelajaran yang tertinggal pada pertama kali ( Gladding,1995:149).
Kadang-kadang,  individu  menghentikan kelompok secara tiba-tiba atau pengalaman kelompok berakhir begitu saja karena tindakan pemimpin kelompok. Kedua masalah itu adalah contoh-contoh penghentian prematur  dan mungkin menyebabkan kesulitan bagi peserta ( Donigian&Malnati,1987). Ada batas-batas etika untuk mengikuti masalah penghentian prematur berkaitan dengan alasan untuk tindakan atau keadaan teoritikal pemimpin kelompok. Biasanya, tipe-tipe penghentian prematur harus berhubungan dengan : (a) penghentian kelompok sebagai satu kesatuan, (b) penghentian pada anggota kelompok yang berhasil, dan (c) penghentian pada anggota kelompok yang tidak berhasil ( Yalom,1985).
Penghentian prematur dari kelompok keseluruhan mungkin terjadi karena tindakan pemimpin kelompok atau anggota. Pemimpin kelompok mungkin menghentikan kelompok secara prematur dengan tepat jika mereka sakit, pergi/pindah, atau ditugaskan pada jabatan lain. Bagi individu atau kelompok, penghentian prematur mungkin berkaitan dengan alasan yang tidak tepat atau tepat, dan pengalaman keberhasilan atau kegagalan. Yalom (1985:233) membuat daftar sejumlah alasan  yang seringkali diberikan oleh individu anggota kelompok yang meninggalkan psikoterapi dan konseling kelompok secara prematur:
1.      faktor-faktor eksternal ( konflik penjadwalan atau tekanan eksternal ).
2.      ketidakcocokan ( anggota yang tidak cocok dengan anggota lain ).
3.      masalah kedekatan.
4.      takut akan kontak emosional.
5.      ketidakmampuan untuk berbagi dokter.
6.      komplikasi individu dan terapi kelompok.
7.      provokator awal( tertutup, penolakan yang kuat pada kelompok )
8.      orientasi yang tidak terpengaruh pada terapi.
9.      komplikasi yang muncul dari sub-kelompok.
           



BAB IX
ETIKA DALAM KONSELING KELOMPOK

Etika tidak bersifat absolut. Etika bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Jika tidak demikian, etika-etika bisa menjadi penghambat dan bukan lagi sebagai suatu penuntun untuk pengembangan kerja dan pengembangan diri. Karena ada beberapa etika yang bersifat universal (tidak berubah) dalam bidang hubungan antar manusia, kode etik untuk bidang tersebut diterima sepanjang waktu.
KEPEMIMPINAN KELOMPOK
                Bab ini tidak berfokus pada pelatihan kepemimpinan kelompok karena standar-standar pelatihan harus menggambarkan tujuan disiplin kerja dengan yang para pimpinan identifikasi. Sementara pelatihan praktisi-praktisi kelompok menerima perhatian yang lebih dalam dalam literatur ini, kebutuhan akan petunjuk-petunjuk yang jelas dan sederhana akan diberikan. Ada kekurangan standar yang dtrumuskan dengan baik untuk pelatihan para praktisi-praktisi kelompok untuk bisa menjalankan fungsinya pada berbagai tingkat keahlian dalam berbagai latar belakang yang berbeda. Tetapi ada beberapa elemen yang berkaitan dengan pimpinan untuk yang mana petunjuk-petunjuk diindikasikan. Dengan memandang positif pada kompetensi pimpinan, petunjuk-petunjuk ini bisa sangat berguna dan membantu bagi semua atau sebagian besar pimpinan kelompok. Petunjuk-petunjuk tersebut adalah sebagai berikut:
1.         Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai kode etik yang diterima secara umum.
2.         Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai bukti telah mengikuti pelatihan yang setaraf dengan praktek kelompok.
3.         Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai bukti bahwa kepemimpinannya efektif (data pasca pelatihan dan tindak lanjut setiap anggota menunjukkan bahwa mereka telah mendapat keuntungan menjadi anggota pimpinan kelompok tersebut).
4.         .Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai model konseptual yang baik untuk menjelaskan perubahan-perubahan tingkah laku.
5.  Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai sertifikat-sertifikat, surat ijin-surat ijin dan bukti kualifikasi lainnya yang diperlukan yang secara umum diterima oleh disiplin ilmunya (B-7).
6.  Pimpinan kelompok yang tidak mempunyai surat mandat kerja (professional credentials) seharusnya melaksanakan tugas dibawah pengawasan (supervisi) seseorang yang berkualitas dalam bidang kerja tersebut.
7.  Pimpinan kelompok seharusnya menghadiri/mengikuti kursus-kursus penyegaran kembali, lokakarya dan sebagainya untuk meningkatkan keterampilan dan keahliannya serta mendapatkan evaluasi dari orang lain tentang keterampilan dan kerjanya.
8.  Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai serangkaian aturan dasar yang jelas yang menuntunnya dalam melaksanakan tugas kepemimpinan.
9.  Pimpinan kelompok seharusnya paham benar akan undang-undang dan hukum-hukum yang mengatur segala yang bersifat rahasia dan mengetahui situasi dan kondisi yang mana rahasia-rahasia tersebut harus dibocorkan.
10.               Pimpinan kelompok seharusnya tidak memihak salah satu anggota yang mempunyai hubungan yang tidak baik dengan anggota lainnya (B-5).
11.               Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai pemahaman yang jelas, yang dikembangkan dari literatur-literatur hukum dan kerja, tentang hak-hak klien dan seharusnya mengetahui bagaimana klien-klien tersebut bisa dilindungi. Pimpinan seharusnya melindungi anggota dari ancaman-ancaman fisik, intimidasi, cercaan dan tekanan teman sejawat. (B-1)
12.               Pimpinan kelompok seharusnya mengetahui permintaan dan harapan lembaga dimana kelompok tersebut berada dengan memperhatikan loyalitas dan kerahasiaan.
13.               Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai rencana yang jelas untuk identifikasi dan intervensi dengan para pasien yang berbahaya dan berusaha bunuh diri yang memenuhi syarat-syarat hukum.

REKRUTMEN PESERTA KELOMPOK
Standar kerja seperti yang dijelaskan secara detail dalam disiplin pimpinan kelompok seharusnya dipenuhi dalam rekrutmen anggota kelompok. Seringkali petunjuk-petunjuk ini bersifat lebih eksplisit untuk lembaga-lembaga swasta tetapi tidak begitu eksplisit untuk rekrutmen anggota-anggota dengan latar belakang institusional seperti sekolah-sekolah, organisasi usaha dan organisasi industri. Beberapa petunjuk yang berlaku untuk kedua latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1.                  Pengumuam seharusnya meliputi pernyataan eksplisit tujuan kelompok, panjang dan jangka waktu program serta jumlah partisipan/peserta.
2.                  Pengumuman seharusnya meliputi pernyataan eksplisit tentang kualifikasi pimpinan untuk memimpin kelompok-kelompok yang dimaksud.
3.                  Pengumuman seharusnya meliputi pernyataan eksplisit tentang honor pimpinan yang merinci jumlah-jumlah untuk jasa kerja, makan, penginapan, materi dan sejenisnya dan juga jumlah untuk jasa lanjutan.
4.                  Anggota kelompok seharusnya dipaksa untuk masuk daiam suatu kelompok oleh para superior (senior) atau pimpinan kelompok.
5.                  Pernyataan tidak puas yang tidak bisa ditunjukkan dengan bukti ilmiah seharusnya tidak dibuat.
Lihat The American Psychological Association's "Ethical Principles of Psychologists" dalam daftar pustaka untuk pemahaman lebih lanjut tentang pengumuman-pengumuman atau iklan-iklan yang bersifat umum.

PENYARINGAN PESERTA KELOMPOK
Semenjak ada bukti bahwa tidak setiap orang bisa mengambil keuntungan dari suatu pengalaman kelompok, pimpinan seharusnya memberlakukan beberapa bentuk prosedur penyaringan untuk memastikan bahwa calon anggota kelompok memahami apa yang akan diharapkan darinya dan untuk menyeleksi para anggota yang bisa mengambil keuntungan dari program tersebut untuk dirinya sendiri dan partisipan lain. Beberapa petunjuk umum untuk memastikan bahwa kondisi-kondisi/syarat-syarat ini terpenuhi adalah:
1.                  Calon anggota kelompok seharusnya dihargai atas kemampuannya mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu dari program (pengalaman) tersebut. Anggota-anggota yang terlihat tidak potensial lebih baik tidak dimasukkan dalam kelompok tersebut. The American Medical Association's Council on Mental Health memberi batasan-batasan mereka yang terlihat tidak potensial dalam mengikuti pelatihan: (a) orang-orang yang benar-benar gila dan orang-orang yang mengalami gangguan tidak bisa menerima kenyataan;(b)orang-orang yang mengalami ketidakseimbangan mental disertai gangguan badaniah; ©orang-orang yang mempunyai sejarah kelabilan emosi dan masih terlihat kentara; (d)orang-orang yang melawan rasa stress dengan kompensasi psikologi; dan (e) orang-orang yang ada dalam masa krisis. (1971:1854). (Kecuali untuk b, individu-individu ini juga bisa mengikuti konseling kelompok, terapi kelompok dan terapi kelompok pura-pura).
2.                  Calon anggota kelompok seharusnya diinformasikan bahwa keikutsertaannya harusiah bersifat sukarela. (Jika ada perkecualian, harus didata secara lengkap).
3.                  Calon anggota kelompok seharusnya diberi tahu tentang apa yang diharapkan dari mereka, resiko-resiko apa yang mungkin muncul dan teknik-teknik apa yang pimpinan akan gunakan.
4.                  Calon anggota kelompok seharusnya diberitahu bahwa mereka mempunyai kebebasan untuk keluar dari kelompok tersebut.
5.                  Calon anggota kelompok seharusnya diberi tahu bahwa mereka mempunyai kebebasan untuk menolak saran atau nasehat dari pimpinan dan anggota-anggota kelompok.
6.                  Calon anggota kelompok seharusnya diberitahu apakah kerahasiaan merupakan suatu syarat untuk keanggotaan kelompok atau tidak. (Biasanya hal ini akan diberitahukan dalam terapi, konseling dan kelompok-kelompok eksperimen, walaupun kerahasiaan yang benar-benar tidak bisa dijamin).
7.                  Calon anggota kelompok seharusnya diinformasikan secara jelas tentang bidang-bidang atau hal-hal apa yang pimpinan kelompok nyatakan sebagai hal yang tidak rahasia (sebagai contoh, kedekatan anggota kelompok dengan yang lainnya).
8.                  Calon anggota kelompok seharusnya diberitahu tentang riset apapun yang mungkin diselenggarakan berdasarkan kelompok tersebut dan pernyataan atas kesediaanya dinyatakan secara tertulis.
9.                  Calon anggota kelompok harus diberitahu tentang perekaman session kelompok dan konsentrasi mereka untuk perekaman tersebut harus maksimal. Selanjutnya, mereka juga diberitahu bahwa mereka bisa menghentikan perekaman pada bagian-bagian tertentu dimana mereka menganggap hal tersebut seharusnya tidak diketahui oleh peserta lain.
10.           Calon anggota kelompok seharusnya disangsikan untuk menentukan apakah mereka berada dalam perlakuan yang sama dengan yang lainnya.
11.           Calon anggota kelompok seharusnya diberitahu bahwa pimpinan mungkin perlu memindahkan mereka dari kelompok tersebut jika pimpinan menilai mereka diganggu atau mengganggu yang lainnya.
12.           Biasanya, para senior tidak ditempatkan dalam kelompok yunior.Sebagai contoh, siswa seharusnya tidak ditempatkan dalam kelompok terapi/konseling yang sama dengan gurunya atau yang lainnya yang mempunyai kontrol evaluasi terhadap siswa-siswa
13.           Literatur menyarankan pemberitahuan tentang kapan anggota harus berkonsentrasi secara penuh untuk bisa mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan, mengenali resikoresiko dan batasan-batasan yang ada sehingga kesalahan pahaman bisa dihindari.
14.           Jika kelompok tersebut terdiri dari orang-orang yang belum dewasa, pimpinan kelompok seharusnya paham betul akan undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan perlunya peranan orang tua dan tentang ciri-ciri khusus orang-orang-orang yang belum dewasa. Peranan orang tua seharusnya dianggap sebagai alasan etika.
KERAHASIAAN
Ada kesepakatan umum diantara pimpinan-pimpinan kelompok bahwa kerahasiaan merupakan suatu syarat untuk pengembangan kepercayaan, kohesi dan kerja produktif kelompok dalam konseling kelompok, terapi kelompok dan terapi-kuasi kelompok. Pentingnya konsep ini seharusnya dibahas secara lengkap dengan calon peserta kelompok dalam proses penyaringan.(lihat penyaringan peserta kelompok dalam bab ini). Disini, secara terpisah, akan dibahas secara lebih detail dimensi-dimensi lain dari kerahasiaan dalam kerja kelompok. Beberapa petunjuk umum tentang kerahasiaan adalah sebagai berikut:
1.                  Pemimpin kelompok seharusnya menahan diri dan membuka data identitas anggota-anggota kelompok yang tidak perlu ketika mencari konsultasi. Pimpinan seharusnya membahas kelompok atau individu-individu tersebut hanya untuk tujuan kerja.
2.                  Semua data yang didapat dari anggota kelompok untuk tujuan riset harus didapatkan hanya setelah anggota-anggota kelompok tersebut memberikan ijin tertulisnya.
3.                  Pimpinan kelompok harus menyamarkan semua data yang mengidentifikasi anggota-anggota kelompok jika itu dipakai dalam publikasi
4.                  Pimpinan kelompok secara berkala seharusnya mengingatkan anggota kelompok tentang pentingnya kerahasiaan dalam kelompok konseling, terapi, dan terapi kuasi.
5.                  Pimpinan kelompok seharusnya memberitahu anggota-anggota kelompok tentang batasan-batasan hukum kerahasiaan pimpinan dan anggota kelompok lainnya.
6.                  Pimpinan kelompok seharusnya tahu bagaimana rekaman klien ditangani, oleh siapa, berapa lama rekaman tersebut harus disimpan, dimana rekaman data tersebut disimpan, siapa yang akan memberi penilaian atas rekaman tersebut dan apa yang akan terjadi dengan rekaman data tersebut disuatu saat nanti.
7.                  Pimpinan kelompok seharusnya mengetahui apakah klien telah membuat catatan tertulis dan prosedur apa yang digunakan klien tersebut untuk membuat catatan.
8.                  Catatan-catatan seharusnya tidak disebarluaskan secara luas tanpa pemberitahuan dan ijin dari klien.
9.                  Jika komputer yang digunakan untuk menyimpan data atau dalam cara/ media apapun yang anggota kelompok diidentifikasi, kehati-hatian harus dilakukan untuk memastikan data tersebut tidak terbaca oleh orang yang tidak bersangkutan. Ancaman akan kerahasiaan dengan penggunaan komputer harus dipahami.
10.           Jika sistem ganti rugi pihak ketiga digunakan, beri informasi seminim mungkin. Jangan pernah mengirimkan catatan lengkap dan menginformasikan klien tentang pemberian informasi yang ada pada perusahaaperusahaan asuransi.
11.           Pastikan untuk merusak atau menghapus audiotape dan/atau videotape.
12.           Pimpinan kelompok harus memahami tingkat kerahasiaan yang mereka janjikan pada anak.
PENGHENTIAN DAN TINDAK LANJUT
Kritik utama tentang penghentian dan tindak lanjut penangan kelompok konseling, terapi dan terapi-kuasi adalah pengehentian dalam jangka pendek dan tidak ada tindak lanjut yang diberikan. Situasi ini seringkali terjadi apabila pimpinan kelompok luar kota memberi pelatihan dan terapi pada suatu lokakarya. Karena pimpinan hanya hadir untuk lokakarya tersebut, ia tidak paham betul dengan sumber-sumber daya lokal dan tidak bisa membuat penyelesaian yang memuaskan. Dan karena pimpinan seringkali tidak merencanakan kunjungan kembali sebagai upaya tindak lanjut, para peserta tetap pada kondisinya. Maka dari itu perlu diberikan petunjuk-petunjuk untuk penanganan situasi semacam ini. Adapun petunjuk-petunjuk tersebut adalah sebagai berikut:
1.                  Pimpinan kelompok seharusnya merencanakan upaya tindak lanjut bagi kelompok jangka pendek yang mempunyai keterbatasan waktu.
2.                  Pimpinan kelompok seharusnya tahu dan mempunyai komitmen dari seorang profesional yang berkualitas kepada siapa ia bisa mengarahkan para peserta kelompok apabila pimpinan tersebut tidak dapat melanjutkan keterlibatannya secara profesional.
3.                  Para peserta kelompok seharusnya diberitahu tentang nara sumber yang kompeten sehingga mereka bisa datang menemuinya apabila mereka membutuhkan bantuan.
KELOMPOK TANPA PEMIMPIN
Sampai ada bukti penefitian yang mendukung kelompok terapi dan terapi-kuasi tanpa adanya beberapa pimpinan kerja seharusnya diminimalkan. Khususnya, kelompok-kelompok yang diarahkan dengan instruksi audiotape seharusnya tidak diperbolehkan jika tidak ada seorang pimpinan yang profesional memonitor kelompok tersebut. Batasan-batasan ini tidak diperlukan lagi karena ada bukti yang didapat dalam penelitian Liberman, Yalom, dan Miles (1973) bahwa kelompok tanpa pemimpin juga efektif. (Saran-saran ini sepertinya juga membatasi penggunaan kelompok swadaya seperti AA dan Synanon. Ini dibenarkan hanya apabila tidak ada bukti yang mendukung kelompok swadaya yang ditemukan sebelumnya).
PROSEDUR UMUM UNTUK MENANGANI TINDAKAN YANG TERCELA, YANG TIDAK SESUAI DENGAN KODE ETIK
Biasanya ada prosedur-prosedur tertentu yang ditetapkan oleh gabungan profesional untuk mengatur anggotanya. Kode etik atau standar etika ini tidak hanya merupakan instrumen tetapi juga merupakan kriteria hukum. Maka dari itu kode etik mengatur para profesional untuk mengetahui tanggungjawab etikanya dan menjalankannya dengan baik. Hamptrsemua kode etik juga memberikan prosedur yang harus diikuti apabila ada seseorang yang terbukti melakukan tindakan yang tercela, tindakan yang tidak sesuai dengan kode etik yang ada.
Pada umumnya, seseorang seharusnya terlebih dahulu melindungi klien yang terpengaruh oleh tindakan-tindakan yang tercela. Dengan menganggap bahwa klien tersebut tidak membahayakan dalam jangka waktu tertentu, klien tersebut seharusnya diberitahu atas tindakannya yang dianggap tidak etis dan seharusnya diminta untuk memperbaikinya. Jika klien tersebut menolak untuk memperbaikinya, maka pimpinan seharusnya membuat catatan khusus. Ethical Guidelines for Group Leaders (Panduan Etika untuk Para Pimpinan Kelompok) yang diterbitkan oleh Association for Specialists in Group Work memberikan tindakan yang seharusnya diambil apabila pelanggaran terhadap kode etik dilakukan. Petunjuk tersebut disimpulkan dari investigasi yang dilakukan Komite ASGN dan saran-saran yang diberikan dalam dengar pendapat dihadapan Komite yang sama. Dengan pendapat tersebut seharusnya sesuai dengan kebijaksanaan AACD dan prosedur-prosedur untuk menangani masalah-masalah pelanggaran kode etik.

KES1MPULAN
Bab ini berisi beberapa petunjuk etika untuk kerja kelompok, khususnya bagi mereka yang memimpin kelompok-kelopok konseling, terapi dan terapi-kuasi. Petunjuk ini dibuat berdasarkan pada peninjauan kembali secara hati-hati dan saksama atas literatur-literatur yang ada dan juga pada survey kuesioner yang dikirim pada gabungan-gabungan kerja dan masyarakat tertentu.
Tinjauan pustaka menunjukkan bahwa berbagai gabungan kerja membuat sejumlah petunjuk yang diberikan/ditujukan pada para anggotanya, khususnya untuk kelompok-kelompok konseling, terapi, dan terapi-kuasi.
Bab ini mulai dengan definisi tentang kerja kelompok dan etika-etika kerja kelompok dan memberikan juga daftar kondisi/ketentuan Lakin's untuk para anggota dalam kelompok eksperimen. Selanjutnya, petunjuk-petunjuk untuk pelaksanaan kode etik-kode etik yang ada diberikan dibawah sub topik berikut: kepemimpinan kelompok, kerahasiaan, penghentian dan tindak lanjut, kelompok tanpa pimpinan, dan prosedur-prosedur umum untuk menangani tindakan-tindakan yang tercela, yang tidak sesuai dengan kode etik.






BAB V
PEMIMPIN KELOMPOK

Komponen dalam system kelompok terdiri dari :
1.      Jenis kelompok
2.      Tujuan kelompok
3.      Peranan anggota kelompok
4.      Pimpinan kelompok
5.      Aturan-aturan dasar dari kelompok
6.      Pokok-pokok pembicaraan dalam kelompok.
Dari keenam komponen tersebut pimpinan kelompok merupakan merupakan komponen yang sangat penting. Pemimpin kelompok sangat berkaitan erat dengan aktivitas kelompok, bahkan berhasil tidaknya kelompok  dicerminkan dari pimpinannya. Persoalan yang berkaitan dengan pimpinan kelompok sebagian besar terkait dengan gaya dan substansinya, serta pada kepribadiannya. Seorang pemimpin kelompok merupakan seseorang yang memperlancar tindakan untuk perubahan, oleh karena itu pimpinan kelompok harus menguasai pengetahuan dan melatih ketrampilan-ketrampilan dalam mempimpin kelompok. Konselor sebagai pimpinan  kelompok mempunyai pengaruh yang penting dalam konseling kelompok, konselor tidak hanya mengarahkan perilaku anggota sesuai dengan kebutuhannya tetapi juga harus tanggap terhadap segala perubahan yang terjadi dalam kelompok sebagai akibat dari perkembangan kegiatan kelompok itu.
A.    Tugas-tugas Pemimpin Kelompok
Konselor sebagai pemimpin kelompok mempunyai tugas yang tidak ringan yaitu :
1.      Membuat dan mempertahankan kelompok.
Dengan cara pemimpin melakukan wawancara awal dan seleksi yang baik saat mau membentuk kelompok konseling. Saat konseling dimulai pemimpin harus mempertahankan anggotanya tetap hadir dan mengikuti kegiatan kelompok. Untuk itu pemimpin harus mengenal hal-hal yang dapat mempengaruhi kohesivitas kelompok.
2.      Membentuk Budaya.
Pimpinan kelompok harus mengupayakan kelompok menjadi system social yang terapeutik, sehingga pemimpin kelompok bertugas membawa kelompok dari satu factor kuratif  ke factor kuratif lainnya melalui pembentukan budaya kelompok. Dengan demikian akan dapat menimbulkan interaksi yang tepat dalam kelompok. Anggota harus merasa bebas, kejujuran dan spontanitas harus didorong dalam kelompok, penerimaan tanpa penilaian untuk anggota lain, pembukaan diri pada tingkat tinggi dan keinginan yang besar untuk berubah merupakan norma yang sangat pendting dalam kelompok.
3.      Membentuk Norma
Norma dalam kelompok dibentuk berdasarkan harapan anggota kelompok terhadap kelompok dan pengarahan langsung mapun tidak dari pemimpin kelompok dan anggota yang berpengaruh. Dalam hal ini pemimpin kelompok berperan sebagai :
a.       pakar teknis (the technical expert) : pemimpin secara langsung memberikan instruksi terhadap kelompok, dan petunjuk bagi anggota untuk berinteraksi satu sama lain
b.      peserta penetapan model (the model setting participant) : pemimpin membentuk budaya melalui perilakunya sendiri yang dapat dipakai sebagai model dalam kelompok seperti ketulusan dan kesedian menolong, empati dan keterusterangan terhadap anggota.
Norma yang sebaiknya ada dalam kelompok adalah :
a.       kelompok pemantau diri (the self-monitoring group )
b.      pembukaan diri (self-disclosure)
c.       Norma procedural (procedural norms)
d.      Pentinya kelompok (the importance of the group)
e.       Anggota sebagai agen penolong ( members as agents of help)
B.  Pemimpin Kelompok
1. Siapa pemimpin kelompok itu ?
 a. Pemimpin kelompok sebagai pribadi
     Pemimpin kelompok memiliki pengaruh pada proses kelompok bukan hanya mahir dalam teknik-teknik kelompok  tetapi juga melalui ciri-ciri dan perilaku pribadi mereka. Pemimpin kelompok juga perlu memiliki keberanian untuk terlibat dalam menilai diri mereka sendiri.
b.  Pemimpin kelompok sebagai seorang professional.
     Ciri-ciri positip pribadi juga tidak cukup menjamin pemimpin kelompok yang efektif, pemimpin kelompok juga harus menguasai ketrampilan-ketrampilan kepemimpinan kelompok yang spesifik dan penampilan yang sesuai fungsi-fungsi tertentu.
2.Kualifikasi Pemimpin Kelompok
a.    Pertimbangan Etis dan Legal Pemimpin Kelompok.
Persoalan etika yang dapat ditangani dengan menggunakan pertimbangan professional yang baik antara lain :
1.Kualifikasi pemimpin kelompok.
Pimpinan kelompok harus memenuhi syarat sepenuhnya untuk memimpin kelompok yang sedang dipimpinannya dalam hubungannya dengan pemilikan latar belakang pendidikan yang cocok dan pengalamannya.
            2.Pemberitahuan anggota tentang anggota kelompok.
Anggota perlu diinformasikan tentang tujuan kelompok, resiko-resiko tertentu yang mungkin ditemukan / resiko psikologis. Cara yang harus dilakukan oleh konselor adalah dengan membuat kontrak dengan klien, yang menyangkut batas tanggungjawab konselor dalam kegiatan kelompok dan komitmen peserta terhadap kelompoknya.
            3.Hak anggota untuk bergerak bebas dari ancaman.
Anggota kelompok memiliki hak untuk melakukan, memelihara dan memecahkan masalah-masalah. Mereka harus bebas dari paksaan atau intimidasi baik oleh anggota maupun pimpinan kelompok.
            4.Hak anggota untuk meninggalkan kelompok.
Pemimpin kelompok perlu melakukan wawancara dengan anggota yang hendak meninggalkan kelompok untuk menentukan alasan. Pemimpin kelompok boleh meminta anggota untuk tetap dalam kelompok pada session lain dalam hubungannya dengan keprihatianan anggota atau mengalihkan ke anggota kelompok lain atau konseling individual.
            5.Kerahasiaan.
Konselor sebagai pemimpin kelompok harus menekankan kepada semua peserta pentingnya pemeliharaan kerahasian. Dan menyampaikan bahwa apa yang terjadi selama proses konseling kelompok merupakan rahasia bersama sebagai kelompok. Pemimpin kelompok juga perlu menetapkan dengan persetujuan dari anggota, suatu konsekuensi yang jelas kalau anggota membuka rahasia.
            6.Hubungan pribadi antara pemimpin dengan anggota-anggota.
Pemimpin kelompok harus menahan diri dari keterlibatan romantis dengan anggota kelompok saat kelompok sedang berlangsung dan tidak pilih kasih kepada anggota tertentu.
            7.Hubungan Pribadi antar Anggota.
Pemimpin kelompok bisa mencoba mengurangi perilaku yang mengganggu dari anggota yang berhubungan dengan anggota dari luar kelompok.
8.Nilai-nilai Pemimpin
Nilai pribadi dari pemimpin dalam kelompok tidak boleh disisipkan pada anggota, kalaupun terjadi nilai pribadi mereka bercampur dalam keefektifan kelompok maka pemimpin kelompok harus berhati-hati tentang penyuaraan nilai-nilainya pada persoalan seperti agama, perceraian, aborsi dan lain sebagainya.
9.  Penggunaan Etika Latihan-latihan.
     Hal yang perlu diperhatikan pemimpin kelompok dalam penggunaan latihan-latihan :
a.       Anggota tidak harus ikut dalam latihan bila tidak merasa enak akan latihan itu.
b.      Latihan harus dijelaskan secara jelas dan potensial resiko-resiko harus dikemukakan.
c.       Bila kontak fisik antaranggota diperlukan dalam latihan maka maksudnya harus dijelaskan.
d.      Dalam latihan tidak boleh memperdaya anggota untuk menampakkan bagian tubuh yang terlarang.
10. Peranan pemimpin dalam Pembuatan Referal
Pemimpin kelompok perlu mempertimbangkan apabila mereka menjumpai anggotanya untuk konseling tindak lanjut, pemimpin kelompok perlu memberi kesempatan anggota untuk melanjutkan dalam menemukan mental mereka secara sehat dengan konselor lain atau sumber luar.
b.                           Syarat-syarat Pemimpin kelompok.
1.   Kepribadian dan karakter Pemimpin kelompok dengan cirri-ciri sebagai berikut :
a.    Kehadiran secara emosional pada anggota kelompok.
b.   Kekuatan pribadi meliputi kepercayaan diri dan kesadaran akan pengaruh orang lain.
c.    Keberanian dalam berinteraksi dengan anggota kelompok.
d.   Kemauan untuk mengkonfrontasi diri sendiri.
e.    Kesadaran diri akan kebutuhan dan motivasi seseorang, akan konflik-konflik dan masalah-masalah pribadi, akan pertahanan dan titik-titik kelemahan, akan bidang usaha yang belum selesai, dan dari pengaruh potensial terhadap semua ini dalam proses kelompok.
f.    Kesungguhan/ketulusan akan minat kesejahteraan orang lain.
g.   Keaslian dalam pribadi yang jujur, nyata, tidak berpura-pura dan tidak bersembunyi dibelakang topeng-topeng.
h.   Mengerti identitas dirinya sendiri.
i.     Keyakinan /kepercayaan dalam proses kelompok.
j.     Kegairahan/ antusiasme.
k.   Daya cipta dan kreativitas terhadap ide-ide yang segar.
l.     Daya tahan / stamina baik secara fisik maupun psikologis.
2.   Pemimpin sebagai seorang professional.
Ketrampilan-ketrampilan dasar bagi seorang pemimpin kelompok menurut Jacobs, Harvill & Masson.( 1994: 108 ) yaitu :
a.    Aktif mendengar
b.   Refleksi
Tujuan dari refleksi yaitu untuk membantu anggota yang sedang bicara menjadi lebih sadar akan apa yang dikatakan dan menyampaikan kepadanya bahwa anda sedang sadar tentang bagaiman ia rasakan.
c.    Menguraikan / menjelaskan
d.   Meringkas
e.    Penjelasan singkat dan pemberian informasi
f.    Mendorong dan mendukung
g.   Mengatur suara
h.   Memperagakan dan mengungkapkan diri
i.     Penggunaan mata
Mata pemimpin kelompok dapat digunakan dalam empat cara yaitu :
1.        Membaca sepintas dengan isyarat non verbal seperti anggukan kepala, ekspresi wajah, perubahan tubuh dan kerlingan mata.
2.      Mengarahkan kembali komentar-komentar anggota kelompok.
3.      Mengajak anggota bicara
4.      Memotong anggota.
j.     Penggunaan suara
Suara pemimpin kelompok dapat digunakan untuk mempengaruhi bunyi dan suasana dari kelompok dan juga ruangan dan isinya.
k.   Penggunaan energi pemimpin
l.     Mengidentifikasi mitra-mitra dalam kelompok untuk diajak kerjasama.
Association for Specialists in Group Work (ASGW) mengelompokkan kemampuan khusus konselor kelompok (pemimpin kelompok) menjadi tiga besar, yaitu (a) kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan b) kemampuan yang berkaitan dengan keterampilan khusus, dan c) kemampuan yang berkenaan dengan pengalaman praktek. Ketiga kemampuan itu oleh ASOW dirinci dalam butir-butir standar sebagai berikut :
1. Kemampuan berkaitan dengan pengetahuan
a.   Teori-teori utama mengenai konseling kelompok.
b.   Prinsip-prinsip pokok tentang dinamika kelompok serta gagasan-gagasan dasar mengenai proses kelompok
c.    Kekuatan dan kelemahan diri sendiri, nilai-nilai hidup yang dianutnya dan ciri-ciri pribadinya sendiri.
d.    Persoalan-persoalan pokok mengenai etika dan profesi yang khusus berkaitan dengan pekerjaan kelompok.
e.    iformasi mutakhir tentang penelitian dalam bidang pekerjaan kelompok.
f.     Peranan dan perilaku yang bersifat memudahkan peserta konseling kelompok yang mungkin diharapkan oleh para peserta
g.    Keuntungan dan kerugian dari pekerjaan kelompok dan situasi di mana pekerjaan kelompok tepat atau tidak tepat digunakan sebagai suatu bentuk intervensi yang bersifat terapeutik.
h.   Ciri-ciri interaksi kelompok dan peranan konseling yang terlibat alam tahap-tahap perkembangan kelompok.
2. Kemampuan berkaitan dengan keterampilan.
a.  mampu menyaring dan menilai kesiapan klien untuk turut serta dalam suatu kelompok.
b.  memiliki definisi yang jelas mengenai konseling kelompok dan mampu menerangkan tujuan dan prosedur konseling kelompok kepada para anggota kelompok.
c.  mendiagnosis perilaku yang merusak diri sendiri pada para anggota kelompok dan mampu menangani kasus-kasus yang memperlihatkan perilaku demikian itu.
d.   Membuat model perilaku yang tepat untuk para anggota kelompok.
e.   Menafsirkan perilaku non verbal secara teliti dan tepat.
f.    Menggunakan keterampilan yang dimilikinya.
g.    Melakukan penanganan masalah pada saat yang kritis.
h.   Mampu memanfaatkan teknik, strategi dan prosedur konseling kelompok.
i.     Menggerakkan faktor-faktor terapeutik yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan tertentu.
j.    Mampu menggunakan prosedur kelompok penunjang.
k.    Mampu bekerja sama dengan pemimpin kelompok yang lain secara efektif.
l.    Mampu secara efektif mengarahkan pertemuan kelompok menuju kepada penutupannya dan mampu mengakhirinya.
m.  Mampu menggunakan prosedur teknik tindak lanjut untuk mempertahankan dan menunjang hasil konseling yang telah diperoleh anggota kelompok yang bersangkutan.
n.   Mampu menggunakan prosedur penilaian untuk mengetahui hasil kegiatan kelompok.
3. Kemampuan berkaitan dengan praktik klinis
a.   Membuat kritik mengenal rekaman kegiatan kelompok
b.   Mengamati pelaksanaan konseling kelompok
c.   Turut serta sebagai seorang anggota dalam kelompok
d.   Menjadi pendamping pemimpin kelompok
e.   Melakukan prakek konseling kelompok secara mancliri
f.    Melaksanakan program magang.
Kemampuan-kemampuan tersebut tidak hanya dapat diperoleh dan pendidkan dan/atau latihan formal saja, Konselor kelompok harus selalu berusaha melakukan profesionalisasi diri dengan mengikuti perkembangan teori dan teknik konseling kelompok dan selalu melakukan self regulation dalam hal kemampuannya.



C.   Gaya Kepemimpinan Kelompok
Pemimpin kelompok paling efektif adalah pemimpin kelompok yang serba bisa mengubah pola kepemimpinannya sesuai dengan maksud kelompok dan keanggotaannya. (Kottler,1994).
1. Kepemimpinan Interpersonal versus Kepemimpinan Intrapersonal
Gaya interpersonal dan kepemimpinan kelompok terfokus kepada transaksi antara individu di dalam kelompok tersebut, sedangkan gaya intrapersonal dan kepemimpinan kelompok terkonsentrasi kepada reaksi di dalam individu para anggota kelompok tersebut..
2. Kepemimpinan yang terpusat ke pemimpin versus kepemimpinan yang terpusat ke kelompok
Sebuah kelompok yang terpusat ke pemimpin adalah gaya otokratik, dan pemimpinnya memberikan instruksi kepada para pengikutnya dengan cara yang “benar”.atau gaya yang berorientasi ke guru. Kelompok yang berpusat ke pemimpin adalah gaya yang berdasarkan kepatuhan dan para pengikutnya. KelormPOk yang terpusat ke kelompok terfokus kepada proses anggota dan intrpersonalnya. Pemimpin yang menerapkan gaya pendekatan ini kepada sebuah kelompok akan memudahkan Kondisi-kondisi untuk “meningkatkafn kesadaran diri dan pilihan-pilihan untuk mengembangkan sang guru di dalamnya”. Rangkaian kepemimpinan yang luas di dalam kelompok disajikan pada Gambar 3. 1
 
















3. Memilih sebuah gaya kepemimpinan
Lewin (1944) memperkenalkan tiga gaya dasar kepemimpinan kelompok : otoriter,demokratis, dan laissez-faire.
a. Pemimpin kelompok otoriter menganggap diri mereka sendiri hali. Pemimpin ini berinterpretasi,memberi saran, dan biasanya mengarahkan gerakan kelompok seperti orang tua yang mengendalikan tindakan-tindakan seorang anak. Pemimpin otoriter seringkali kharismatik dan manipulatif (McClure, 1994). Permintaan mereki dipatuhi dan harapannya dipenuhi. (lihat gambar 3.2). Gaya kepemimpinan ini dipakai oleh banyak pemimpin kelompok latar belakang psikoanalisis.
b.   Pemimpin kelompok demokratis adalah pemimpin yang Iebih terpusat ke kelompok atau tidak diarahkan. Pemimpin ini berlaku sebagai fasilitator proses kelompok dan bukan sebagai pengatur kelompok tersebut. Mereka bekerja kolaborasi, dan membagi tanggungjawab dengan kelompoknya. (lihat Gambar 3.3).
c. Pemimpin laissez-faire, adalah gaya kepemimpinan yang gagal menyediakan struktur apapun bagi kelompoknya. Para anggota ditinggalkan begitu saja dengan tanggung jawab untuk memimpin dan mengarahkan. Pemimpin kelompok laissez-faire dan kelompok-kelompoknya tidak mendapatkan apapun karena tak ada maksud dan tujuan yang jelas. Interaksi di dalam kelompok laissez-faire ditunjukkan di dalam Gambar 3.4.
4. Kelompok tanpa pemimpin dan para pemimpin
Salah satu jenis kelompok tanpa pemimpin adalah kelompok membantu-diri. Di dalam kelompok ini,para pemimpin muncul begitu kelompoknya berkembang. Para pemimpin yang non-profesional pada kasus semacam itu berkembang ketika kelompoknya dalam kemajuan. Meskipun beberapa pemimpin dan kelompok tanpa pemimpin ini efektif, tetapi pendekatan ini pada dasarnya dikembangkan melalui trial and error, pendekatan ini bisa destruktif dan bisa juga konstruktif.
5.Gaya Kepemimpinan untuk kelompok-kelompok yang berbeda.
Jenis kelompok yang berbeda-beda membutuhkan gaya kepemimpinan yang spesifik (Kottler,1994). Mekanisme-mekanisme Inti dan kepemimpinan kelompok merupakan simulasi yang emosional, kepedulian penjelasan makna, dan fungsi eksekutif. Pada semua jenis kelompok yang berbeda, para pemimpin harus meningkatkan pemerataan level efektif misalnya stimulasi emosional. Perasaan, seperti halnya pemikiran,perlu diekspresikan. Selain itu pula, para pemimpin kelompok harus menunjukkan kepeduliannya. Penjelasan makna mengacu kepada kemampuan pemimpin untuk menjelaskan kepada para anggota kelompok dengan cara kognitif mengenal apa yang tengah terjadi di dalam kelompok tersebut.
6. Kualitas personal pada pemimpin kelompok yang efektif
Setiap pemimpin kelompok menyertakan kualitas personal (dirinya) kepada kelompoknya, termasuk cara-cara yang Iebih disukai dalam merasakan dunia dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan pribadi seseorang dan orang lain. Para pemimpin kelompok yang efektif mungkin memanfaatkan aspek kepribadian din dan pengetahuan mereka yang terkuat serta mengkombinasikannya denga pengalaman di dalam mempin kelompoknya (Johnson & Johnson,1991).
 








7. Fungsi Kepemimpinan Kelompok
Ada fungsi muatan dan proses yang keduanya harus pemimpin selama kelangsungan hidup kelompok tersebut. Fungsi muatan kata-kata dan gagasan yang aktual yang bergantian antara pimpinan dan anggota.
Fungsi-fungsiproses merupakan serangkaian peristiwa yang dapat dikenali yang mempengaruhi perkembangan sebuah kelompok (Johnson & Johnson,1991).
8. Fungsi Utama Pemimpin kelompok
Bates dkk (1982) mencirikan empat fungsi utama yang ditunjukkan oleh pemimpin kelompok pada berbagai kesempatan yaitu :
a. sebagai pengatur lalu lintas
b. sebagai model perilaku yang sesuai
c.  sebagai katalisator interaksi
d. sebagai fasilitator komunikasi.
9. Konflik Pemimpin dan Kelompok.
Selain empat fungsi yang telah dijelaskan tersebut di atas, pemimpin kelompok juga harus dapat menjalankan fungsi manajemen konflik. tampilnya konflik adalah hal yang normal di dalam sebuah kelompok dan umumnya lazim pada tahap kelompok tertentu seperti “keributan’ . Lima teknik khusus untuk menajeman konflik di dalam kelompok telah dikemukakan oleh Simpson (1977) dan dilengkapi oleh Kormanski (1982) yaitu :
a.   Menarik dari konflik. Strategi ini membuat pemimpin membuat jarak dirinya dari konflik dan menunda intervensi. Ada keuntungan dengan membiarkan pemimpin mendapatkan lebih banyak data dan pengamatan yang lebih lama tanpa harus terlibat lebih jauh. Kerugian pendekatan ini ialah bahwa konflik tersebut dapat meningkat dan penarikan benan-benan tidak efektif berkaitan dengan situasi kritis tensebut.
b.  Tekanan konflik. Sebagal sebuah strategi, tekanan merupakan penurunan konflik. Strategi ini dipakai ketika persoalannya kecil. Strategi ini tetap membuat emosi dalam kendali dan membantu pemimpin kelompok membangun suasana yang mendukung. Kerugian tekanan adalah bahwa strategi ini gagal mengatasi konflik memungkinkan terjadinya perasaan yang meldak-ledak yang nantinya akan merusak. Selain itu pula, pemimpin bisa dianggap Iemah atau tidak peka ketika mereka menggunakan strategi ini.
c. Menyatukan gagasan yang bertentangan guna membentuk solusi yang baru. Dengan mempergunakan strategi ini, para pemimpin ketompok berusaha membuat semua pihak mengkaji kembali situasinya dan mengidentifikasi poin-poin kesepakatan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan atternatif-alternatif baru, mempelajari bagaimana caranya untuk membuka jalur komunikasl dengan cara yang lebih balk dan membangUn kesatuan dan komitmen yang terpadu.
d.  Melakukan kompromi. Dengan metode ini, masing-masing pihak yang terlibat  sedikit mengalah untuk mendapatkan bagian yang menginginkan dan untuk menghindari konflik. Hasilnya adalah win-win solution (sama rataO dimana perilaku yang kooperatif dan usaha yar kolaboratif dikedepankan. Kerugian dari kompromi ini bahwa beberapa pihak dapat menambah-nambahi keinginan mereka untuk mendapatkan hasil lebih banyak, dan seringkali tmndakan yang diambil tidak efektif atau kurang sesuai seperti yang diinginkan.
e.  Menggunakan kekuatan untuk mengatasi konflik. Strategi kekuatan mencakup “pembebanan keinginan seseorang kepada orang lain” (Kormanski,1982:116). Sumber kekuatan bisa berasal dan status ataupun kepribadian seseorang. Kekuatan posisi paling sering dipergunakan ketika ada hubungan yang masih belum akrab antara Idividu (Hersey, balnchard & Natemeyer,1979). Kekuatan posisi brasai dan status getar seseorang, misalnya ‘pemimpmn kelompok” au “tasititator”. Kekuatan personal lebih sering digunakan pada situasi
10. Pemimpin di dalam kelompok
Kekuatan yang berhubungan dengan bantuan untuk pemimpin kelompok menurut para ahli seperti Corey dan Corey (1992) serta Jacobs, Harvill, dan Mason (1994) meliputi:
a.   Kemudahan dalam menangani kelompok di dalam situasi-situasi sulit.
b. Menggunakan model. Dengan adanya wakil pemimpin, anggota kelompok dihadapkan kepada dua model interaksi manusia
c. Umpan balik. Apapun persoalan yang dibahas anggota, mereka menerima dua kali umpan balik pemimpinnya ketika kelompok tersebut dipimpin oleh wakil pemimpin.
d. Berbagai pengetahuan khusus. Jenis pembagian ini bisa berasal dan respon terhadap situasi yang terjadi di dalam kelompok.
e. Pertimbangan pragmatis. Pada kelompok yang memakai wakil pimpinan, memungkinkan bagi seorang pemimpin untuk menggantikan pemimpin lainnya jika sebuah sesi kelompok tidak bisa dihadiri karena pertimbangan kesehatan atau pertimbangan profesional. Keterwakilan mungkmnkan kelompok tersebut terus berlanjut dan berkembang.

Keterbatasan kelompok yang memiliki wakil pemimpin adalah sebagai berikut :
a. Kurangnya usaha koordinas
b. Terlalu terfokus kepada pemimpin
c. Kompetisi.Kompetisi diatara para pemimpin kelompok akan berakibat pada bagian efisiensi dan produktivitas kelompok tersebut. Para pemimpin juga bisa kehilangan respek satu sama lain pada suasana semacam ini.
d. KoIusi. Di dalam proses kolusi,seorang wakil pemimpin mengadakan suatu aliansi informal dengan anggota suatu kelompok guna menunjukkan kualitas yang tidak disukai dan wakil pemimpin lainnya. Hasilnya merupakan limpahan emosi yang tidak diharapkan menjadi pemimpin yang tak berpihak dan memecah kelompok tersebut menjadi fraksi-fraksi.
Tiga model utama kelompok dengan wakil pemimpin adalah model yang:
a.bergantian, yaitu, seorang pemimpin bertanggung jawab atas periioda atau suatu sesi tertentu, dan pemimpin yang lainnya memberikan dukungan.
b.berbagi,yaitu, dimana setiap pemimpin saling mengambil alih sementara dia terlihat fit.
c. saling mengisi yaitu, pemimpin yang lebih berpengalaman mengemban tanggung jawab kelompok dalam rangka menunjukkan kepada pemimpin yang baru bagaimana caranya bekerja dengan kelompok.






BAB VI
KONSELING KELOMPOK PERKEMBANGAN
A. Dasar Pemikiran.
1. Manusia pada dasarnya dibekali dengan kemauan yang bebas, maka itu mempunyai kapasitas untuk membuat pilihan-pilihan, untuk meakukan atau memilih hal yang baik atau buruk.
2.  Kerusakan otak,dungu orang yang benar-benar terganggu jiwanya. Bahkan “kenormalan” kanena kondisi mungkin mempunyai tingkat-tingkat yang bervariasi dan mempengaruhi kemauan bebas mereka.
3.  Manusia mempunyai hati nurani yang terletak pada apa yang disebut sebagai ketegangan semangat manusia (Fabry,1980).
4. Dengan benanggapan bahwa ketegangan manusia yang “sehat” ini ada, manusia  mempunyai kebutuhan dasar (bawaan) untuk mengetahui dan untuk memahami. Kebutuhan ini memberi dasar pada berbagai asumsi yang membangkitkan pandangan dan pendidikan yang mendasari model wawancara dan model pelatihan keterampilan hidup.
5.  Gazda (1984) menyatakan bahwa sebelumnya tidak ada usaha untuk memberi pendekatan pada konseling kelompok yang bisa diterapkan pada semua tingkat usia.
6. Pendekatan (yang telah berkembang) untuk konseling kelompok dan pelatihan keterampilan hidup menggunakan konsep tugas perkembangan dengan tindakan-tindakan penanganan yang diberikan sebagai petunjuk umum untuk konselor kelompok dan pemimpin pemimpin dalam latihan keterampilan hidup.
7. Havighurst (1952, dalam Gazda,1 984:25) juga mengutip dua alasan mengapa konsep tugas perkembangan berguna bagi para pendidik, konselor dan pelatih keterampilan hidup. Pertama, membantu penemuan dan pernyataan tujuan pendidikan (konseling) di sekolah-sekolah. Kedua, membantu penentuan waktu upaya pendidikan (konseling).
8.  Dengan dasar tugas perkembangan manusia, yaitu rnbangan kognitif, perkembangan ego, perkembangan physical sexual, perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan vocational, dan perkembangan psychosocial, adalah untuk memberi para konselor  dengan beberapa parameter global sehingga mereka bisa menilai kemajuan individu.
Kesimpulannya, jika konselor mengetahui dimana individu seharusnya berada dalam perkembangannya, mereka bisa bersifat sangat preventif/melindungi dengan pemberian bantuan  pada satu waktu tertentu. Baik konseling kelompok maupun pelatihan keterampilan hidup merupakan strategi-strategi pemberian bantuan yang mendasarkan pada perkembangan individu yang dibantu.
Beberapa individu (Blocher,1 974; Brammer & Shostrom, 1960; Erikson, 1950; Havighurst,1 952; Superetal.,1957;,1963),telah mengembangkan berbagai skema kiasifikasi untuk tahap-tahap perkembangan. Untuk tujuan konseling kelompok, tahap tahap tersebut bisa dibagi menjadi menjadi: (1) masa kanak-kanak atau sebelum sekolah dan masa sekolah pada tahun-tahun pertama, usia 5-9; (2) masa remaja awal, usia 9-13; (3) masa remaja, usia 13-20; dan (4) orang dewasa.

B. Ekologi Perkembangan Manusia
Ilmu ekologi adalah merupakan usaha berbagai disiplin ilmu pengetahuan, yang tujuannya untuk memahami interaksi yang halus dan dinamis antara mahluk hidup dengan berbagai aspek di dalam lingkungannya. Pada penerapannya,ekologi secara khusus dikaitkan dengan memahami dan mempertahankan keseimbangan yang ada di dalam suatu lingkungan, sehingga dapat menjaga bekal kehidupan dan tumbuh kembang dan suatu mahluk hidup dapat dipertahankan. Permasalahan pokok yang ada, terkait dengan daya survive fisik dari suatu mahluk hidup. Dengan demikian ekologi perkembangan manusia atau lingkungan perkembangan manusia akan berkaitan terutama dalam hal transaksi antara individu dengan lingkungan pembelajaran mereka. Perkembangan muncul dari interaksi antara proses biologis dan kecenderungan-kecenderungan yang timbul dari struktur psikologis antara seseorang dengan ketentuan-ketentuan social budaya dan fisik dan lingkungannya. Perkembangan itu juga terjadi manakala manusia dihadapkan kepada tuntutan-tuntutan baru dan lingkungannya

C. Lingkungan Belajar Manusia
Lingkungan belajar secara khusus merupakan potensi dan alat dalam membentuk model perilaku yang penting dalam perilaku seseorang, yang pada akhirnya akan menentukan arah bagi perkembangannya dalam jangka panjang.
Lingkungan belajar dapat dikatakan memiliki pengaruh potensial karena :
 1. Pengaruhnya amat kuat disebabkan oleh faktor-faktor dalam lingkungan yang dimanfaatkan atau tidak, sehubungan dengan  kebutuhan dan motivasi dasarnya.
2.   Lingkungan belajar menjadi potensial karena bersifat intensif berkelanjutan. Orang cenderung untuk banyak menggunakan waktu hidupnya di dalam lingkungan belajarnya serta memanfaatkannya di dalam ia mengambil peran dari padanya.
3.   Lingkungan belajar menjadi potensial karena melibatkan waktu interaksi. Bentuk-bentuk interaksi itu akan menentukan dan memberikan arti kepada munculnya kontinyuitas maupun diskontinyuitas.
Dalam membantu individu mengembangkan dan menguasai perilaku yang diharapkan terletak pada pengembangan lingkungan belajar, yakni lingkungan yang memungkinkan individu memperoleh perilaku baru yang lebih efektif. Dalam konteks konseling kelompok di sekolah, lingkungan sekolah adalah lingkungan perkembangan peserta didik. Perilaku melakukan pengarahan diri (self-directed), pengaturan diri (self-regulation),dan pembaharuan diri (self-renewal),adalah perilaku-perilaku yang harus dikembangkan melalui bimbingan dan konseling untuk memelihara keserasihan pribadi lingkungan secara dinamis (Sunaryo Kartadinata,1996:9-10).
Ada tiga struktur dalam lingkungan belajar yang harus dikembangkan dalam suatu keutuhan yaitu :
1.  Struktur peluang, yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tugas, atau masalah, atau situasi, yang memungkinkan individu-individu mempelajari berbagai kecakapan hidup baik inter maupun antar pribadi, kapan menguasai dan mengendalikan pola respon. Tindakan kongkrit yang dapat dilakukan konselor ialah merancang memilih bahan, topik, atau tema konseling yang sesuai dengan misi fungsi, dan dengan memperhatikan segi kehidupan perkembangan dan ekspektasi individu, serta.faktor ekologis atau kontekstual.
2. struktur dukungan, yaitu perangkat sumber yang dapat diperoleh individu di dalam mengembangkan perilaku baru untuk merespon tingkat stimulus. Esensi struktur dukungan adalah transaksi dalam proses konseling. Upaya nyata yang dilakukan konselor ialah memelihara transaksi agar motivasi, optimisme dan komitmen terhadap standar hasil yang harus dicapai individu tumbuh dan terpelihara.
3. struktur penghargaan, yaitu perangkat sumber dalam pengalaman belajar yang dapat memperkuat perkiraan bahwa upaya yang dilakukan itu sebagai sesuatu yang akan memberikan pemuasan kebutuhan. Upaya nyata yang dapat dilakukan konselor ialah memberikan balikan sepanjang proses konseling berlangsung, melakukan diagnosis dan mengidentifikasi kesulitan, dan mengupayakan perbaikan serta penguatan perilaku baru. Konselor bertindak sebagai psychoeducator yang aktif terlibat di dalam membantu sistem berfungsi efektif, melalui pengembangan relasi dan transaksi, dan mendorong perkembangan individu ke tingkat yang lebih tinggi. Apa yang diintervensi dalam kelompok sebagai sistem, adalah cara berpikir dan bertindak individu dalam kelompok. Proses bimbingan dan konseling adalah proses membelajarkan individu secara lebih bermakna, dan belajar itu tidak berlangsung sendiri-sendiri melainkan secara kolektif, kooperatif, dan transaksional di dalam kelompok, dan terjadi dalam setiap tatanan atau setting kehidupan.

D. Pengertian, Asumsi, Tujuan dan Prinsip
Konseling kelompok perkembangan adalah upaya bantuan kepada sekelompok individu dengan cara mendorong pencapaian tujuan perkembangan dan menfokuskan pada kebutuhan dan kegiatan belajarnya. Maka pekerjaan konselor (khususnya di sekolah), adalah membantu seluruh siswa tanpa kecuali dengan tujuan agar mereka mencapai taraf perkembangan pribadi secara optimal dalam berbagai aspek kehidupannya. 
Proses perkembangan adalah proses yang berkelanjutan dan proses sepanjang hayat dan konseling dimaksudkan untuk membantu individu mencapai perkembangan optimal. Ini mengandung arti bahwa konseling dikehendaki untuk menyiapkan lingkungan perkembangan manusia yang sehat dan membantu individu mempelajari dan mengembangkan perilaku efektif normatif melalui interaksi yang sehat pula.
Ada empat pendekatan dapat dirumuskan sebagai pendekatan dalam konseling, yaitu pendekatan (a). krisis, (b)remedial, (c) preventif, (d) perkembangan (Myrick dalam Muro & Kottman,1995). Dalam pendekatan krisis konselor menunggu munculnya dan dia bertindak dalam pendekatan ini adalah teknik-teknik yang secara “pasti” dapat mengatasi krisis itu. Didalam pendekatan remedial, konselor akan menfokuskan tujuannya kepada upaya menyembuhkan atau memperbaki kelemahan-kelemahan yang tampak. Tujuan bantuan dan pendekatan ini ialah menghidarkan tenjadinya krisis yang mungkin terjadi. Pendekatan preventif mencoba mengantisipasi masalah-masalah genetik dan mencegah terjadinya masalah.. Konselor yang menggunakan pendekatan perkembangan beranjak dari pemahaman tentang keterampilan dan pengalaman khusus dibutuhkan individu untuk mencapai keberhasilan di sekolah dan di dalam kehidupan. Pendekatan perkembangan dipandang sebagai pendekatan yang tepat digunakan dalam tatanan pendidikan sekolah kanena memberikan perhatian kepada tahap-tahap perkembangan individu, kebutuhan dan minat, serta membantu mempelajari individu keterampilan hidup (Myrick dalam Muro dan Koottman,1955).
Pendekatan perkembangan berimplikasi bagi pelaksanaan konseling di sekolah, yaitu (1) perkembangan adalah tujuan konseling, ini berarti bahwa konselor perlu memiliki kerangka berfikir dan keterampilan yang memadai untuk memahami perkembangan peserta didik sebagai dasar perumusan tujuan dan isi konseling; (2) interaksi sehat merupakan iklim lingkungan perkembangan yang harus dikembangkan oleh konselor (Blocher,1974).
Profesi konseling memandang individu sebagai manusia yang berinteraksi dengan lingkungan, sehingga perilaku manusia harus dipandang sebagai ekologi manusia dengan lingkungan. Tugas konselor adalah menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi berkembangnya potensi individu. lndividu berkembang di dalam sistem umum yaitu adanya hubungan antara kondisi fisik-psikis individu dengan lingkungan sosial-budaya.
Menurut Blocher (1 974:5) asumsi dasar konseling perkembangan adalah bahwa kepribadian individu berkembang secara optimal melalui interaksi yang sehat antara individu dengan lingkungan atau budayanya. Lebih lanjut Blocher (1974:25) mengemukakan sejumlah asumsi dasar tentang hakikat konseling, konselor, dan klien yaitu :
a.  Orang yang mendapat pelayanan konseling bukanlah orang yang sedang sakit mental.
b.  Konseling perkembangan berorientasi (berpusat pandang) pada masa kini dan masa yang akan datang.
c.   Orang yang dilayani itu adalah individu normal, bukan orang sakit.
d.  Secara moral konselor perkembangan tidak bersikap netral atau “tanpa moral”.
e.  Klien dipandang sebagai individu yang unik, sebagai individu yang berguna dan berusaha mengembangkan identitas din serta melaksanakannya sesual dengan gaya hidupnya.
Konseling perkembangan tidak mempunyai tujuan yang membuat lebih bebas, tidak mempunyai tujuan untuk membantu orang untuk membangun jaringan kerja yang sesuai sehingga mereka bisa memperkaya kehidupannya dan kehidupan orang lain. Asumsi dasar konseling perkembangan adalah bahwa kepribadian manusia berkembang secara optimal dari hubungan yang sehat antara organisme yang berkembang dengan buya atau lingkungan.
Konseling perkembangan sebagai usaha untuk membantu seseorang memaksimalkan kebebasannya yang mungkin dalam batas-batas yang diberikan oleh dirinya sendiri dan lingkungannya melalui peningkatan kesadaran aspek “di sini dan sekarang” dan pengalamannya dan melalui pengembangan struktur kognitif untuk membenarkan pengalaman (Blocher:974:6).  Tujuan konseling perkembangan adalah berkaitan dengan tingkah laku manusia yang efektif sebagai tindakan yang memberikan kontrol jangka panjang terbesar atas lingkungannya dan respon-respon afektif dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Manusia yang efektif mencari aspek-aspek lingkungannya yang bisa ia manipulasi dan mengontrol respon emosinya sendiri pada aspek-aspek situasi yang tidak bisa ia kuasai
Muro & Kottman (1995:50-53) mengemukakan prinsip-prinsip konseling perkembangan sebagai berikut :
  1. KonseIing dibutuhkan oleh semua siswa
  2. Konseling perkembangan memiliki fokus pada kegiatan belajar siswa.
  3. Di dalam program konseling perkembangan, konselor dan guru merupakan fungsionaris yang bekerjasama.
  4. Kurikulum yang terorganisir dan terencana merupakan bagian vital dan konseling perkembangan.
  5. Konseling perkembangan peduli pada penerimaan din, pemahaman din, dan peningkatan din.
  6. Konseling perkembangan menfokuskan pada proses mendorong perkembangan siswa.
  7. Konseling perkembangan lebih berorientasi kepada perkembangan yang terarah dan pada tujuan yang definitif.
  8. Konseling perkembangan berorientasi tim dan mensyaratkan pelayanan dan konselor profesional yang terlatih.
  9. Konseling perkembangan peduli pada identifikasi awal kebutuhan khusus siswa.
  10. Konseling perkembangan berkenaan dengan psikologi terapan.
  11. Konseling perkembangan memiliki dasar-dasar di dalam psikologi anak, perkembangan anak, dan teori belajar.
  12. Konseling perkembangan bersifat fleksibel dan sekuensial.
Konseling perkembangan merupakan upaya bantuan kepada individu yang bersifat pencegahan,pengatasan masalah,dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya. Bersifat pencegahan dalam arti bahwa individu dalam proses perkembangannya mempunyai kemampuan untuk berfungsi secara wajar dan optimal,tetapi ada titik-titik lemah lemah dalam kehidupannya sehingga mengganggu dalam proses perkembangannya. Apabila konseling berhasil,maka titik-titik lemah itu segera dapat ditangulangi agar tidak terjadi gangguan kepribadian yang berarti. Bersifat pengatasan masalah yaitu bagi individu yang “terperangkap” dalam perilaku yang cenderung menghambat perkembangannya,akan tetapi permasalahannya tidak terlalu arah dan masih dalam batas-batas kewajaran (normal). Dalam hal ini konseling hanya mempercepat dan memperlancar penyelesaian masalah yang dihadapi oleh individu-individu yang bersangkutan. Bersifat memberikan kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan individu secara optimal.

E.  Model Konseling Perkembangan
Elemen-elemen umum dalam proses konseling perkembangan,yaitu faktor hubungan,proses komunikasi, proses kognitif,dan proses perubahan tingkah laku. Elemen-elemen tersebut dapat diintegrasikan menjadi sebuah model sistematik untuk membimbing konselor perkembangan dalam praktik. Model sistematik mi mempunyai kelebihan karena memberikan pete kognitif yang dapat digunakan oleh konselor ketika menghadapi situasi. Model sistematik mengasumsikan bahwa langkah pertama dalam seluruh pnoses konseling perkembangan dimulai dan konselor itu sendiri, nilai , tujuan ,serta komitmen yang membatasi identitas profesionalnya. Konselor harus benar-benar memahami tujuan yang terkait dengan kebutuhan dan persepsi klien sebelum mulai intenvensi dalam sistem klien.
Model konseling perkembangan menganut pola konseling yang holistic. Pola ini mempunyai makna bahwa layanan yang diberikan merupakan suatu keutuhan dalam berbagai dimensi yang terkait. Di dalam hubungannya dengan lingkungan pendidikan, konseling dilaksanakan secara terpadu mulai dan lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan yang terpadu antara strategi kurikuler,  interaksi, pengembangan pribadi,dan dukungan sistem.
Model konseling yang komprehensif, menggunakan keangka kerja yang disesuaikan dengan kebutuhan individu dan memberikan kemungkinan untuk pengembangan program yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan sumber-sumber setempat. Program mencakup tujuan dan kegiatan dalam tiga bidang kompetensi yang saling berhubungan, yaitu kompetensi belajar sepanjang hayat, kompetensi keefektifan pribadi, dan kompetensi peranan-peranan hidup.
Kompetensi Belajar Sepanjang Hayat. Perubahan dalam berbagai segi kehidupan merupakan salah satu ciri kehidupan modern. Oleh karena itu seseorang tidak dapat belajar sesuatu hanya sekali dan berlaku untuk berbagai hal dan untuk selama-lamanya. Ia harus senantiasa belajar terus menerus sepanjang hayat sejalan dengan perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya.
Kompetensi Keefektifan Pribadi. Perkembangan manusia terjadi sebagai suatu proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan, baik dengan adanya intervensi ataupun tidak dari pihak lain. Tantangan bagi konselor adalah memberikan intervensi secara sistematis agar individu dapat mengembankan konsep diri yang sehat dan keterampilan interpersonal secara efektif.
Kompetensi Peran Hidup. Dalam keseluruhan perjalanan hidupnya, individu akan berhadapan dengan banyak peran,posisi, dan peristiwa.. Semua itu menuntut kompetensi tertentu agar dapat berperan secara tepat dalam menghadapi stuasi tertentu Kompetensi hidup yang diharapkan dikuasai oleh individu meliputi keterampilan kehidupan hari-hari, keterampilan perencanaan karir, dan keterampilan kecakapan kerja.
Kegiatan dan Proses Konseling. Isi suatu program konseling yang komprehensif hendaknya ada keseimbangan antara kebutuhan remaja dengan kebutuhan orang tua. Tujuan-tujuan program setidaknya memperhatikan karakteristik sebagal berikut:
  1. Tujuan didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan individu.
  2. Tujuan hendaknya ditata secara sekuensial (berurutan) mulai dan TK hingga SLTA sesuai dengan proses perkembangan individu.
  3. Tujuan hendaknya bersifat komprehensif dan spesifik untuk mendukung perkembangan pribadi individu dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan konseling (kompetensi belajar sepanjang hayat, keefektifan pribadi dan penan-peran hidup).
Adapun program kegiatan konseling perkembangan yang komprehensif terdiri atas empat komponen, yaitu (1) layanan dasar konseling, (2) layanan responsif, (3) sistem perencanaan individual, dan pendukung sistem (Munro & Kottman,1995; Sara Champan,et.al, 1993). ,Layanan dasar konseling adalah kegiatan layanan konseling yang bertujuan membantu seluruh individu dalam mengembangkan keterampilan dasar untuk kehidupan..
Layanan dasar konseling perkembangan memiliki cakupan dan urutan bagi pengembangan kompetensi individu. Kegiatan konseling terpadu dengan kegiatan-kegiatan kurikulum yang terjadwal. Kegiatan itu dapat merupakan bagian mata pelajaran di sekolah atau dapat diorganisasikan dalam bentuk topik-topik khusus yang dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan-kegiatan kurikuler.
Layanan responsif adalah kegiatan layanan konseling yang bertujuan untuk membantu individu memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh individu saat ini (Muro & Kottman,1995:5- 6). Kegiatan ini merupakan bentuk pertemuan langsung antara konselor dengan para individu dalam upaya membantu pencapaian perkembangan optimal individu. Tujuan komponen layanan responsif adalah mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian pribadi individu yang muncul segera dan dirasakan saat itu, berkenaan dengan masalah pribadi,sosial,pendidikan, karir,keluarga, dan keberagaman. Layanan responsif bersifat preventif dan remedial
Layanan perkembangan individu adalah kegiatan layanan yang bertujuan membantu individu agar menjadi pribadi yang bertanggungjawab kemajuan dalam belajar. Kegiatan perkembangan individu mencakupi segi intervensi sstematis yang dirancang untuk membantu setiap individu memantau secara kontinyu dan memahami pertumbuhan dan perkembangan mereka sesuai dengan tujuan hidupnya, nilai-nilai, kecakapan, bakat, dan minatnya. Konselor dapat berperan sebagai “penasihat”, “pengelola belajar”, dan “spesialis pengembangan”.
Dukungan sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program konseling (Ellis,1990).






BAB VII 
KONSELING KELOMPOK SEBAGAI SISTEM

A. Konsep Sistem
Sistem merupakan satu kesatuan yang kornpleks dan terorganisasi, kesatuan atau kombinasi benda-benda atau bagian-bagian yang membentuk kesatuan unit atau kesatuan yang kompleks (Johnson, Kast, & Rosenzberg, 1963:4). Sistem merupakan kumpulan terpadu elemen-elemen yang berinteraksi, yang dirancang untuk menjalankan fungsi yang telah ditentukan dengan baik (Gibsori, 1960:58). Sistem merupakan kumpulan kesatuan atau benda-benda yang menerima masukkan tertentu dan dipaksa untuk bertindak dengan semestinya untuk menghasilkan hasil tertentu, dengan tujuan memaksimalkan beberapa fungsi masukan dan hasil (Kerstner, 1960: 141). Menurut Umar Tirtarahardja (1992:8) sistem sebagai suatu kesatuan integral dari sejumlah komponen. Komponen-komponen tersebut mempengaruhi dengan fungsinya masing-masing, tetapi secara bersama-sama fungsi komponen itu terarah pada pencapaian suatu tujuan.
Berdasarkan definisi sistem tersebut diatas, ada beberapa persamaan nyata.
Pertama, sepertinya ada kesepakatan umum bahwa sistem selalu merupakan kesatuan (gabungan, kumpulan, jaringan kerja, rangkaian). Ini menunjukkan bahwa sistem selalu merupakan kesatuan dengan batasan-batasan tertentu. Sistem juga merupakan totalitas.
Kedua, keseluruhan/kesatuan selalu diartikan sebagai susunan bagian-bagian (komponen-komponen, obyek-obyek, benda-benda, elemen-elemen) yang dikaitkan dan berinteraksi satu sama lain. Ini menunjukkan bahwa bagian-bagian sistem diorganisasi dengan beberapa cara.
Definisi sistem yang akan digunakan untuk tujuan pengembangan model konseling kelompok ini mencakup elemen-elemen yang banyak didapati beberapa definisi sistem yang telah dibahas. Definisi ini disusun oleh Silvern (1965:1) yang menggambarkan sistem merupakan struktur atau organisasi suatu kesatuan yang secara jelas menunjukkan interrelasi bagian-bagian, dengan satu sama lain dan dengan kesatuan itu sendiri.
Konsep sistem itu mengandung kompleksitas dan interdependensi. Maksudnya bahwa di dalam suatu sistem terdapat komponen-komponen yang terbentuk dan sekaligus juga menjadi bagiannya. Namun pada dasarnya suatu sistem itu berkaitan dengan sistem-sistem yang lain baik secara horizontal maupun vertikal, sehingga terdapat pengertian sistem dalam arti mikro dan sistem dalam arti makro, dimana terdapat suatu sistem besar yang mencakup sistem-sistem sebagai subsistem di dalamnya. Suatu sistem terdiri dari bagian-bagian yang saling mempengaruhi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Penjelasan tentang sistem dapat juga dibuat sampai tingkat-tingkat yang lebih rinci sehingga sistem sering dijelaskan sebagai sesuatu yang mengandung subsistem-subsistem yang saling berinteraksi. Subsistem-subsistem ini sendiri dipandang juga sebagai sistem-sistem yang lebih rendah tingkatannya, yang juga memiliki subsistem-subsistemnya sendiri yang saling berinteraksi, dan demikian seterusnya.
Komponen dasar sistem adalah masukan, proses, balikan , kontrol, dan keluaran (Hussain, 1973:60). Tiga komponen dasar utama dalam sistem yaitu masukan, proses dan keluaran, dapat digambarkan dalam bagan berikut ini: Masukan merupakan komponen awal untuk pengoperasian sebuah sistem. Proses merupakan kegiatan yang dapat mengubah masukan menjadi keluaran. Keluaran sebagai hasil dari suatu operasi. Masukan, proses, dan keluaran merupakan unsur normal dalam semua sistem, dan merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan semua sistem.
§uatu sistem dikatakan baik apabila sanggup mempertahankan kondisi keseimbangan terhadap perubahan lingkungan, dengan kata lain elemen-elemen yang dianggap berpengaruh (parameter) tidak boleh diabaikan dalam membangun sistem sehingga terbentuk sinergi atau nilai yang jauh lebih besar dibandingkan penjumlahan biasa (Robert & Michael, 1991). Sistem yang terlalu sederhana akan mengaburkan permasalahan pokok yang sesungguhnya, demikian juga sebaliknya, bila terlalu kompleks akan sulit menfokuskan pada sasaran utama. Jadi dalam melakukan pendekatan sistem bukan detil tetapi struktur yang dianggap penting dikemukakan.
B.   Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem yaitu suatu cara menganalisis komponen-komponen~sistem "untuk membuat situasi yang mantap dan saling berhubungan antar komponen dan menghimpun pandangan baru agar memberikan hasil optimal dari sistem (Ryan,1972). Pendekatan sistem pada konseling kelompok dirancang untuk memanfaatkan analisis ilmiah pada permasalahan pengelolaan proses konseling kelompok dengan tujuan untuk pengembangan dan pelaksanaan sistem operasi konseling kelompok untuk pemberian bantuan pada siswa yang terfokus pada pengembangan pribadi, pencegahan dan pengatasan masalah. Pendekatan sistem ditekankan pada hubungan timbal balik antar komponen atau subsistem. Efektivitas sistem terletak pada keberhasilan menghubungkan komponen atau fungsi satu dengan yang lain dalam keseluruhan sistem.
Konseling kelompok sebagai program layanan konseling di sekolah perlu direncanakan, dikelola dan dilaksanakan secara sistem. Karena konseling kelompok merupakan kegiatan yang kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu sama lain. Berbagai komponen dan saling hubungan satu sama lain yang ada dalam sistem konseling kelompok perlu dikenali, dikaji dan dikembangkan sehingga mekanisme kerja komponen-komponen itu secara menyeluruh membuahkan hasil yang maksimal.
Komponen-komponen sistem konseling kelompok bergerak dinamis dan saling berhubungan secara fungsional, yang merupakan satu kesatuan organisasi. Sistem konseling kelompok akan berjalan dengan baik, jika semua komponen-komponen berada dalam kondisi baik, bergerak dan menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Apabila salah satu dari komponen sistem itu tidak berfungsi, maka sistem konseling kelompok tidak akan berjalan dengan baik.
Program konseling kelompok merupakan komponen dari program pendidikan di sekolah, dan merupakan subsistem dari masyarakat yang mendukung (masyarakat sekitar). Tujuan konseling kelompok merefleksikan dan menyokong tujuan pendidikan di sekolah. Pendekatan sistem menempatkan keterkaitan sistem dalam perspektif dan menekankan tujuan pada pencapaian tujuan efektivitas dan efisiensi sistem. Efektivitas ditujukan pada pencapaian tujuan dan efisien ditujukan pada koordinasi yang harmonis dari komponen-komponen dalam sistem.
C.   Konseling Kelompok Sebagai Suatu Sistem
Konseling kelompok dapat terlaksana dengan efektif dan efisien apabila semua unsur yang terlibat dalam proses konseling dipandang sebagai sistem. Variabel-variabel (komponen-komponen) sistem dalam konseling kelompok yaitu variabel raw input (siswa/anggota kelompok); instrumental input (konselor, program, tahapan dan sarana); enviromental input (norma, tujuan, lingkungan sekolah); proses atau perantara yang menyangkut jenis relasi/interaksi, perlakuan, kontrak perilaku yang disepakati untuk dikuasai/diubah, dinamika kelompok; output yaitu berkenaan dengan perubahan perilaku dan penguasaan tugas-tugas perkembangan serta keberfungsiannya dalam sistem. Di dalam sistem, hubungan antara komponen satu dengan komponen lain dikaji secara khusus dan mendalam dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap anggota kelompok.
Sunaryo Kartadinata (1997:9) menyatakan bahwa proses bimbingan menyangkut proses perilaku individu di dalam sistem, sehingga yang menjadi target intervensi bimbingan bukanlah individu yang terlepas dari sistem, melainkan individu di dalam sistem, sehingga kepedulian utamanya terletak pada interaksi individu di dalam sistem. Mendasarkan pada pernyataan tersebut, proses konseling kelompok juga pada dasarnya suatu proses perubahan perilaku individu di dalam sistem, target intervensi konseling kelompok adalah individu dalam sistem, dan kepedulian utamanya terletak pada interaksi individu di dalam sistem. Individu-individu di dalam sistem mempunyai tujuan yang ingin dicapai melalui proses konseling kelompok. Tujuan yang ingin dicapai adalah perubahan perilaku pada diri individu, baik dalam bentuk pandangan, sikap, sifat maupun keterampilan yang lebih memungkinkan individu itu dapat menerima, mewujudkan diri, mengembangkan diri, mencegah dan mampu mengatasi permasalahan secara optimal sebagai wujud dari individu yang memiliki pribadi mandiri.
Siswa sebagai anggota kelompok merupakan komponen dasar dalam sistem konseling kelompok. Di daiam sistem konseling kelompok, anggota kelompok akan mengikat satu sama lain, tidak hanya membawa masalah, kebutuhan yang perlu dipecahkan dan dipenuhi, tetapi secara keseluruhan ia memiliki kualitas seperti kesehatan fisik, penampilan, sifat genetik, usia, suku bangsa, adat istiadat, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, struktur motivasi, latar belakang lingkungan, dan serangkaian nilai yang memberi warna dan sikap terhadap diri sendiri dan orang lain, sehingga setiap individu dalam kelompok menjadi seorang yang unik. Dengan demikian pemimpin kelompok dan anggota kelompok yang lain harus siap untuk memberi respon terhadap keunikan-keunikan individu dalam kelompok. Anggota kelompok merupakan komponen utama dalam proses kehidupan kelompok, sehingga tanpa adanya anggota kelompok tidaklah mungkin ada kelompok.
Konselor sebagai pemimpin kelompok, merupakan komponen dasar untuk pengoperasian sebuah sistem, yaitu sistem konseling kelompok. Konselor dalam proses konseling kelompok harus menguasai dan mengembangkan kemampuan (keterampilan) dan sikap yang memadai untuk terselenggaranya proses kegiatan secara efektif. Konselor harus mampu mengembangkan hubungan antara konselor dengan anggota kelompok, dan antar anggota kelompok yang di dasarkan pada kepercayaan, pengertian dan rasa menghargai.
Program, sebagai komponen masukan instrumental dalam sistem konseling kelompok, yaitu seperangkat kegiatan konseling kelompok yang dirancang secara terencana, terorganisasi, terkoordinasi selama periode waktu tertentu dan dilakukan secara kait mengkait untuk mencapai tujuan. Kejelasan dan ketepatan penyusunan program memegang peranan penting dalam rangka keberhasilan pelaksanaan konseling kelompok di sekolah. Tujuan penyusunan program ialah agar kegiatan konseling kelompok di sekolah dapat terlaksana dengan lancar, efektif, dan efisien, serta hasil-hasilnya dapat dievaluasi.
Sarana merupakan seperangkat alat bantu untuk memperlancar proses konseling kelompok. Sarana sebagai perangkaf alat bantu akan mempermudah pemimpin kelompok dan anggota kelompok sebagai personil sistem dalam mencapai tujuan. Sarana yang dimaksud dalam komponen instrumental input sistem konseling kelompok, yaitu ruangan, tempat duduk dan perlengkapan administrasi lain untuk kegiatan konseling kelompok.
Tahapan sebagai komponen dalam sistem konseling kelompok yang digunakan oleh konselor sebagai personil sistem dalam pemrosesan masukan menjadi keluaran. Tahapan dalam konseling kelompok yang meliputi tahap persiapan, tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap akhir.
Norma, tujuan dan lingkungan sekolah merupakan komponen dasar dalam sistem konseling kelompok yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan siswa. Norma kelompokadalah petunjuk yang harus dijalankan oleh kelompok sebelum dan selama bekerja dalam kelompok. Norma kelompok yang berupa ketentuan berkenaan dengan pengembangan suasana interaksi yang akrab, hangat, permisif, terbuka, dan kerahasiaan. Masing-masing anggota yang berbicara dan menanggapi pembicaraan orang lain harus dengan sopan, berusaha memahami dan menerima apa adanya pendapat orang lain, mengendalikan diri dan bertenggang rasa. Aturan lain, misalnya berbicara tidak perlu berkeliling bergiliran, dan tidak perlu pula menunggu ditunjuk oleh konsebr kelompok, tetapi bicara tetap satu persatu, tidak berebutan, setiap masalah yang dialami anggota dibicarakan sampai tuntas satu persatu masalah, mana yang didahulukan pembahasannya dan urutan berikutnya ditentukan secara musyawarah. Kerahasiaan merupakan titik etika dalam konseling kelompok ( Plotkin,1978) dan merupakan komponen yang berharga sebagai syarat untuk mengembangkan kepercayaan kelompok, hubungan, dan kerja produktif (Gazda,1989:303). Apa yang terjadi dalam kelompok dilarang dibicarakan di luar kelompok dengan orang lain.
Tujuan dirumuskan berdasarkan kebutuhan siswa, perkembangan siswa dan tuntutan lingkungan. Tujuan yang ditetapkan dalam konseling kelompok adalah target yang harus dipenuhi, motivator bagi konselor kelompok dan anggota kelompok, merupakan imbalan dari hasil usaha, dan menyebabkan perubahan rencana (Stewart, at.al, 1979:118). Tujuan konseling kelompok merupakan kompas petunjuk arah ke mana konseling kelompok harus menuju, dan apa yang ingin dicapai dari kegiatan konseling kelompok dilaksanakan. Tujuan ialah kondisi yang diinginkan dalam sistem konseling kelompok setelah terjadi proses dari masukan menjadi keluaran.
Lingkungan kehidupan nyata siswa di sekolah adalah lingkungan belajar yang dapat mempengaruhi pengembangan dan memberikan pemuasan kebutuhan siswa. Hakikat konseling kelompok terletak pada keterkaitan antara lingkungan belajar dengan perkembangan siswa, dan konselor yang berperan sebagai fasilitator serta perekayasa lingkungan. Lingkungan beiajar adalah lingkungan terstruktur, sengaja dirancang dan dikembangkan oleh konselor untuk memberi peluang kepada siswa mempelajari perilaku-perilaku baru sesuai dengan kebutuhan siswa, norma, dan tuntutan lingkungan kehidupan nyata.
Komponen-komponen yang terkandung dalam konseling kelompok sebagai suatu sistem, harus baik dan terpadu, sebab komponen-komponen yang baik dan terpadu dapat menunjang lancarnya pencapaian tujuan konseling secara optimal. Hubungan fungsional dan terpadu semua komponen dalam konseling kelompok ini harus dinamis agar fungsi dari semua unsur terarah pada pencapaian tujuan konseling yaitu terwujudnya perkembangan pribadi yang optimal, terhindarnya dari masalah dan terpecahkannya masalah setiap anggota kelompok.
Hubungan fungsional dan keterpaduan semua komponen dalam konseling kelompok memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan konseling kelompok sebagai suatu sistem. Tanpa adanya hubungan fungsional secara terpadu antara semua komponen, maka suatu komponen yang baik kondisinya praktis tidak punya arti dalam pencapaian tujuan konseling.
D.   Model Konseling Kelompok
Dalam merancang model konseling kelompok berdasarkan pendekatan sistem, sebagai landasan teori untuk menopang penyusunan model hipotetik digunakan model kelompok dan model proses (Bochler, 1987).
1.    Model Kelompok.
Model kelompok yaitu model intervensi konseling dengan memanfaatkan proses kelompok. Banyak kerja konselor profesional melibakan kerja dengan kelompok. Kelompok sebagai suatu kesatuan yang dinamis mempunyai pengaruh langsung dan tak langsung pada anggota. Keberadaan orang lain dapat meningkatkan atau memperbaiki unjuk kerja dan perkembangan orang tergantung pada latar belakang persiapannya. Individu-individu dipengaruhi oleh kelompok, dan sebaliknya, individu juga mempengaruhi fungsi kelompok.
Intervensi konseling melalui kegiatan kelompok mempunyai dua rangkaian manfaat utama yang tidak diperoleh dalam pendekatan konseling individual. Pertama, motivasi manusia muncul dari hubungan kelompok kecil. Kedua, setiap usaha untuk mengubah tingkah laku manusia di luar lingkungan alam dimana klien bekerja dan hidup sangat tergantung pada efektivitas tingkat transfer pelatihan. Yaitu tingkah laku-tingkah laku baru, pemahaman dan sikap harus ditransfer secara sukses kegiatan konseling ke kehidupan klien. Metakukan transfer tingkah laku merupakan salah satu dari masalah yang paling sulit di berbagai situasi pembelajaran (Galassi & Galassi,1984; Wicker, 1972).
Semua anggota dalam kelompok seharusnya benar-benar bersifat sukarela. Tidak ada jenis paksaan yang digunakan untuk memaksa berpartisipasi. Informasi yang akurat dan komprehensif seharusnya tersedia untuk semua calon anggota kelompok dengan memperhatikan tujuan-tujuan khusus kelompok, jenis-jenis teknik yang dipakai dan kualifikasi profesional atau kualifikasi kerja dan kredensial pimpinan. Kerahasiaan penting dalam semua aspek konseling profesional. Dalam situasi kelompok, konselor profesional tidak bisa menjamin bahwa semua anggota kelompok akan menghargai kerahasiaan anggota kelompok. Pembahasan secara lengkaptentang masalah kerahasiaan seharusnya dilakukan dengan calon anggota di awal sesion dan pada sesion-sesion awal itu sendiri.
Ada tiga jenis kerangka kerja konseling kelompok, yaitu kelompok temu dasar (basic encounter group), model analisis transaksional (transactional analysis model), dan kelompok berpusat pada tema (theme-centered groups). (Bochler, 1987). Kelompok temu dasar merupakan contoh penggunaan pembelajaran eksperimental untuk meningkatkan perkembangan diri. Pendekatan ini secara gratis telah digambarkan oleh Carl Rogers (1970) dalam istilah apa yang ia pandang sebagai model pembelajaran baru dan penting dalam budaya saat ini. Model kelompok analisis transaksional (TA) dibentuk di sekitar kerangka kerja teoritis yang dikembangkan oleh Berne (1964) dan dipopulerkan dalam bukunya yang terkenal, Games People Play. Kelompok TA diselenggarakan atas asumsi bahwa dalam situasi kelompok tertentu, orang cenderung menggunakan serangkaian usaha sosial tertentu atau tingkah laku interpersonal yang representatif terhadap cara-cara yang mereka operasikan dalam bidang-bidang lain dalam kehidupan. Model kelompok yang berfokus pada tema, memberi kontras pada kelompok temu dan kelompok analisis transaksional (Cohn,1969, dalam Bochler,1987).
2. Model Proses
Sebuah proses konseling merupakan tahapan yang sangat,seperti perjalanan yang kompleks dan tidak familiar. Setiap klien baru diterima, akan ada sebuah tujuan yang harus dinegoisasikan, dan dalam setiap situasi dimana kitamemberikan layanan-layanan, tampaknya seperti sebuah perjalanan yang penuh petualangan. Semua konselor menggunakan model-model proses. Pilihan kita sebenarnya adalah antara menggunakan beberapa urutan peta kognitif yang dibentuk dari latihan kita, bacaan, atau pengalaman-peng^laman pribadi yang lain, dan mengembara secara buta dalam sebuah pilihan-pilihan yang penuh teka teki, alternatif dan pilihan terhadap apa yang akan kita tanggapi secara acak atau apa yang akan kita abaikan.
Tugas dari setiap konselor profesional adalah memilih atau mengembangkan satu atau lebih model-model proses yang digunakan dalam prakteknya. Kita hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada penelitian yang mendukung adanya klaim yang mengatakan bahwa ada satu yang lebih supervisor secara umum dibandingkan dengan pendekatan yang lain dalam hal klien, tujuan dan situasinya. Dalam "meta analisis" pada penelitian psikoterapi yang dilakukan untuk menganalisis hasil dari berbagai studi yang berbeda. Smith dan Glass (1977) menyimpulkan bahwa selama bukti mendukung keefektifan secara umum dalam psikoterapi, penelitian yang dilakukan tidak mendukung adanya satu pendekatan yang superior terhadap yang lain.
Sebuah proses konseling merupakan tahapan yang sangat,seperti perjalanan yang kompleks dan tidak familiar. Setiap klien baru diterima, akan ada sebuah tujuan yang harus dinegoisasikan, dan dalam setiap situasi dimana kitamemberikan layanan-layanan, tampaknya seperti sebuah perjalanan yang penuh petualangan. Semua konselor menggunakan model-model proses. Pilihan kita sebenarnya adalah antara menggunakan beberapa urutan peta kognitif yang dibentuk dari latihan kita, bacaan, atau pengalaman-peng^laman pribadi yang lain, dan mengembara secara buta dalam sebuah pilihan-pilihan yang penuh teka teki, alternatif dan pilihan terhadap apa yang akan kita tanggapi secara acak atau apa yang akan kita abaikan.
Tugas dari setiap konselor profesional adalah memilih atau mengembangkan satu atau lebih model-model proses yang digunakan dalam prakteknya. Kita hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada penelitian yang mendukung adanya klaim yang mengatakan bahwa ada satu yang lebih supervisor secara umum dibandingkan dengan pendekatan yang lain dalam hal klien, tujuan dan situasinya. Dalam "meta analisis" pada penelitian psikoterapi yang dilakukan untuk menganalisis hasil dari berbagai studi yang berbeda. Smith dan Glass (1977) menyimpulkan bahwa selama bukti mendukung keefektifan secara umum dalam psikoterapi, penelitian yang dilakukan tidak mendukung adanya satu pendekatan yang superior terhadap yang lain.
Model-model proses, harus dipilih atau dirancang tidak hanyas etelah melihat dan mereview secara kritis keseluruhan teori dan penelitian yang ada atau setelah mempertimbangkan tujuan-tujuan profesional dan karakteristik-karakteristik klien, tetapi juga harus dilakukan dalam latihan yang menyeluruh dan hati-hati dalam melakukan instrospeksi agar seorang konselor dapat mengorganisasikan dan memberi penekanan dalam identitas profesional dan identitas pribadinya.
Untuk memilih dan merancang model proses, konselor harus mampu untuk mengkonsepkan hasil atau masukan yang diharapkan untuk dicapai sebagai dasar yang beralasan. Tujuan-tujuan konseling atau hasil yang diperlihatkan, dapat diklasifikasikan sebagai pengembangan, pencegahan, dan penyembuhan. Tujuan umum konseling perlu dikonsepkan untuk merancang atau memilih model proses, tujuan-tujuan umum tertentu harus ditetapkan secara pasti dalam bentuk kebutuhan yang dialami, aspirasi dan keadaan kehidupan dari klien tertentu atau sistem klien.
Model proses selanjutnya harus dibentuk tidak hanya untuk menghasilkan bentuk-bentuk hasil yang diberikan, tetapi mereka juga harus merefleksikan kerakteristik dari klien dan variabel "masukan" lain yang dilibatkan. Pada tingkat yang paling sederhana kita dapat mengkosepkan tiga rangkain dari variabel-variabel input, yaitu variabel klien, variabel konselor, dan variabel situasional. Karena klien dan sistem klien beragam dalam bentuk dari semua kerakteristik pribadi dan organisasional, model proses yang efektif harus fleksibel dan cukup menyeluruh baik untuk memenuhi dan menggandakan perbedaan-perbedaan.
Asumsi dasar mode! proses dalam intervensi konseiing yang harus dipahami oleh konselor (Bochler,1989) sebagai berikut.
1.    Konselor profesiona! memahami diri mereka sendiri dan sistem klien dengan mana dia bekerja sebelum melakukan intervensi apapun. Asumsi ini memperlihatkan bahwa konselor profesional mulai dengan mempelajari dan memperjelas tujuan mereka sendiri, nilai dan komitmen, dengan kata lain, dengan mengemukakan identitas profesional mereka sendiri sebagai langkah pertama dalam melaksanakan pekerjaan dengan masing-masing klien baru atau sistem klien. Konselor profesional perlu untuk memahami secara jelas tujuannya, nilai-nilai dan peranan dari agen yang memperkerjakan mereka atau institusi utama untuk mencampuri dengan klien. Pada akhirnya, konselor dianggap paling tidak memulai proses perkembangan sebuah pemahaman kerja pada klien atau sistem klien.Asumsi ini berarti bahwa sebelum mencoba untuk intervensi, konselor telah mulai mengembangkan sebuah pemahaman dari keseluruhan sosial, atau konteks lin'gkungan dalam hal mana intervensi akan dibatasi.
2. Konselor profesional mencapai secara proaktif untuk menemukan atau menciptakan kesempatan untuk memajukan tujuan profesional mereka. Asumsi dasar kedua ini memperlihatkan bahwa konselor profesional bertindak secara proaktif lebih dari keadaan reaktif.
3.    Sekali seorang profesional mengucapkan dan menegoisasikan tujuan  mereka dengan klien dan sistem klien, mereka mencari secara  sistematis dan komprehensif untuk membawa, menanggung semua sumber    yang tersedia.
Secara umum model digunakan untuk memberikan gambaran (description), memberikan penjelasan (prescription), dan memberikan perkiraan (prediction) dari realitas yang diselidiki. Dalam kaitan ini, Siregar (1991) mengungkapkan bahwa suatu model yang baik memiliki kerakteristik sebagai berikut.
1.    Tingkat generalisasi yang tinggi. Semakin tinggi derajat generalisasi suatu model, maka semakin baik, sebab kemampuan model untuk memecahkan masalah semakin besar.
2.    Mekanisme transparansi. Suatu model dikatakan baik jika kita dapat melihat mekanisme suatu model dalam memecahkan masalah, artinya kita bisa menerangkan kembali (rekonstruksi) tanpa ada yang disembunyikan. Jadi kalau ada formula, formula tersebut dapat diterangkan kembali.
3.    Potensial untuk dikembangkan. Suatu model yang berhasil biasanya mampu membangkitkan minat (interest) peneliti lain untuk menyelidikinya lebih jauh.
4.    Peka terhadap perubahan asumsi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pemodelan tidak pernah berakhir, selalu memberi celah untuk membangkitkan asumsi.
Dalam rangka pengembangan model, diperlukan adanya analisis sistem. Analisis sistem dilakukan untuk memahami bagaimana suatu sistem yang diusulkan dapat beroperasi. Idealnya, seorang analis bereksperimen langsung dengan sistem tersebut. Akan tetapi kenyataan yang dilakukan adalah membangun model sistem tersebut dan menyelidiki perilakunya melalui model tersebut.
Dalam pengembangan model umumnya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1.   Elaborasi. Pengembangan model dimulai dengan yang sederhana dan secara bertahap dielaborasi hingga memperoleh model yang lebih representatif. Penyederhanaan dilakukan dengan menggunakan sistem asumsi ketat, yang tercermin pada jumlah, sifat, dan relasi variabel-variabelnya. Akan tetapi asumsi yang dibuat tetap harus memenuhi persyaratannya, yaitu konsistensi, independensi,ekivalensi, dan relevansi.
2.    Analog!. Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum, teori yang sudah dikenal secara meluas tetapi pernah digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
3.    Dinamis. Pengembangan model bukanlah proses yang bersifat mekanistis dan linier. Oleh karena itu, dalam tahap pengembangannya mungkin saja dilakukan pengulangan.
Dengan demikian, pemodelan adalah proses membangun atau membentuk sebuah model, dalam bahasa formal tertentu, dari suatu sistem nyata berdasarkan sudut pandang tertentu. Sistem nyata akan dilihat dan dibaca oleh pemodel dan membentuk image atau gambaran tertentu di dalampikirannya. Namun image, ini tidak persis sama dengan sistem nyata, karena pemodel membacanya dengan menggunakan sudut pandang tertentu. Sudut pandang yang dimaksud adalah visi atau wawasan yang dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni: (1) sistem nilai yang diyakini/dianut oleh pemodei, (2) \\rnu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel, (3) pengalaman hidup dari pemodel (Kadarsah Suryadi & Ali Ramdhani, 1998:85).
Pengembangan model konseling kelompok di Sekolah Menengah Umum dirancang untuk mengubah sistem menjadi efektif. Efektif berarti menghasilkan keluaran sesuai yang diinginkan atau dapat bekerja, melayani dan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan. Konseling kelompok sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-kompoen yang dapat diidentifikasi. Jadi untuk memperoleh sebuah sistem yang efektif keseluruhan sistem harus diperhatikan, dipikirkan, dan dirancang secara baik. Keefektifan sebuah sistem konseling kelompok akan berpengaruh terhadap keefektifan siswa dalam mencapai tujuan. Oleh karena itu agar konseling kelompok dapat efektif harus dibangun mendasarkan pada kerangka kerja sistem yang terdiri dari komponen-komponen sistem yang tangguh sehingga dapat beroperasi secara baik yakni adanya kerja sama yang harmonis antar komponen yang secara langsung mempengaruhi hasil.
Model konseling kelompok yang akan dikembangkan adalah konseling kelompok yang dirancang dalam sebuah sistem yang mana bagian-bagian dari berbagai aspek proses konseling diidentifikasi secara jelas dan diorganisasi ke dalam suatu urutan khusus untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengembangan pribadi dan menyelesaikan masalah klien. Pengidentifikasian elemen-elemen proses konseling dan pengorganisasian elemen-elemen dalam suatu urutan secara ideal ini tidak mengurangi fleksibelitas dalam proses konseling. Konselor sebagai pemimpin kelompok mempunyai kebebasan untuk membuat pengataman-pengalaman belajar khusus yang dirancang untuk membantu klien mencapai tujuan. Pendekatan sistem konseling kelompok ini menggambarkan sintesis pada tiga pendekatan ilmiah, yaitu teori pembelajaran, analisis sistem, dan teknologi pendidikan.
Salah satu alasan dasar memilih pendekatan sistem yang ilmiah adalah bahwa pendekatan tersebut member! metodologi yang terbaik untuk merancang dan menguji model konseling kelompok. Suatu pendekatan sistem seperti yang akan dijelaskan dalam konseling kelompok, memberi teknologi dalam bentuk model flowchart yang menunjukkan urutan dasar dan optimal fungsi-fungsi dan pengoperasian yang seharusnya konselor lakukan. Bahasa yang sederhana, langsung dan mudah dipelajari digunakan untuk memandu konselor dan klien menjalani proses konseling kelompok. Apabila proses konseling kelompok dianggap bersifat holistik, model sistem konseling kelompok memberi perlindungan teknologi sebelumnya atau yang diproduksi dimasa yang akan datang, bisa dimanfaatkan atau digunakan bila diperlukan.
Sistim konseling kelompok merupakan subsistem bimbingan di sekolah sehingga usaha pengembangannya perlu dikaitkan dengan tujuan dan misi bimbingan. Bimbingan merupakan subsistem dari sistem pendidikan di sekolah sehingga tujuan bimbingan dan misi bimbingan harus sesuai dengan tujuan dan misi pendidikan di sekolah. Atas dasar itulah sistem konseling kelompok tidak akan lepas dari sistem-sistem lain yang ada di sekolah dan juga di luar sekolah yang terkait.
Perencanaan pengembangan model konseling kelompok sebagai suatu sistem, melibatkan 3 aktivitas utama, yaitu : (1) penganalisaan, (2) sintesis, dan (3) simulasi (Rosalinda, 1991). Penganalisaan sistem meliputi : (a) menetapkan kerangka kerja konseptual, (b) menganalisa lingkungan dari organisasi bimbingan, dan (c) need assessment. Penetapan kerangka kerja konseptual penting agar semua yang terlibat di dalam perencanaan sistem, pelaksanaan dan pengevaluasian memiliki kesamaan dasar dalam penyampaian semua bagian sistem yang ada, menjelaskan kunci-kunci konsep, dan alasan pengembangan sistem. Penganalisaan lingkungan dari organisasi bimbingan melibatkan kompoonen yang sama dengan pengkoseptualisasian ideal. Sistem balikan merupakan bagian dari model ini yang memberikan informasi terus menerus pada titik keputusan yang sesuai Cara pendekatan sistem pada pengembangan model sistem konseling kelompok menjamin suatu penanganan secara dinamis, perencanaan merupakan fungsi yang bersifat terus menerus dan model-model baru dievaluasi dan di uji-cobakan dari waktu kewaktu guna memperbaiki sistem yang sudah ada. Keberhasilan pengembangan model konseling kelompok sebagai suatu sistem bergantung pada kejelasan tujuan-tujuan kemudian dijabarkan dalam program yang bersifat spesifik bagi komponen-komponen sistem yang ada guna mengikuti hirarki untuk pencapaian tujuan sistem.
Model yang digunakan dalam pengembangan sistem konseling kelompok yaitu model flowchart. Model konseling kelompok di SMU dikembangkan dengan model flowchart yaitu dibentuk melalui grafik atau diagram yang menunjukkan arus proses yang bekerja secara logik untuk menggambarkan sistem, komponen sistem dan hubungan antara komponen (Hussain, 1973; Salim, 1990).
Dalam pengembangan model konseling kelompok sebagai suatu sistem, akuntabilitas di perlukan. Akuntabilitas berkaitan dengan pengevaluasian penampilan sistem dalam melaksanakan sasaran yang telah di rumuskan secara jelas. Suatu sistem akuntabilitas merupakan satu perangkat prosedur-prosedur yang menbanding-bandingkan informasi tentang keberhasilan melaksanakan suatu kerja dan biaya guna memudahkan pembuatan keputusan (Krumboltz, 1974). Informasi semacam ini dapat digunakan secara baik dan juga untuk hal-hal yang buruk. Apa yang harus dilakukan oleh sistem akuntabilitas adalah untuk menyediakan informasi tersebut.
Model konseling kelompok yang akuntabel adalah : (a) tujuannya jelas dan dapat dijabarkan menjadi tujuan-tujuan khusus, (b) kegiatannya dapat diawasi agar selalu mengarah kepada pencapaian tujuan, (c) hasilnya efektif karena tujuannya tercapai, (d) proses pencapaian hasil itu efisien dengan mengingat sumber-sumber yang tersedia, dan (e) mekanisme umpan balik jelas untuk penyempurnaan sistem (Program Akta mengajar V-B, 1982). Konsepsi akuntabilitas pada dasarnya tidak menghendaki adanya penyimpangan-penyimpangan dalam suatu sistem, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Sistem konseling kelompok yang dikembangkan akan mudah dipertanggungjawabkan kepada pengguna sistem, yaitu siswa untuk pengembangan pribadi dan pemecahan masalah, konselor untuk keputusan bantuan kepada siswa, dan juga penyandang dana kegiatan konseling kelompok yaitu kepala sekolah. Hal ini karena tujuan sistem konseling kelompok dirumuskan secara jelas sehingga diketahui dengan tepat hasil sistem, kegiatan yang dilakukan mengarah pada pencapaian tujuan, penilaian mudah dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan telah tercapai dan berapa banyak biaya yang dikeluarkan, dan umpan balik dapat dilakukan untuk penyempurnaan perumusan tujuan dan cara kerja komponen-komponen dalam sistem.
Untuk mengevaluasi model sistem konseling kelompok yang dikembangkan, tujuan sistem dijadikan tujuan evaluasi. Bila tujuan evaluasi tercapai berarti tujuan sistem juga tercapai. Oleh karena itu, sistem konseling kelompok yang dikembangkan, tujuannya dirumuskan secara jelas, kegiatan sistem mengarah pada pencapaian tujuan dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia, sehingga hasilnya tercapai sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian, sistem konseling kelompok yang dikembangkan dapat dipertanggung jawabkan atau akuntabel.
Akuntabilitas pengembangan model sistem konseling kelompok yang efektif harus memperhatikan kriteria yang menurut Krumboltz (1974) perlu dikenali, yaitu:
1.    Tujuan model sistem konseling kelompok yang dirumuskan harus disetujui oleh semua pihakyang berkaitan, yaitu konselor, siswa, kepala sekolah, guru, dan orang tua, agar dalam melaksanakan kerja sistem dapat berhasil. Dengan adanya pemahaman dan pengertian yang jelas tentang tujuan sistem, maka akan ada kerja sama dan saling percaya dalam mencapai tujuan sistem.
2.    Keberhasilan pelaksanaan kerja sistem konseling kelompok, harus dinyatakan dengan perubahan-perubahan perilaku penting yang bersifat dapat diamati dari pihak konselor dan siswa sebagai pengguna sistem. Hasil-hasil untuk setiap siswa dan konselor sebagai pengguna sistem harus dapat diamati, disesuaikan dengan situasi siswa yang bersangkutan, dan disetujui oleh konselor dan siswa sebagai pengguna sistem.
3.    Aktivitas-aktivitas sistem harus dinyatakan sebagai sebagai pengeluaran biaya dan bukannya pengeluaran keberhasilan pelaksanaan kerja. Pelaksanaan sistem konseling kelompok yang banyak menggunakan waktu adalah bukan merupakan suatu "accomplishment" tetapi merupakan "biaya". Accomplishment adalah apa yang berhasil dipelajari atau didapat oleh siswa sebagai akibat dari hasil pelaksanaan sistem konseling kelompok.
4. Akuntabilitas pengembangan sistem konseling kelompok disusun guna memajukan efektivitas layanan konseling kelompok kepada siswa. Akuntabilitas akan berlangsung baik jika secara penuh didukung oleh setiap personil yang terlibat dalam sistem konseling kelompok. Kerjasama antar personil dalam sistem dan dengan pihak-pihak yang terkait akan mendukung pencapaian tujuan sistem.
5.   Semua pemakai sistem konseling kelompok yang akuntabel harus terlibat dalam perancangan sistem tersebut. Konselor harus yang paling utama dalam menyusun sistem, karena konselor yang diharapkan mengoperasikannya. Demikian juga, guru, kepala sekolah, dan siswa harus menyumbangkan gagasan-gagasannya dan kerjasamanya.
6.  Setiap akuntabilitas itu sendiri harus bersifat "tunduk" terhadap pengevaluasian dan pengubahannya jika diperlukan. Suatu sistem akuntabilitas dalam pengembangan sistem konseling kelompok akan memakan waktu dan tenaga, dan harus terbukti sebagai sesuatu yang bermanfaat dengan biaya yang digunakan.








BAB VIII
MODEL KONSELING KELOMPOK

Model konseling kelompok ini hasil studi pengembangan berdasarkan pendekatan sistem di SMU Negeri kota Semarang yang disusun untuk disertai bidang bimbingan dan konseling. Penelitian dilakukan melalui enam tahap kegiatan, yaitu:
Tahap I : Persiapan Pengembangan Model Konseling Kelompok
Kegiatan yang dilakukan peneliti pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a.  studi evaluasi, yaitu mencari informasi untuk pengembangan (memotret kondisi obyektif di lapangan) yang meliputi:
(1) Mendiskripsikan temuan penelitian tentang kebutuhan siswa yang berorientasi pada pencegahan terhadap gangguan kepribadian pengatasan masalah, dan kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan kepribadian
(2) mendiskripsikan temuan penelitian tentang kondisi obyektif lingkungan belajar siswa di sekolah
(3) Mendiskripsikan temuan penelitian tentang implementasi aktual konseling kelompok di SMU
b.  Mengkaji konseptual model konseling kelompok
c.  Mengkaji hasil-hasil peneiitian yang relevan dengan pengembangan model konseling kelompok.
d.  Mengkaji ketentuan formal pelaksanaan konseling di SMU
Tahap II : Merancang Model Hipotetik Konseling Kelompok
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah sebagai berikut:
a.   Merancang model hipotetik konseling kelompok
b. Analisis kesenjangan antara model konseling kelompok hipotetik dengan implementasi aktual konseling kelompok di lapangan.
c. Mendisikripsikan kerangka kerja kolaboratif dengan personil konseling (konselor) di lapangan dalam menguji kelayakan model hipotetik konseling kelompok.
Tahap III : Uji kelayakan Model hipotetik Konseling kelompok.
Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan:
a. Uji kelayakan melalui seminar dan lokakarya (semiloka) dengan para ahli, teman sejawat, dan konselor di SMU Negeri Kota Semarang.
b.  Mendiskripsikan hasil pelaksanaan uji kelayakan.

Tahap lV : Perbaikan Model Hipotetik (ModelTeruji l).
Berdasarkan hasil pelaksanaan uji-kelayakan, peneliti melakukan kegiatan:
a. mengevaluasi hasil uji-kelayakan model hipotetik.
b. Memperbaiki model hipotetik secara kola.boratif.
c. Tersusun model hipotetik konseling kelompok di SMU (model teruji I).

Tahap V : Uji-lapangan (Uji-Empirik) Model Hipotetik.
Pelaksanaan uji-lapangan dilakukan bersama konselor dan kepala
sekolah, melalui langkah-langkah berikut ini.
a. Menyusun rencana kegiatan uji-lapangan.
b. Melaksanakan uji-lapangan.
c. Mendsikripsikan hasil pelaksanaan uji-lapangan

Tahap Vl : Merancang Model "Akhir" Konseling Kelompok ( Model teruji II ).
Langkah-langkah yang ditempuh dalam tahapan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengevaluasi hasil uji-lapangan model konseling kelompok (teruji l).
b. Memperbaiki model konseling kelompok secara kolaboratif.
c. Tersusun model "akhir' konseling kelompok (model teruji II).
Tujuan akhir penelitian adalah untuk rnenghasilkan model konseling kelompok berdasarkan pendekatan sistem yang dapat meningkatkan mutu layanan konseling dan oapat diterapkan di SMU.




 3. lmplementasi aktual layanan konseling kelompok di SMU
a.  Target populasi layanan konseling kelompok
Sasaran layanan konseling kelompok di SMU adalah semua siswa yang membutuhkan bantuan, baik terfokus pada pencegahan, pengatasan masalah, maupun pada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya. Namun berdasarkan temuan,pelaksanaan layanan konseling kelompok lebih terfokus pada pengatasan masalah, sehingga siswa yang diberi layanan konseling kelompok terbatas pada siswa yang bermasalah.
b.      Penyusunan Program
Dasar kebijakan diselenggarakan layanan konseling di sekolah adalah : UUSPN No.2 tahun 1989, pp No.29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Kurikulum SMU tahun 1994, dan seri pemandu Pelaksanaan Birnbingan dan Konseling (SPPBK) di SMU; dengan alasan sebagai dasar hukurn dan pedoman penyelenggaraan. 
c.  Ketenagaan
Perbandingan jumlah guru pembimbing dengan jumlah slswa di SMU sangat bervariasi. Ada yang 1: 450; ada yang 1 : 350; ada yang 1 : 200. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa rasio jumlah guru pembimbing dengan jumlah siswa adalah 1 : lebih dari 150. Fenomena ini mengandung makna bahwa tidak semua guru pembimbing di SMU Kota Semarang adalah konselor yang sudah profesional ditinjau dari segi pendidikan prajabatan.
d.   lsi dan metode layanan
Isi layanan konseling kelompok ditetapkan berdasarkan isi layanan yang dirumuskan dalam Kurikulum BK dan SPPBK, karena dipandang sebagai pedornan. Fenomena ini mengandung makna bahwa penetapan isi layanan tidak realistik, karena tidak didasarkan kepada kebutuhan obyektif atau riil siswa. Isi layanan konseling kelompok yang diprogramkan di SMU adalah bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir. Jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling yang diprogramkan di semua SMU adalah layanan orientasi, layanan informasi, layanan penempatan clan penyaluran, layanan pembelajaran, layanan konseling perorangan, layanan bimbingan kelompok, dan layanan konseling kelompok, dan kegiatan penunjang yang meliputi instrumentasi bimbingan, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah, dan alih tangan kasus.
e.  Sarana dan Prasarana
Sarana berkenaan dengan kelengkapan administrasi, alat pengumpul data, penyirnpan data, dan perlengkapan teknis layanan konseling, sebagian besar sudah tersedia di SMU. sedangkan yang berkenaan dengan perlengkapan fisik, semua SMU mempunyai ruangan konseling, meskipun luas ruangan sangat bervariasi, di SMU sudah tersedia sarana dan prasarana konseling, namun belum visibel untuk digunakan sebagai kegiatan konseling yang ideal.
f.   Sistem Pengelolaan
Sistem pengeloiaan konseling kelompok di sekolah telah melibatkan berbagai unsur terkait, yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, konselor wali kelas, guru mata pelajaran, dan siswa. Kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, guru mata pelajaran di dalam penyelenggaraan layanan konseling kelompok sudah berpartisipasi, namun belum tepat dan belum optimal sesuai dengan deskripsi tugas sebagaimana dirumuskan dalam kurikulum BK; karena pada umumnya kurang memahami, kurang berminat, dan banyak disibukkan dengan tugas-tugas lain yang dianggap lebih penting, dari pada kegiatan konseling kelompok. Ada beberapa konselor di SMU yang mempunyai jam atau waktu khusus masuk kelas selama 2 x 45 menit untuk setiap minggu, sehingga konseling belum bisa dilaksanakan secara terprogram. Konselor seharusnya dapat mengatur waktu untuk konseling dengan beberapa alternatif, yaitu : (1) terjadwal seperti jam pelajaran, (2) terjadwal tersendiri secara individual, (3) mengarnbil waktu d iluar jam pelajaran, (4)di luar jam pelajaran sekolah (Kurikulum SMU 1994; SK Mendikbud Rl No. 025/0/1995). Namun dalam kenyataan di lapangan konselor masih banyak mengharapkan pelaksanaan konseling terjadwal seperti jam pelajaran, disisi lain sekoiah tidak memberikan jam khusus, sehingga konsellng tidak dapat dilaksanakan. Lima tahap kegiatan konseling, yaitu penyusunan program konseling, pelaksanaan konseling. evaluasi pelaksanaaan konseling, analisis evaluasi pelaksanaan konseling, dan tindak lanjut pelaksanaan konseling, sesuai dengan tugas pokok guru pembimbing di sekolah (SK Mendikbud Rl No.025/0/1995: 18),
g.   Proses konseling kelompok
Proses konseling kelompok meliputi tahap permulaan' tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap pengakhiran yang di dalamnya akan terjadi interaksi secara harmonis antara masukan mentah (siswa), masukan instrumen (konselor, program, prosedur, sarana), dan masukan lingkungan (norma, tujuan, lingkungan sekolah) sehingga akan menghasilkan keluaran perubahan perilaku yaitu siswa tercegah dari masalah, masalah siswa teratasi, dan pribadi siswa berkembang).
h.  Evaluasi pelaksanaan konseling kelompok
Evaluasi yang dilakukan oieh konselor belum rutin dan baru terbatas pada evaluasi kesesuaian antara program dengan pelaksanaan dan kualitas pelaksanaan program. Aspek lain yang belum dievaluasi yaitu hambatan; dampak layanan terhadap kegiatan belajar mengajar, respon siswa, personil sekolah, orang tua dan masyarakat terhadap layanan konseling pada umumnya dan konseling kelonrpok pada khususnya.
i.   Faktor kontekstual
Isi kegiatan cenderung mengacu pada Kurikulum BK dan SPPBK di SMU. Sumber-sumber dari lingkungan sekolah, rnasyarakat dan kebutuhan siswa belum dimanfaatkan untuk isi/materi layanan konseling kelompok. Kegiatan-kegiatan layanan yang dilaksanakan cenderung masihsteril”, baik dari isi kgiiatan maupun kerjasamanya dengan pihak-pihak terkait.



 4. Analisis Kebutuhan Model Konseling Kelompok
 a.  Berdasarkan Kebuttrhan Siswa
Hasil analisis kualitatif terhadap tingkat pencapaian pemenuhan kebutuhan siswa, kondisi lingkungan di sekolah, dan implementasi actual layanan konseling kelompok di SMU, menunjukkan bahwa siswa membutuhkan bantuan konseling kelompok dalam semua aspek perkembangan yang terfokus pada pengembangan pribadi pencegahan dan pengatasan masalah.
b.  Berdasarkan Lingkungan Siswa diSekolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan siswa di sekolah Menunjang terhadap pemenuhan kebutuhan siswa, konselor perlu merancang lingkungan pemenuhan kebutuhan dengan memberi peluang kepada siswa untuk mempelajari perilaku-perilaku baru yang sejalan dengan kebutuhannya.
c.   Berdasarkan lmplementasi Aktual Konseling Keiompok
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan konseling kelompok dirasakan bermanfaat bagi siswa,konselor,guru mata pelajaran wali kelas, dan kepala sekolah. Namun demikian, pelaksanaan dan hasil dari konseling kelompok belum optimal. Kendala yang ditemukan sebagai pengharnbat pelaksanaan konseling kelompok di sekolah, menunjukkan adanya : (1) keterbatasan kemampuan konselor dalam menangani sejumlah siswa yang menjadi tanggungjawabnya, (2) keterbatasan kemampuan konselor dalam melaksanakan konseling kelompok, (3) belum ada model konseling kelompok yang mudah dilaksanakan oleh konselor, dan (4) keterbatasan kemampuan konselor dalam mengelola semua komponen yang terkandung dalam sistem konseling kelompok. Konselor perlu menguasai semua komponen yang terkandung dalam sistem konseling kelompok, yaitu input ( raw input, instrumental input, enviromental input), proses. output, monitoring & evaluasi, cian kontrol beserta cara kerjanya, sehingga akan dapat melaksanakan konseling kelompok secara efektif, efisien dan profesional.

B. Model Konseling Kelompok Berdasarkan Pendekatan Sistem
Model konseling kelompok ini terdiri atas komponen-komponen: (1) rasional, (2) visi dan misi konseling kelornpok, (3) tujuan konseling kelompok, (4) isi konseling kelompok, (5) pendukung sistem konseling kelompok, (6) konseling kelompok berdasarkan pendekatan sistem.
1. Rasional
Pada tataran makro legalitas secara kelembagaan, keberadaan konseling di dalam pendidikan dijamin oleh undang-undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No 28 dan No. 29 tahun 1990 tentang pendidikan dasar dan menengah. 
2. Visi dan Misi Konseling Kelompok
Visi konseling kelompok adalah pengembangan, pencegahan, dan pengatasan masalah, yang menjunjung tinggi niiai-nilai dan potensi kemanusiaan dalam berbagai bentuknya. Visi ini dikatakan pengembcngan, karena fokus tujuan konseling kelompok adalah pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa secara optimal. Dikatakan pencegahan, karena fokus kepedulian konseling kelompok adalah pencegahan terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangan siswa. Sedangkan dikatakan pengatasan masalah, karena fokus utama kepedulian konseling kelompok adalah membantu mempercepat dan memperlancar penyelesaian masalah siswa.
Misi konseling kelompok adalah pemberian bantuan kepada slswa dalam mengembangkan seluruh potensi untuk mengoptimalisasikan pencapaian tugas-tugas perkembangan, mencegah kondisi yang dapat menghambat perkembangan, dan memperbaiki atau menjembatani kesenjangan antara perkembangan aktual dengan perkembangan yang diharapkan.
3. Tujuan Konseling Kelompok
Berdasarkan visi dan misi konseling kelompok serta kebutuhan siswa,tujuan umum konseling kelompok (Hansen, Warner & Smith dalam Larrabee & Terres,1984; Gazda, 1984; Rochman Natawidjaja,l987; Corey' 1985) adalah:
a. memberikan kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhan siswa berkaitan dengan pribadi, sosial, belajar dan karir.
b. membantu menghilangkan titik-titik lemah yang dapat mengganggu siswa berkaitan dengan pribadi, sosial, belajar, dan karir
c. membantu mempercepat dan memperlancar penyelesaian masalah yang dihadapi siswa berkaitan dengan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Secara khusus layanan konseling kelompok bertujuan membantu siswa dalam:
a.  belajar mengembangkan kemampuan mengenal diri terkait dengan aspek moral, intelektual dan emosional.
b. belajar mengembangkan sikap positip terhadap diri sendiri dan lingkungan.
c. beiajar mengembangkan penerimaan diri dan perasaan menghargai diri sendiri
d.  belajar lebih terbuka dan juiur terhadap diri sendiri dan orang lain.
e.  belajar untuk mempercayai diri sendiri dan orang lain.
f. belajar untuk lebih akrab dengan orang lain.
g. belajar untuk bergauldengan sesama jenis atau lawan jenis.
h. belajar untuk berkomunikasi dengan orang lain.
i. belajar meningkatkan kesadai.an diri, sehingga akan merasa bebas dan dapat lebih tegas dalam memilih dan menentukan
j. belajar untuk memberi dan menerima
k. belajar untuk memecahkan masalah.
l. belajar untuk memberikan perhatian kepada orang lain.
m. belajar lebih peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.
n. belajar untuk memberikan umpan balik dan konfrontasi demi kepentingan dan     perkembangan pribadi orang lain
o. belajar menerima perbedaan pendapat dengan orang lain
p. belajar memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan ingkungan belajar mengembangkan keterampilan berhubungan antar pribadi
r. belajar membuat kpputusan secara efektif
s. belajar mengembangkan sikap dan perilaku emosional yang mantap.
t. belajar rnengembangkan kemampuan dan keterampilan intelektual
    yang matang.
u.belajar mengembangkan sikap dan perilaku sosial yang bertanggungjawab.
v.belajar mengembangkan kemampuan memilih dan membuat keputusan karir.
w.beiajar menjadi konkruen dengan diri sendiri, dapat menyatakan apa yang   dipikirkan dan di percaya.
 Isi Konseling Kelompok
              lsi konseling kelcmpok ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut:
(1) Kebiasaan dan sikap dalam beriman dan bertaqwa ierhadap TuhanYME
(2) Pengenalan dan penerimaan perubahan pertumbuhan, dan perkembangan fisik dan psikis yang terjad idalam diri sendiri.
(3) Pengenalan tentang kekuatan diri sendiri, bakat, minat serta penyaluran dan pengembangannya.
(4) Pengenalan tentang kelemahan diri dan usaha-usaha penanggulangannya.
(5) Kemampuan mengambil keputusan dan pengarahan diri sendiri.
(6) Perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat
(7) Kemampuan berkomunikasi, serta menerima dan menyampaikan pendapat  secara logis, efektif, dan produktif.
(8) Kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial, baik di rumah, di sekolah, maupun di masyarakat luas dengan menjunjung tinggi tatakrama, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat, hukum, ilmu, dan kebiasaan yang berlaku.
(9). Hubungan dengan teman sebaya,baik di sekolah yang sama di sekolah lain, di luar sekolah, maupun di masyarakat pada umumnya
(10) Pemahaman dan pelaksanaan disiplin pada peraturan sekolah
(11)Pengenalan dan pengamalan pola hidup sederhana yang sehat dan bergotong royong.
(12) Sikap dan kebiasaan belajar.
(13)Motivasi dan tujuan belajar
(14)Kegiatan, disiplin, dan berlatih belajar secara efektif, efisien, dan produktif .
(15) Penguasaan materi pelajaran dan latihan keterampilan.
(16) Keterampilan teknis belajar.
(17) Pengenalan dan pemanfaatan kondisi fisik, sosial dan budaya yang ada di sekolah, lingkungan sekitar.
(18) Orientasi belajar untuk  pendidikan di perguruan tinggi.
(19) Pilihan dan latihan keterampiian.
(20) Orientasi dan informasi pekerjaan/karir, dunia kerja, dan upaya memperoleh penghasilan.
(21 ) Orientasi dan informasi lembaga-tembaga keterampilan sesuai dengan pilihan pekerjaan dan arah pengernbangan karir.
(22) Pilihan, orientasi dan informasi perguruan tinggi sesuai dengan arah pengembangan karir.

Masukan Instrumen
a. Konselor            
b.Program
      c.  Sarana                        
d. Tahapan ( Transisi, Kegiatan, Pengakhiran, Evaluasi  dan Tindak Lanjut ).

Prosedur Kerja Konseling Kelompok
Langkah pertama mengidentifikasi kebutuhan'Konselor
Langkah kedua, menentukan tujuan.
Langkah ketiga, memeriksa dan menilai lingkungan nyata siswa di sekolah.
Langkah keempat, mengenali sistem klien (siswa).
Langkah kelima, melayani siswa.
Langkah keenam,monitoring, evaluasi dan balikan

Sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi proses dan evaluasi hasil dapat digunakan untuk: (1) memperbaiki dan mengembangkan program konseling kelompok selanjutnya, (2) memperkirakan keberhasilan upaya konseling kelompok, (3) memperkirakan perolehan siswa melalui konseling kelompok dalam perkembangan selanjutnya, (4) penyusunan laporan kepada pihak-pihak yang meinerlukan, dan (5) memperkuat akuntabilitas konseling kelompok sebagai layanan profesional. 

Langkah-langkah yang ditempuh konselor :
a. Membina hubungan baik                        d. Norma kelompok
b.Pelibatan diri                                          e. Penggalian ide dan perasaan
c. Agenda





KODE ETIK
PROFESI KONSELING

BAB I
PENDAHULUAN

Dasar
 Dasar Kode Etik Profesi Konseling di lndonesia adalah (a) Pancasila, mengingat bahwa profesi konseling merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia daiam rangka ikut membina warga negara yang bertanggung jawab, dan (b) tuntutan profesi, mengacu kepada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai dengan orma-norma yang berlaku.

BAB II
KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR

A.  Kualifikasi
Konselor harus memiliki (1) nilai, sikap, keierampilan, pengetahuan, dan wawasan dalam bidang profesi konseling, dan (2) pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor.

1. Wawasan Pengetahuan, Keterampilan, Nilai, dan Sikap

a.      Agar dapat memanami orang lain cengan sebaik-baikirya, konselor harus terus-menerus berusaha mengembangran dan menguasai dirinya. la harus mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka- prasangka pada dirinya  sendiri, yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendiahnya mutu layanan profesional serta merugikan klien.
b.      Dalam melakukan tugasnya membantu klien, konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendahhati, sabar menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib, dan hormat.
c.      Konselor harus memiliki rasa tanggungjawab terhadap saran dan peringatan yang diberikan kepadanya, kh ususnya dari rekan – rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah laku profesional sebagaimana diatur dalarn Kode Etik ini.
d.     Dalam menjalankan tugas-iugasnya, konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin; kepentingan pribadi, terrnasuk keuntungan material dan finansial tidak diutamakan.
e.      Konselor harus terampil menggunakan teknik-teknik dan prosedur- prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.
 2. Pengakuan Kewenangan
Untuk dapat bekerja sebagai konselor, diperlukan pengakuan keahlian dan kewenangan oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan kepadanya oleh pemerintah.

B. Informasi, testing, dan Riset
1. Penyimpanan dan Penggunaan Informasi
a.       Catatan tentang klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lain, semuanya merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boieh digunakan untuk kepentingan klien. Penggunaan data/informasi untuk keperluan riset atau pendidikan calon konselor dimungkinkan, sepanjang identitas klien dirahasiakan.
b.      Penyarnpaian informasi mengenai klien kepacia keluarga atau kepada anggota profesi lain, membutuhkan persetujuan klien.
c.       Fenggunaan inlormasi tentang klien dalam rangka konsultasi dengan 'anggota profesi yang sama atau yang lain dapat dibenarkan, asalkan untuk kepentingan klien dan tidak merugikan klien.
d.      Keterangan mengenai bahan pro{esional hanya boleh diberikan 'kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.

2. Testing
a.       Suatu jenis tes hanya diberikan oleh petugas yang berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor harus selalu memeriksa dirinya apakah ia mempunyai wewenang yang  dimaksud.
b.      Testing diperlukan bila proses pemberian layanan memerlukan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang rnenuntut adanya perbandingan dengan sampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensia, rninat, bakat khusus, dan kecenderungan pribadi seseorang.
c.       Konselor harus memberikan orientasi yang tepat kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya harus disampaikan kepada klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan kegunaannya,
d.      Penggunaan suatu jenis tes harus mengikuti pedoman .atau petunjuk yang berlaku bagi tes yang bersangkutan.
e.       Data yang diperoleh cari hasil testing harus diintegrasikan dengan informasi lain yang relah diperoieh dari klien sendiri atau dari sumber lain. Dalam hal ini data hasil testing harus diperlakukan setaraf dengan data dan informasi lain tentang klien.
f.       Hasil testing hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak lain yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan kepada klien dan tidak merugikan klien.
 3. Riset
a.       Dalam melakukan riset, di mana tersangkut manusia dengan masalahnya sebagai subyek, harus dihindari hal-hal yang dapat merugikan subyek yang bersangkutan.
b.      Dalam melaporkan hasil riset di mana tersangkut klien sebagai subyek, harus dijaga agar identitas subyek dirahasiakan.

C. Proses Layanan
1.      Hubungan dalam Pemberian Layanan
a.       Kewajiban konselor harus menangani klien berlangsung selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor. Kewaiiban itu berakhir jika hubungan konseling berakhir dalam arti, klien mengakhiri hubungan kerja atau konselor tidak lagi beftugas sebagai konselor.
b.      Klien sepenuhnya berhak untuk mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum mencapai suatu hasil yang kongkret. Sebaiknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan apabila klien ternyata tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu.

2. Hubungan dengan Klien
a.      Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas dan keyakinan klien.
b.      Konselor harus menempatkan kepentingan kliennya di atas kepentingan pribadinya. Demikian pun dia tidak bolen memberikan layanan bantuan di luar bidang pendidikan, pengalaman, dan kemampuan yang dimilikinya.
c.      Dalam menjalankan tugasnya, konselor tidak mengadakan pembedaan klien atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama atau status sosial ekonomi.
d.     Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak akan mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
e.      Konselor bebas memilih siapa yang akan diberi bantuan, akan tetapi dia harus memperhatikan setiap permintaan bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak orang yang rnenghendaki.
f.       Kalau konselor sudah turun tangan membantu seseorang, maka dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya atau orang yang bertanggungjawab padanya.
g.      Konselor harus menjelaskan kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggungjawab masing-masing, khususnya sejauh mana dia memikul tanggungjawab terhadap klien.
h.      Hubungan konselor rnengandung kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan, dan rekan-rekan sejawat.
1)      Apabila timbul masalah dalam soal kesetiaan ini, maka harus diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan ialah kepentingan klien.
2)      Apabila timbul masalah antara kesetiaan kepada klien dan lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor harus menyampaikan situasinya kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta untuk mengambil keputusan apakah dia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
i.        Konselor tidak akan memberikan bantuan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, apabila hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam oleh kaburnya peranan masing_masing.
 D. Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan sejawat atau Ahli Lain
1.      Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Dalam rangka pemberian layanan kepada seorang klien, kalau konselor merasa ragu-ragu tentang suatu hal, maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawat se lingkungan profesi. untuk itu ia harus mendapat izin terlebih dahulu dari kliennya
2. Alih Tangan Tugas
1.   Konselor harus mengakhiri hubungan konseling dengan seorang klien bila pada akhirnya dia menyadari tidak dapat mernberikan pertolongan kepada klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan/keahlian maupun keterbatasan pribadinya. Dalam hai ini konselor mengizinkan klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang rebih ahli, atau ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli tersebut, tetapi harus atas dasar persetujuan klien.
2.      Bila pengiriman ke ahli lain disetujui krlen. maka menjadi tanggungjawab konselor untuk menyarankan kepada klien orang atau badan yang mempunyai keahlian khusus.
3.      Bila konselor berpendapat klien perlu dikirim ke ahli lain, akan tetapi klien menolak pergi kepada ahli yang disarankan oleh konselor, maka konselor mempertimbangkan apa baik-buruknya kalau hubungan yang sudah ada mau diteruskan lagi.

BAB III
HUBUNGAN KELEMBAGAAN

A. Prinsip Umum
1.      Prinsip-prinsip yang berraku dalam rayanan individuar, khususnya tentang penyimpanan serta penyebaran informasi tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor.dengan klien, berlaku juga bila konselor bekerja dalam hubungan kelembagaan.
2.      Apabila konselor bertindak sebagai konsultas pada suatu lembaga, maka harus ada pengertian dan kesepakatan yang jelas antara dia dengan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi konselor di tempat lembaga itu. Sebagai seorang konsultas, konselor harus tetap mengikuti dasar-dasar pokok profesi dan tidak bekerja atas dasar komersial.
B. Keterkaitan Kelembagaan
1.      Setiap konselor yang bekerja dalam hubungan kelembagaan turut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan peraturan kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling dengan menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
2.      Peraturan-peraturan kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga harus dianggap mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor harus mempertanggungjavrabkan pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya dia berhak pula mendapat perlindungan dari lembaga itu dalam menjalankan profesinya.
3.      Setiap konselor yang meniadi anggota staf suatu lembaga harus rnengetahui tentang programplrogram yang berorientasi kepada kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain, pekerjaan konselor harus dianggap sebagai sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga itu.
4.      Jika dalam rangka pekerjaan dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan- kebijaksanaan yang berlaku di lembaga itu, maka ia harus mengundurkan diri dari lembaga tersebut.



BAB IV
PRAKTIK MANDIRI DAN LAPORAN KEPADA PIHAK LAIN
 A. Konselor Praktik Mandiri (Privat)
1.      Konselor yang berpraktik mandiri (privat) dan tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan terientu, tetap menaati segenap kode etik jabatannya sebagai konselor, dan berhak untuk mendapat dukungan serta perlindungan diri dari rekan-rekan seprofesi.
2.      Konselor yang berpraktik mandiri wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari organisasi profesi (ABKIN).
B. Laporan kepada pihak Lain
Apabila konselor perlu melaporkan suatu hal tentang klien kepada pihak lain (misalnya: pimpinan lembaga tempat ia bekerja), atau kalau ia diminta keterangan tentang klien oleh petugas suatu badan di luar profesinya, dan ia harus juga memberikan informasi itu, maka dalam memberikan informasi itu ia harus sebijaksana mungkin dengan berpedoman pada pegangan bahwa dengan berbuat begitu klien tetap dilindungi dan tidak dirugikan.





BAB V
KETAATAN KEPADA PROFESI
 A. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
1.      Dalam meraksanakan hak dan kewajibannya sebagai konseror, konselor harus selalu mengaitkannya dengan tugas darr kewajibannya terhadap klien dan profesi sebagaimana dicantumkan dalam kode etik ini, dan semuanya itu sebesar- besarnya untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
2.      Konselor tidak dibenarkan menyalahgunakan jabatannya sebagai konselor untuk maksud mencari keuntungan pribadi atau rnaksud-maksud lain yang dapat merugikan klien, ataupun menerima komrsi atau balas jasa dalam bentuk yang tidak wajar.
B. Pelanggarin terhadap Kose Etik
1.      Konselor harus selalu mengkaji tingkah laku dan perbuatannya tidak melanggar kode etik ini.
2.      Konselor harus senantiasa mengingat bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil layanan yang ia berikan, merugikan klien, lembaga cdna pihak- pihak lain yang terkait, serta merugikan diri konselor sendiri dan profesinya.
3.       Pelanggaran terhadap kode etik ini akan mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh ABKIN.