BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Perkembangan Konseling
Kelompok.
1. Periode Pertama
Perkembangan gerakan bimbingan pada periode ini
diprakarsai oleh Frank Parson yang dikenal sebagai pendiri dan pelopor gerakan
bimbingan jabatan di Amerika dengan menuliskan sebuah buku yang berjudul
Choosing a Vocational dan pada tahun 1908 mendirikan Vocational Bureau of
Boston di Boston yang memberi pelayanan bantuan kepada mereka yang mendapat
kesulitan mencari pekerjaan. Bimbingan pada masa ini baru mencakup bimbingan
jabatan. Pada tahap awal ini disebut
sebagai Periode Parsonia, bimbingan dilihat sebagai usaha mengumpulkan berbagai
keterangan tentang individu dan jabatan, keterangan itu kemudian
dipasang-dicocokkan yang akhirnya menentukan jabatan apa yang paling cocok untuk
individu yang dimaksudkan.
2.
Periode Kedua
Pada periode ini gerakan bimbingan menekankan pada
bimbingan pendidikan, bimbingan baru menjadi sebagian dari program pendidikan
di sekolah. Pada tahun 1915 Charles L. Jacobs dari California menerbitkan buku
Manual Training and Vocational Education, dalam buku ini pekerjaan bimbingan
dibagi tiga bagian yaitu bimbingan pendidikan (educational guidance), bimbingan
jabatan (vocational guidance) dan bimbingan di luar jabatan resmi misalnya
masalah hobi (avocational guidance). Pionir lain yang mengawali bimbingan
sebagai program pendidikan di sekolah yaitu Jessie B. Davis, Anna Reed, dan Eli
Weaver. Pada periode ini bimbingan dirumuskan sebagai suatu totalitas pelayanan
yang secara keseluruhan dapat diintegrasikan ke dalam upaya pendidikan. Pada
masa ini rumusan konseling juga belum dimunculkan.
3. Periode Ketiga.
Pada periode ini pelayanan untuk penyesuaian diri
mendapat perhatian utama. Pelayanan bimbingan tidak hanya pada usaha-usaha
pendidikan dan mencocokkan individu untuk jabatan-jabatan tertentu saja namun
juga pelayanan bagi peningkatan kehidupan mental. Dalam kaitan itu secara
keseluruhan bimbingan ditekankan untuk membantu penyesuaian diri individu
terhadap diri sendiri, lingkungan dan masyarakat. Pada periode ini rumusan
konseling mulai dimunculkan. Para ahli bimbingan pada periode ini menyadari
bahwa apa yang mereka lakukan “bukan hanya sekedar menyediakan bimbingan atau
memberikan latihan”, mereka membantu indidvidu memcahkan masalah-masalah dalam
kehidupan individu itu yang kadang-kadang amat pelik dan membesar (Belkin,
1975). Rumusan konseling pada periode
ini secara nyata memperlihatkan bahwa konseling merupakan salah satu bentuk
pelayanan bimbingan di antara sejumlah pelayanan lainnya, seperti bimbingan
jabatan dan bimbingan pendidikan. Perkembangan lebih lanjut pada periode ketiga
ini lebih menonjolkan peranan pentingnya konseling di antara keseluruhan
bentuk-bentuk pelayanan bimbingan, sampai-sampai konseling dianggap jantung
hatinya bimbingan.
4. Periode Keempat
Pada periode ini gerakan bimbingan menekankan pentingnya
proses perkembangan individu. Pelayanan bimbingan dihubungkan dengan usaha
individu untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya, membantu individu dalam
mengembangkan potensi dan kemampuannya dalam mencapai kematangan dan kedewasaan
menjadi tujuan yang utama. Menurut Myrick (dalam Mayers,1992) perkembangan
individu secara tradisional dari dulu sampai sekarang menjadi inti dari pelayanan bimbingan. Sejak
tahun 1950-an orientasi perkembangan bimbingan dan kosneling sejalan dengan
konsepsi tugas-tugas perkembangan yang
dicetuskan oleh Havighurst (Hansen, at.al.1976) Dalam hal itu peranan bimbingan
dan konseling adalah memberikan kemudahan bagi gerka individu menjalani alur
perkembangannya.
5. Periode Kelima
Pada periode ini tampaknya ada dua arah yang berbeda
yaitu kecenderungan yang ingin kembali ke periode pertama dan kecenderungan
yang lebih menekankan pada rekonstruksi
social dan personal dalam rangka membantu memecahkan masalah yang
dihadapi individu. Pada dua tahap terakhir tampaknya terjadi tumpang tindihnya
pengertian bimbingan dan konseling, yang satu dapat dibedakan dari yang lain,
tetapi tidak dapt dipisahkan satu sama lainnya. Perkembangan selanjutnya Belkin
(1975) secara tegas menolak konsep, rumusan ataapu penjelasan yang mengecilkan
arti istilah konseling.Dia mengusulkan akan lebih baik dan menguntungkan untuk
membangun rumusan konseling yang meliputi segala sesuatu yang selama ini
disebutkan sebagai pelayanan bimbingan. Untuk selanjutnya istilah bimbingan
tidak dipakai lagi dan diganti dengan istilah konseling.
Pada tahun 1907 , Jesse B.Davis mengembangkan kerja
kelompok di sekolah untuk bimbingan kejuruan dan moral ( Glanz &
Hayes,1967, dalam Gladding,1995). Pada tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an,
bimbingan kelompok di sekolah dipusatkan pada tema –tema pribadi dan kejuruan.
Saat itu kegiatan bimbingan kelompok
menjadi tanggung jawab wali kelas. R.D Allen ( 1931, dalam Gladding,1995),
mengembangkan bimbingan kelompok itu menjadi konseling kelompok. Pada tahun 1950
bimbingan kelompok digantikan dengan konseling kelompok dan menjadi sangat
populer sebagai salah satu cara utama untuk membawa perubahan tingkah laku.
Pada tahun 1980, popularitas konseling kelompok ditingkatkan, teori dan praktek
diperbaiki. Pada tahun 1989, Gazda menawarkan penggunaan “konseling kelompok
perkembangan”. Pada tahun 1990, konseling kelompok terus berkembang dan mulai
ditingkatkan penggunaannya di sekolah, sebagai salah satu cara mempengaruhi kemajuan
pendidikan dan kemampuan sosial.
B. Posisi Konseling Kelompok
dalam Setting sekolah.
Era globalisasi dan informasi yang
begitu pesat mengakibatkan meningkatnya konflik dan kecemasan. Pendidikan
sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang
berkembang. Upaya penmdidikan adalah upaya normatif. Proses pendidikan
menyangkut pengembangan seluruh dimensi kepribadian manusia.Sasaran umum
pendidikan yang juga sasaran kegiatan konseling yaitu pengembangan potensi
peserta didik. Pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja
dalam rangkaian upaya pemberian bantuan. Pada tataran Makro, eksistensi
konseling dalam pendidikan dijamin oleh UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989 dan PP
no 28 dan 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. Profesi
konseling makin kokoh dengan ditetapkannya istilah “konselor”sebagai salah satu
tenaga kependidikan dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003.
Dahlan ( dalam Mungin,2005:10)
menyatakan bahwa bimbingan dan konseling tidak lepas dan melepaskan diri dari
keseluruhan rangkaian pendidikan.m Intervensi konseling dalam merealisasikan
fungsi pendidikan akan terarah pada upaya membantu individu.Konseling kelompok
sebagai bentuk upaya pendidikan mengemban tanggung jawab untuk membantu
individu mampu menyesuaikan diri terhadap dinamika dan perubahan kehidupan
sosial. Profesi konseling sebagai profesi bantuan diabdikan bagi peningkatan
harkat dan martabat kemanusiaan.
C. Kerja Kelompok
1.
Arti Kelompok
Webster s New World Dictionary memberikan definisi kata
kelompok, satu diantaranya adalah bahwa kelompok bercirikan interaksi antar
anggota dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap unit diubah oleh anggota
kelompoknya.
Kumpulan individu dapat menjadi kelompok bila (1) ada
interaksi antar individu tersebut,(2) anggota berusaha mencapai beberapa
tujuan, (3) anggota tidak mendapat paksaan dari siapapun.
2.Tipe-tipe Kelompok Sosial
Pertama, kelompok
primer dan kelompok sekunder
Kelompok primer merupakan kelompok yang anggotanya
bertemu secara langsung, saling membantu dan menangani berbagai masalah yang
ada. Ciri-ciri kelompok primer : (1) kelompok kecil; (2) kesamaan latar
belakang anggota; (3) kepentingan pribadi yang terbatas; dan (4) intensitas dan
kepentingan yang sama. Sedang kelompok
sekunder adalah kelompok yang anggotanya tidak seintim dan sedekat seperti
kelompok primer.
Kedua, kelompok
dalam dan kelompok luar
Kelompok dalam adalah kelompok yang identitas individu
berkaitan dengan ciri-ciri pribadi.. Ekspresi tingkah laku subyektif sering
muncul. Kelompok luar diartikan dengan individu yang berkaitan dengan kelompok
dalam, biasanya ditunjukkan dengan ekspresi kontras antara”kita/kami “dengan
“mereka”, atau “orang lain”. Tingkah laku kelompok luar ditandai dengan
ekspresi perbe3daan, dan kadang dengan angoisme, prasangka, kebencian dan
apatis.
Ketiga, kelompok
fisik dan kelompok sosial.
Kelompok fisik ditandai dengan struktur informal,
beberapa peraturan, keanggotaan bersifat sukarela, homogenitas usia anggota,
dan tidak ada tujuan pasti. Tujuannya adalah memuaskan kebutuhan emosi anggota.
Sedang kelompok sosial ditandai dengan tujuan-tujuan yang jelas, perbedaan usia
dan status anggotanya. Kelompok sosial ini berorientasi pada pemecahan masalah.
Keempat, kelompok
sementara dan kelompok berkelanjutan
Kelompok sementara terdiri dari mereka yang hadir saat
kelompok dimulai. Sedangkan kelompok berkelanjutan merupakan kelompok yang
mempunyai tahap-tahap perkembangan. Ini sering menimbulkan masalah komunikasi,
penerimaan dan pencapaian kesiapan untuk berpartisipasi secara penuh bagi
angota-anggota.
3.Dinamika Kelompok.
Dinamika kelompok mengacu pada kekuatan interaksi dalam
kelompok saat mereka berorganisasi dan beroperasi untuk mencapai
tujuannya.Produktifitas kelompok merupakan fungsi interaksi yang harmonis antar
anggota dalam melaksanakan proses dan mematuhi prosedur atau aturan main yang
diberlakukan oleh anggota kelompok.
4.Proses Kelompok
Proses yang dimaksud merupakan gerakan yang
berkesinambungan, dinamis dan terarah.
Proses kelompok mengacu pada dua orang atau lebih yang bekerja sama atas dasar beberapa kebutuhan
/masalah/tujuan tertentu. Prosesnya meliputi tiga cara yaitu :anggota dengan
anggota, anggota dengan kelompok, dan kelompok dengan anggota. Proses kelompok adalah cara anggota bekerja sama atas dasar
moral, sifat kohesif dan kerja sama.
5. Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan kelompok dimana
pimpinan kelompok menyediakan informasi dan
mengarahkan diskusi agar anggota
kelompok menjadi lebih sosial atau mencapai
tujuan bersama. Tujuan bimbingan kelompok adalah untuk memberi informasi dan data untuk
mempermudah pembuatan keputusan dan tingkah laku. Bimbingan kelompok bersifat
preventif.
Gazda menyimpulkan bahwa bimbingan kelompok diorganisasi
untuk mencegah perkembangan masalah, isi utamanya meliputi informasi
penmdidikan, pekerjaan, pribadi dan sosial. Anggota kelas berjumlah 20-30
orang. Peranan anggota (a) berpartisipasi aktif dalam dinamika interaksi
sosial,,(b) menyumbang bagi pembahasan masalah, dan (3) menyerap informasi
untuk diri sendiri. Suasana interaksi multi arah, mendalam. Sifat pembicaraan
umum, tidak rahasia dan kegiatan berkembang sesuai tingkat perubahan dan
pendalaman masalah/topik.
6.
Konseling Kelompok
Konseling kelompok adalah suatu proses interpersonal yang
dinamis yang menitikberatkan pada kesadaran berpikir dan tingkah laku,
melibatkan fungsi terapeutis, berorientasi pada kenyataan, rasa saling percaya,
ada pengertian, penerimaan dan bantuan.
Ohlsen(1977) menyatakan bahwa konseling merupakan
pengalaman terapeutik bagi orang yang tidak memiliki masalah emosional yang
serius. Dalam konseling kelompok ada hubungan antara konselor dengan anggota
kelompok penuh rasa penerimaan, kepercayaan dan rasa aman.
Gazda dkk (1967), menyatakan bahwa konseling kelompok adalah
suatu proses antar pribadi yang dinamis dan terpusat pada pemikiran dan
perilaku yang sadar dan melibatkan fungsi-fungsi terapi. Gazda membuat beberapa
perbedaan antara bimbingan dan konseling kelompok adalah (1) bimbingan kelompok
disarankan untuk semua siswa, konseling kelompok untuk mereka yang memiliki
masalah sesaat/berkesinambungan,(2) bimbingan kelompok membuat usaha tidak
langsung untuk mengubah tindakan dan tingkah laku dan menekankan fungsi kognitif, sedangkan konseling kelompok
memberi usaha langsung untuk memodifikasi perilaku dan menekankan fungsi
afeksi; dan (3) bimbingan kelompok bisa diterapkan untuk kelompok seukuran
kelas, sementara konseling kelompok diterapkan untuk kelompok kecil yang
terdiri atas 3-4 siswa.
Tujuan dalam konseling kelompok adalah pengembangan
pribadi, pembahasan dan pemecahan masalah pribadi anggota kelompok. Peranan
anggota kelompok (a) berpartisipasi aktif dalam dinamika interaksi sosial, (b)
menyumbang bagi pemecahan masalah pribadi anggota kelompok, dan (c) menyerap
informasi, saran dan berbagai alternatif untuk pemecahan masalah dan pemenuhan
kebutuhan diri sendiri. Suasana interaksi yaitu multi arah, mendalam dan
tuntas, melibatkan aspek kognisi, afeksi dan kepribadian.Sifat pembicaraan
pribadi dan rahasia dan lama kegiatan sesuai tingkat pendalaman dan penuntasan
masalah.
7.
Konsultasi Kelompok keluarga
Fullmer melaporkan bahwa penggunaan kelompok kecil
sebagai model belajar-mengajar untuk mengubah perilaku sesorang. Menurut
Fullmer bahwa konsultasi kelompok keluarga untuk (1) memperbaiki komunikasi dan
interaksi dalam keluarga,(2) mengurangi distorsi anggota keluarga atas kejadian
yang bersifat situasional,(3) mengembangkan kesadaran anggota atas realita dan
dampaknya pada orang lain, dan (4) mengklarifikasi peranan anggota keluarga dan
harapan-harapannya.
8. Kelompok Berstruktur.
Kegiatan kelompok berstruktur diarahkan kepada
pembahasan dan latihan ketrampilan sosial yang dilaksanakan secara berstruktur
dan didasarkan pada minat dan kebutuhan yang dirasakan bersama para anggota
kelompok.
Pertemuan dalam kelompok berstruktur berlangsung selama
kurang lebih 2 jam per minggu dengan rentang waktu empat minggu hingga satu
semester. Pada awal pertemuan , para anggota diminta mengisi angket mengenai
kemampuan anggota dalam memecahkan masalah. Pada akhir seluruh kegiatan,
anggota mengisi angket kedua untuk menilai hasil yang dicapai masing-masing
anggota kelompok.
9.Training group(T-Group)
Laboratorium Pelatihan Nasional (1947), mengawali
menyelenggarakan lokakarya dan konferensi yang dirancang untuk mendidik anggota
tentang hubungan manusia, untuk meningkatkan ketrampilan dirinya dan unuk
mengembangkan individu untuk menjadi
pimpinan dalam organisasi yang bersifat dinamis.
Berne dkk, membuat garis besar sejarah T-Group, yaitu
camp para psikolog penganut Kurt Lewin, bahwa T-Group sebagai alat meningkatkan
ketrampilan manajemen pengelolaan, efisiensi tugas, organisasi dan perubahan
sosial,; sedang camp yang lain, terdiri dari ahli psikologi klinis memandang
T-Group utamanya berfokus pada dinamika inter dan antar personal. Hasil T-Group
adalah meningkatnya kesadaran gaya interpersonal dan meningkatkan ketrampilan
komunikasi, pengetahuan tentang dinamika kelompok dan perkembangan kelompok.
Tujuan T-Group adalah membantu individu agar mampu
menerapkan apa yang telah dipelajari tentang dinamika kelompok dan hubungan
antarpribadi dalam suasana tempat mereka hidup dan bekerja. T-Group merupakan
laboratorium untuk belajar tenatang bagaimana belajar dan memusatkan perhatian
pada hal-hal yang terjadi pada saat ini dan sekarang. Dengan T-Group, konselor
dapat mengetahui anggota kelompok yang kreatif, memiliki inisiatif, bakat
memimpin, bersikap positif, bisa bekerjasama, mudah tersinggung, toleran dll.
10. Kelompok Pertemuan (
Encounter Group )
Encounter group dikenalkan oleh Moreno dalam puisinya
yang berjidul Invitation to an Encounter. Penekanan kegiatan kelompok ini
adalah memacing dan menyatakan emosi secara penuh. Encounter group membahas
masalah yang terjadi “ di sini dan saat ini”dan ditujukan untuk “mengajar”
orang hidup “ pada saat ini “. Pada umumnya para peserta belum mengenal satu
sama lain.
Enconter group, biasanya berlangsung pada akhir pekan
dan anggotanya mengemukakan dirinya dihadapan orang banyak. Fokus utama
kegiatan ini adalah pengembanan kesadaran, ekspresi, dan penerimaan perasaan
para anggotanya.
Secara umum, tujuan encounter group adalah membantu
individu – individu untuk :
a.
Membebaskan aset-aset beku
dengan mengekspresikian diri kepada satu pengalaman yang membutuhkan investasi
emosional.
b.
Menyadari potensi yang
tersembunyi, menemukan kekuatan yang tidak dimanfaatkan, dan mengembangkan
kreatifitas dan spontanitas.
c.
Memudahkan pertumbuhan personal
dan aktualisasi diri.
d.
terlibat dalam keakraban dan
interaksi yang berarti dengan anggota lainnya.
e.
Terbuka dan jujur dalam berkomunikasi dengan orang lain.
f.
Mempertipis rasa keterasingan
dari orang lain.
g.
Mengurangi sikap pura-pura yang
menghambat perasaan intim.
h.
Menjadi terbebas dari
nilai-nilai luar dan mengembangkan nilai-nilai dari dalam dirinya.
i.
Mengurangi perasaan terasing
dan ketakutan untuk berdekatan dengan orang lain.
j.
Belajar bagaimana meminta
sesuatu secara langsung sesuatu yang diinginkan.
k.
Belajar membedakan antara
memiliki perasaan dengan tindakan yang dilakukannya.
l.
Meningkatkan kemampouan untuk
mengurusi orang lain.
m.
Belajar bagaimana memberi
sesuatu kepada orang lain.
11. Kelompok Sensivitas,
Dorongan dan Yang lainnya.
Pelatihan Sensivitas pada awalnya mengacu pada pelatihan
kelompok kecil yang fokus utamanya adalah yingkah laku antar dan inter anggota.
Perhatian pada peran dan proses-proses kelompok. Hasilnya meliputi klarifikasi
nilai kehidupan , meningkatnya sensivitas dan peningkatan diri.
Pelatihan Laboratorium, istilah yang mengacu pada metode
pendidikan, yang menekankan kegiatan belajar berdasar pengalaman. Menurut
Blumberg, pelatihan laboratorium memberi pelajaran anlogi kelompok atau sistem
organisasi yang dihadapi/ada dalam kehidupan sehari-hari.
Kelompok
Pengembangan Pribadi, dirancang untuk memperkuat
kemampuan individu dalam menghadapi orang dan berjalan secara lebih akurat.
Kelompok Dorongan adalah kelompok yang menekankan perkembangan diri melalui
peningkatan kesadaran, eksplorasi intrafisik dan masalah-masalah interpersonal,
dan pelepasan batasan-batasan disfungsional.
Kelompok
Pengalaman adalah pendidikan bukan terapi. Tujuan
kelompok ini adalah pengakuan kompetensi interpersonal, ketrampilan komunikasi
dan perubahan pribadi dan organisasi yang bersifat membangun.
12. Kelompok Marathon (
Marathon Group )
Kelompok marathon bertemu secara terus-menerus minimal
18 jam sampai 24 jam dan maksimal 48 jam. Anggota mengeksplor dan
mengekpresikan perasaan dan pandangannya tentang diri dan orang lain,
hubungannya dengan orang lain dan cara-caranya berinteraksi.Anggota kelompok
akan terjadi perubahan kepribadian di dalam mengerti dan menerima keadaan
dirinya.
13. Kelompok Membantu Diri
Sendiri ( Self-help group)
Selp-help group sebagai upaya orang awam menanggulangi
persoalan tanpa meminta bantuan lembaga atau perorangan yang memberikan
pelayanan profesional. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melindungi diri sendiri
anggota kelompok dari tekanan psikologis dan mendorong anggotanya untuk
mengubah kehidupannya yang lebih positif. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan di
tempat seperti sekolah, masjid, gereja dan kerlompok belajar.
14. Perkembangan Organisasi
Asal perkembangan organisasi ada dalam proses pelatihan
laboratorium dan T-Group. Perkembangan organisasi memberlakukan berbagai
strategi kelompok yang dirancang untuk membawa perubahan dalam organisasi untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Huse menyatakan bahwa praktisionir awal
perkembangan organisasi berfokus pada individu dan kelompok, yang
berasumsi bahwa perubahan yang ada akan mengubah seluruh organisasi.
15.
Psikoterapi Kelompok
Psikoterapi kelompok didefinisikan sebagai aplikasi
prinsip terapi pada dua individu atau lebih secara bersamaan untuk
mengklarifikasi konflik psikologisnya sehingga mereka bisa hidup secara normal.
J.L Moreno, mengenalkan istilah psikoterapi kelompok
pada awal tahun 1931 yang selanjutnya psikoterapi kelompok ini banyak memberi
dasar pemikiran untuk konseling kelompok. Psikoterapi kelompok menganalisis
masalah secara mendalam, fokus pada ketidaksadaran, dengan gangguan jiwa atau
problema emosi lain yang parah, dan dilaksanakan dalam waktu relatif panjang.
Yalom(1975), menyimpulkan beberapa faktor yang bersifat
kuratif dalam terapi kelompok adalah
pembinaan harapan, universalitas, penerangan, altruisme, pengulangan korektif
keluarga asal, pengembangan teknik sosialisasi, peniruan tingkah laku, belajar
berhubungan dengan pribadi lain, rasa kebersamaan, katarsis, dan faktor
eksistensial. Butler an Fuhrman (1983) menambahkan satu faktor yaitu pengertian
diri.
Tujuan psikoterapi kelompok, antara lain(1) menjadi
lebih terbuka dan jujur terhadap diri dan orang lain,(2) belajar mempercayai
diri sendiri dan orang lain,(3) berkembang untuk lebih menerima diri
sendiri,(4) belajar berkomunikasi dengan orang lain,(5) belajar akrab dengan
orang lain,(6) belajar bergaul dengan sesama atau lawan jenis,(7) meningkatkan
kesadaran diri,(8) belajar memberi dan menerima,(9) belajar memecahkan
masalah,(10) belajar memberi perhatian pada orang lain,(11) belajar untuk lebih
peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain,(12) belajar untuk lebih
mengerti bahwa orang lain juga memiliki masalah berat,(13) belajar memberi
umpan balik dan konfrontasi demi kepentingan dan perkembangan pribadi orang
lain.
Kondisi klien yang tidak direkomendasikan untuk kegiatan
kelompok, yaitu (1) klien dalam keadaan krisis,(2) klien sangat takut berbicara
untuk berbicara dalam kelompok,(3) klien sangat tidak efektif dalam hubungan
pribadinya, atau sama sekali tidak memiliki ketrampilan sosial, (4) klien tidak
menyadari akan perasaan, motivasi dan perilakunya,(5) klien menunjukkan
perilaku yang menyimpang,(6) klien terlalu banyak minta perhatian dari orang
lain sehingga mengganggu kelompok,(7) klien dalam keadaan psikotik akut,(8)
klien diperkirakan mengganggu jalannya kegiatan kelompok,(9) klien sangat
agresif,(10) klien memiliki masalah kontrol impuls.
BAB
II
MAKNA
KONSELING KELOMPOK
A. Pengertian Konseling
Kelompok.
Gazda(1984) dan
Shertzer&Stone(1980), mendefinisikan konseling kelompok sebagai suatu
proses antar pribadi yang dinamis yang terpusat pada pemikiran dan perilaku
yang disadari. Proses itu mengandung ciri terapeutik seperti pengungkapan
pikiran dan perasaan secara leluasa,
orientasi pada kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan, saling percaya,
saling perhatian, saling pengertian dan saling mendukung.
Hansen, Warner&Smith (dalam
Larrabee&Terres,1984), menyatakan bahwa konseling kelompok merupakan cara
yang amat baik untuk menangaini konflik-konflik antar pribadi dan membantu
individu-individu dalam pengembangan kemampuan pribadi mereka. Konseling
kelompok berorientasi pada pengembangan individu, pencegahan dan pengatasan
masalah (Gazda,1984). Rochman Natawidjaya (1987:33-34) mengemukakan bahwa
konseling kelompok merupakan upaya bantuan kepada individu dalam suasana
kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, dan diarahkan kepada pemberian
kemudahan dalam rangka perkembanga dan pertumbuhannya. Masalah yang dibahas
dalam konseling kelompok, menurut Corey(1985:6) lebih berpusat pada masalah
pendidikan, pekerjaan, sosial dan pribadi. Sedangkan Gazda(1984), menyebutkan
konseling kelompok dapat digunakan untuk membantu individu dalam menyelesaikan
tugas-tugas perkembangan dalam tujuh bidang, yaitu psikososial, vokasional,
kognitif, fisik, seksual, moral, dan afektif.
Konseling kelompok lebih menekankan
pada pengembangan pribadi, yaitu membantu individu dengan cara mendorong
pencapaian tujuan perkembangan dan memfokuskan pada kebutuhan dan kegiatan
belajarnya. Kegiatan konseling kelompok merupakan hubungan antar pribadi yang
menekankan pada proses berpikir secara sadar, perasaan-perasaan, dan perilaku
anggota untuk meningkatkan kesadaran akan pertumbuhan dan perkembanagn individu
yang sehat. Konseling kelompok berorientasi pada perkembangan individu dan
usaha menemukan kekuatan-kekuatan yang bersumber pada diri individu itu sendiri
dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Melalui konseling kelompok individu
mencapai tujuannya dan berhubungan dengan individu lain dengan cara produktif
dan inovatif(Mc Clure,1990).
Kegiatan konseling kelompok mendorong
terjadinya interaksi yang dinamis. Suasana konseling kelompok menimbulkan
hubungan yang hangat , akrab, terbuka dan bergairah yang memungkinkan antar
anggota saling memberi dan menerima. Melalui konseling kelompok, individu akan
mampu meningkatkan kemampuan mengembangkan pribadi, mengatasi masalah-masalah pribadi,
terampil dalam mengambil alternatif dalam memecahkan masalah, serta memberi
kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu untuk melakukan tindakan
yang selaras dengan kemampunannya.
Tujuan konseling kelompok, adalah
sebagai berikut :
(a) pemahaman tentang diri sendiri
yang mendorong penerimaan dan perasaan
diri berharga,
(b) hubungan sosial, khususnya
hubungan antar pribadi serta menjadi efektif untuk situasi-situasi social
(c) pengambilan keputusan dan
pengarahan diri,
(d) sensivitas terhadap kebutuhan
orang lain dan empati,
(e)perumusan komitmen
dan upaya mewujudkannya (Mahler,1969;Dinkmeyer&Munro,1971).
Suasana kelompok yang dipersyaratkan dalam konseling
kelompok adalah (a) dinamika interaksi sosial,(b) suasana keterikatan
emosional,(c) penerimaan,(d) intelektual,(e) altruistik,(f) katarsis, dan (g)
empati (Cartwright&Zender dalam
Shertzer&Stone,1980;Dinkmeyer&Munro,1971;
Shaffer,1988;Brammer&Shostrom,1982).
B. Konseling Kelompok sebagai
Profesi
Konseling kelompok
sebagai ilmu dan profesi bantuan( helping profession) diabdikan bagi
peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara memfasilitasi perkembangan perkembangan individu aau kelompok individu
sesuai kekuatan, kemampuan potensial dan aktual serta peluang-peluang yang
dimilikinya, dan membantu menggatasi kelemahan dan hambatan serta kendala yang
dihadapi dalam perkembangan dirinya.
Profesi konseling kelompok merupakan
keahlian pelayanan pengembangan pribadi dan pemecahan masalah yang mementingkan
pemenuhan kebutuhan dan kebahagiaan pengguna sesuai dengan martabat, nilai,
potensi, dan keunikan individu berdasarkan kajian dan penerapan ilmu dan
teknologi dengan acuan dasar ilmu pendidikan dan psikologi yang dikemas dalam
kaji-terapan konseling yang diwarnai oleh budaya pihak-pihak yang terkait.
Paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam bingkai budaya.
Profesi konseling merupakan pekerjaan
atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan
yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Masyarakat percaya bahwa pelayanan yang diperlukan hanya dapat diperoleh dari
seorang konselor yang kompeten unuk memberikan pelayanan konseling.Public trust
akan melanggengkan profesi konseling, karena dalam public trust terkandung
keyakinan publik bahwa profesi dan para anggotanya berada dalam kondisi (a)
memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan
khusus dalam standar kecakapan yang tinggi; (b) memiliki perangkat ketentuan yang
mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik;(c) anggota
profesi dimotivasi untuk melayani pengguna dan pihak-pihak terkait dengan cara
terbaik, dan memiliki komitmen untuk tidak mengutamakan kepentiongan pribadi
dan finansial.
Profesi konseling merupakan profesi
yang bermartabat, maka perlu didukung oleh (a) pelayanan yang tepat dan
bermartabat,(b) pelaksanan yang bermandat, dan (c) pengakuan yang sehat dari
berbagai pihak yang terkait. Profesi konseling tidak hanya dipelajari sebagai
seperangkat teknik, melainkan sebagai kerangka berpikir dan bertindak yang
bernuansa kemanusiaan dan keindividuan. Konseling memiliki peran membantu
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan belajar baru dan memberdayakan mereka
memperoleh keseimbangan hidup, belajar dan bekerja ( Mungin Eddy
Wibowo,2002:14).
Pendekatan konseling bergeser dari
supply-side ke demand-side dengan melakukan
upaya proaktif kepada masyarakat yang menjadi target pelayanan,
menggunakan berbagai sumber dan teknologi informasi untuk memperkaya peran
profesional, mengembangkan manajemen informasi dan jaringan kerja konselor,
serta memanfaatkan berbagai jalur dan setting baik formal maupun nonformal.
Visi profesi konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang
membahagiakan melalui tersedianya pelayanann bantuan dalam pemberian dukungan
perkembangan dan pengentasan masalah agar individu berkembang secara optimal,
mandiri dan bahagia. Sejalan dengan visi tersebut, maka misi konseling
difokuskan kepada: (a) misi pendidikan, yaitu mendidik peserta didik dan warga
masyarakat melalui pengembangan perilaku
efektif-normatif dalam kehidupan keseharian,(b) misi pengembangan, yaitu
memfasilitasi perkembangan individu di dalam satuan pendidikan formal dan
nonformal, keluarga, instansi, dunia kerja dan industri, serta kelembagaan
masyarakat lainya,(c) misi pengentasan masalah, yaitu membantu dan
memfasilitasi pengentasan masalah individu mengacu kepada kehidupan sehari-hari
yang efektif.
C Bimbingan Kelompok,
Konseling Kelompok dan Konseling Individual.
Meskipun isi dari konseling kelompok menyerupai
bimbingan kelompok,namun ada beberapa faktor yang benar-benar berbeda., yaitu :
Pertama, bimbingan kelompok diberikan kepada semua individuuntuk membahas
masalah atau topik umum secara luas dan mendalam yang bermanfaat bagi anggota
kelompok, sedangkan konsling kelompok membahas dan memecahkan masalah pribadi
yang dialami anggota kelompok.
Kedua, bimbingan kelompok menggunakan upaya tidak langsung dalam mengubah
sikap dan perilaku klien melalui penyajian informasi yang teliti, sedangkan
konseling kelompok menggunakan upaya langsung
untuk mengubah sikap dan
perilaku dengan menekankan keterlibatan
menyeluruh individu yang bersangkutan.
Ketiga, bimbingan kelompok
beranggotakan jumlah besar antara 15 – 30 siswa, sedang konseling
kelompok keanggotaannya tergantung kadar kekuatan kebersamaan serta kesediaan
setiap anggota kelompok untuk saling memperdulikan terhadap anggota yang lain.
Keempat, Bimbingan kelompok lebih bersifat instruksional, sedangkan konseling
kelompok bercirikan komunikasi antar pribadi anggota kelompok serta menggali
lebih dalam budi dan hati masing-masing
anggota kelompok.
Kelima, bimbingan kelompok
ditujukan untuk memberikan informasi seluas-luasnya dan lebih bersifat
pencegahan, sedangkan konseling kelompok sebagai upaya bantuan kepada individu
dalam rangka memberi kemudahan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, selain
bersifat pencegahan, konseling kelompok bersifat penyembuhan.
Keenam, Isi pembicaraan bimbingan kelompok bersifat umum dan tidak rahasia,
sedangkan dalam konseling kelompok bersifat pribadi dan rahasia.
Ketujuh, suasana interaksi dalam bimbingan kelompok multi arah, mendalam
dengan melibatkan aspek kognitif, sedang
dalam konseling kelompok multi arah, mendalam dan tuntas dengan melibatkan
aspek kognitif, afektif dan aspek kepribadian lainnya.
C.G Kemp(1970), membandingkan antara konseling
individual dan kelompok, yaitu konseling kelompok memiliki potensi untuk
perubahan yang terapeutis :
1.
Dalam konseling kelompok individu-individu
dapat mencobakan sikap-sikap dan idea.
2.
Penerimaan dan
pengalaman-pengalaman dari perubahan sikap dicobakan tersebut memperkuat
motivasi untuk mengadakan perubahan-perubahan pada dirinya.
3.
Pengalaman kelompok
meningkatkan ketrampilan berkomunikasi dengan orang lain, di mana akan
berkembang hubungan antar pribadi yang secara genuine.
4.
Memperkembangkan keberanian
untuk mencoba memecahkan masalah-masalah pribadi dan konflik-konflik emosional.
5.
Penerimaan dan pengertian dari
teman-teman dalam kelompok menghasilkan rasa aman dan rasa bersatu yang akan
mendukung proses introspeksi dan ekspresi perasaan-perasaan yang mendalam.
Gazda(1984) membedakan antara konseling kelompok dan
konseling individual,yaitu
1.
Hubungan
antara pribadi dalam konseling. Dalam konseling kelompok hubungan terjadi antar
klin dengan konselor, dan antar sesama klien. Sedangkan dalam konseling
individual hubungan antara pribadi antara klien dan konselor saja.
2.
Tanggung
jawab klien. Dalam konseling kelompok, selain klien bertanggung jawab atas
tingkah lakunya sendiri, juga bertanggung jawab untuk membantu sesama klien. Mereka tidak tergantung pada konselor. Sedang dalam konseling
individual klien lebih banyak tergantung pada konselor.
3. Pusat perhatian. Klien dalam konseling kelompok lebih memusatkan
perhatian pada hal-hal yang terjadi dalam kelompok. Sedang dalam konseling
individual lebih terpusat pada hal-hal yang terjadi pada “there and then”
4. Reality testing. Dalam konseling kelompok memberi kesempatan klien
untuk mengadakan reality testing terhadap masalah maupun perubahan tingkah laku
yang ingin dicobanya. Sedangkan
pada konseling individual kemungkinan untuk mengadakan reality testing hanya
terbatas pada konselor.
5. Insight. Dengan kemungkinan mengadakan
reality testing dalam konseling kelompok, maka perubahan tingkah laku sering
tanpa disertai “insight”. Sedang pada konseling individual diperlukan insight
sebelum mengadakan perubahan tingkah laku dalam situasi yang nyata.
6.
Suasana
dalam situasi konseling kelompok. Adanya suasana permissiveness, acceptance,
support dan tekanan dari kelompok sering mempermudah klien mendiskusikan
masalah yang dirasakan sukar baginya.
7.
Jumlah
klien yang dapat dibantu. Konseling kelompok
memungkinkan konselor membantu lebih banyak klien dibandingkan dengan jumlah
klien dalam konseling individual.
Kondisi-kondisi yang sesuai untuk pelaksanaan konseling
kelompok,sebagai berikut:
1.
Individu yang ingin belajar
memahami berbagai jenis orang dengan baik dan bagaimana orang tersebut menerima
segala sesuatu.
2.
Individu yang ingin mempelajari
penghargaan yang lebih dalam untuk orang lain, khususnya yang mereka anggap
berbeda.
3.
Individu yang ingin mendapatkan
ketrampilan sosial.
4.
Individu yang ingin berbagi
dengan orang lain atau ingin diakui keberadaannya.
5.
Individu yang ingin bisa
berbicara tentang kebutuhan, masalah dan nilai-nilainya.
6. Individu yang memerlukan reaksi orang lain terhadap kebutuhan,
masalah dan kepentingannya.
7. Individu yang ingin mendapatkan dukungan
dari teman sebayanya.
8. Individu yang ingin melibatkan dirinya sendiri
dalam konseling dan bisa menarik diri jika ia merasa terancam.
D.
Kekuatan dan Keterbatasan Konseling Kelompok
1.
Kekuatan-kekuatan konseling kelompok
Pertama, adalah kepraktisan. Dalam waktu relatif singkat konselor
berhadapan dengan sejumlah siswa di dalam kelompok dalam upaya membantu
memenuhi kebutuhan yang berkaitan dengan pencegahan, pengembangan pribadi dan
pengentasan masalah.
Kedua, didalam konseling kelompok anggota akan belajar untuk berlatih
tentang perilaku yang baru. Konseling kelompok merupakan mikrokosmik sosial.
Ketiga, dalam konseling kelompok terdapat kesempatan luas untuk
berkomunikasi dengan teman-teman mengenai segala kebutuhan yang terfokus pada
pengembanagn pribadi, pencegahan, dan pengentasan masalah yang dialami anggota.
Keempat, konseling kelompok memberi kesempatan anggota untuk mempelajari
ketrampilan sosial.
Kelima, anggota kelompok mempunyai kesempatan untuk saling memberi dan menerima bantuan
serta berempati dengan tulus di dalam konseling kelompok.
Keenam,motivasi manusia muncul dari hubungan kelompok kecil.
Ketujuh, setiap usaha untuk mengubah perilaku manusia di luar lingkungan
alam di mana individu bekerja dan hidup sangat tergantung pada efektifitas
tingkat transfer pelatihan.
Kedelapan, konseling kelompok mempunyai manfaat
besar untuk bertindak sebagai miniatur situasi sosial, atau laboratorium
yang mana individu tidak hanya mempelajari perilaku baru tetapi bisa mencoba,
mempraktekkakn dan menguasai perilaku ini dalam satu situasi yang hampir sama
dengan lingkungan yang sebenarnya individu berasal.
Kesembilan, melalui konseling kelompok individu-individu mencapai tujuannya
dan berhubungan dengan individu-individu lain dengan cara yang produktif dan
inovatif ( Mc Clure,1990).
Kesepuluh, konseling kelompok lebih sesuai bagi siswa yang membutuhkan untuk
belajar lebih memahami orang lain dan lebih menghargai kepribadian orang lain.
Kesebelas, dalam konseling kelompok interaksi antar individu anggota kelompok
merupakan suatu yang khas, yang tidak mungkin ditemukan dalam konseling
individual.
Keduabelas, koseling kelompok dapat merupakan wilayah penjajagan awal bagi
anggota kelompok untuk memasuki konseling individual.
Menurut Jacobs,Harvill&Masson (1994), bahwa ada dua
pertimbangan dalam penggunaan kelompok. Pertama untuk kepentingan efisiensi,
dan kedua, bahwa banyak sumber-sumber atau pendapat dapat diperoleh dalam
setting kelompok. Selain dua alasan tersebut, Jacobs dkk, juga mengemukakan
tujuh keuntungan yang dapat diperoleh dari konseling kelompok, yaitu (1)
perasaan membagi keadaan bersama,(2) pengalaman merasa memiliki,(3) kesempatan
untuk berpraktek dengan orang lain,(4) kesempatan untuk menerima berbagai umpan
nbalik,(5) belajar seolah-olah mengalami berdasarkan kepedulian orang lain,(6)
perkiraan untuk menghadapi kenyataan hidup, dan (7) dorongan teman guna
memelihara komitmen.
2. Keterbatasan konseling kelompok.
Pertama, tidak semua siswa cocok berada dalam kelompok, beberapa
diantaranya membutuhkan perhatian dan intervensi individual.
Kedua, tidak semua siswa siap atau bersedia untuk bersikap terbuka dan
jujur mengemukakan isi hatinya terhadap teman-temannya di dalam kelompok.
Ketiga, pesoalan pribadi satu-dua anggota kelompok mungkin kurang mendapat
perhatian dan tanggapan sebagaimana mestinya.
Keempat , sering siswa mengharapkan terlalu banyak dari kelompok, sehingga
tidak berusaha untuk berubah.
Kelima, sering kelompok bukan dijadikan sarana untuk berlatih melakukan
perubahan, tetapi justru dipakai sebagai tujuan.
Keenam, sringkali kelompok tidakberkembang dan dapat mengurangi arti kelompok sebagai sarana belajar, karena hanya
untuk kepentingan seorang belaka.
Ketujuh, peran konselor menjadi lebih menyebar dan kompleks, karena yang
dihadapi tidak hanya satu orang tetapi banyak orang.
Kedelapan, sulit untukdibina kepercayaan, untuk itu dibutuhkan norma dan
aturan main khusus mengenail konfidensialitas.
Kesembilan, untuk menjadi konselor kelompok dibutuhkan latihan yang intensif
dan khusus.
Selain keterbatasan tersebut bahwa
kelompok tidak selalu efektif untuk semua orang. Ada beberapa kondisi individu yang perlu
diperhatikan , sehingga kelompok tidak dirkomendasikan. Kondisi tersebut
adalah: (1) siswa dalam keadaan krisis,(2) siswa takut untuk berbicara di dalam
kelompok dan sangat membutuhkan perlindungan,(3) siswa sangat tidak efektif
dalam berhubungan dengan orang lain,
atau sama sekali tidak memiliki ketrampilan sosial, (4) siswa tidak menyadari
akan perasaan, motivasi dan perilakunya,(5) siswa terlalu banyak minta perhatian
dari orang lain sehingga mengganggu kelompok,(6) siswa diperkirakan sangat
mengganggu jalannya konsdeling karena keterbatasan ekspresi verbal,(7) siswa
sangat agresif, sehingga akan membuat orang lain merasa takut,(8) siswa
kurang memiliki keyakinan diri, harga
diri, dan memiliki konsep diri yang negatif.
E.
Persoalan Etis dan Profesional
Sebagai pekerjaan profesional, maka
cara kerjanya diatur dalam kode etik yang jelas. Kode etik adalah kode moral yang menjadi landasan
kerja bagi pekerja profesional. Etik merupakan standar tingkah laku standar
seseorang, atau kelompok orang, yang
didasarkan atas nilai-nilai yang disepakati. Setiap kelompok profesi merumuskan
standar tingkah lakunya yang dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas dan
kewajiban profesi.
Masalah-masalah
etis sering menjadi hal yang sulit bagi orang yang mempunyai profesi membantu
karena beberapa alasan. Pertama, praktek-praktek etis khusus atau kode etik
masih berkembang yang memberikan arahan
yang selayaknya terhadap perilaku etis dalam situasi-situasi yang sangat luas
yang dijumpai dalam hubungan-hubungan personal yang bersifat membantu. Kedua,
sebagian besar pekerja dalam profesi membantu tidak melakukan praktek
sendirian.
Etika
berasal dari kata Ethos yang berarti kebiasaan-kebiasaan atau tingkah laku
manusia. Etika ialah suatu cabang ilmu filsafat. Menurut Bertens(1996:6), etika
memiliki tiga arti : Pertama, etika
dalam arti nilai/norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua,
etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah
kode etik. Ketiga, etika dalam arti
ilmu tentang baik atau buruk. Konselor dalam melaksanakan tugas profesionalnya
perlu memperhatikan kode etik profesi. Kode etik, bagi konselor adalah (1)
memberikan pedoman etis/moral berperilaku waktu mengambil keputusan bertindak
menjalankan tugas profesi konseling;(2) memberikan perlindungan kepada
klien(individu pengguna);(3) mengatur tingkah laku pada waktu menjalankan tugas dan mengatur hubungan konselor dengan
klien, rekan sejawat dan tenaga-tenaga profesional yang lain, atasan, lembaga
tempat kerja (jika konselor sebagai pegawai), dan denghan masyarakat;(4)
memberikan dasar untuk melakukan penilaian atas kegiatan profesional yang
dilakukannya;(5) menjaga nama baik profesi terhadap masyarakat9public trust0
dengan mengusahakan standar mutu pelayanan dengan kecakapan tinggi dan
menghindari perilaku tidak layak atau tidak pantas/patut;(6) memberikan pedoman
berbuat bagi konselor jika menghadapi dilema etis;(7) menunjukkan kepada konselor
standar etika yang mencerminkan pengharapan masyarakat.
Kode etik
menjadi penting sebagai pedoman kerja
bagi konselor dalam menjalankan tugas profesinya. Pelanggaran terhadap
norma-norma tersebut akan mendapatkan sanksi. Tujuan ditegakkannya kode etik profesi
adalah untukLa) menjunjung tinggi martabat profesi,(b)
melindungi pelanggaran dari perbuatan malapraktik,(c) meningkatkan mutu
profesi,(d) menjaga standar mutu dan status profesi, dan (e) menegakkan ikatan
antara tenaga profesi dan profesi yang disandang.
Corey(1985)
mengemukakan bahwa hak dan kewajiban yang perlu dijelaskan kepada anggota
kelompok adalah sebagai berikut.
Sebelum anggota kelompok memasuki kegiatan kelompok :
1. Pernyataan yang jelas tentang tujuan
kelompok,
2.
Deskripsi tentang bentuk
kelompok, prosedur dan peraturan-peraturan lainnya.
3.
Kecocokan proses kelompok
dengan kebutuhan peserta.
4.
Kesempatan mencarai informasi
tentang kelompok yang akan dimasukinya.
5. Pernyataan yang menjelaskan pendidikan,
latihan dan kualifikasi pemimpin kelompok.
6. Informasi mengenai biaya yang harus
ditanggung peserta, besar kelompok, banyak dan lama pertemuan, arah pertemuan
serta teknik yang digunakan.
7. Informasi tentang resiko psikologis dari
keikutsertaan dalam kegiatan kelompok ini.
8. Pengetahuan tentang keterbatasan
kerahasiaan dalam kelompok, yaitu pengetahuan tentang di mana kerahasiaan itu
harus dilanggar karena kepentingan bersama dan lasan hukum, etis dan
profesional.
9. Penjelasan tentang layanan yang dapat /
tidak dapat diberikan dlm kegiatan kelompok
10. Bantuan dari pemimpin kelompok dalam
mengembangkan tujuan-tujuan pribadi
anggota kelompok.
11. Pemahamann yang jelas mengenai pembagian
tanggung jawab antara pemimpin klompok dan anggota.
12. Diskusi mengenai hak dan kewajiban anggota
kelompok.
Selama
kegiatan kelompok, kepada anggota perlu dijelaskan hal-hal sebagai berikut
:
1. Instruksi mengenai apa yang diharapkan
anggota kelompok.
2. Kebebasan untuk meninggalkan kelompok
apabila kegiatan kelompok itu ternyata memenuhi harapan atau kebutuhan anggota
yang bersangkutan.
3. Pemberitahuan tentang adanya maksud
penelitian,perekaman dari kegiatan itu, bila memang ada.
4. Apabila ada perekaman, anggota kelompok
berhak menghentikan jika perekaman itu memang mengganggu keikutsertaan anggota
yang bersangkutan.
5. Bantuan dari pemimpin kelompok untuk
menterjemahkan hal-hal yang dipelajari dalam mkelompok itu menjadi
tindakan-tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
6. Kesempatan untuk mendiskusikan apa yang
telah dipelajari dalam kegiatan kelompok dan mengarahkan pembicaraan ke akhir
pertemuan, sehingga anggota kelompok tidak dibiarkan memperoleh pengalaman yang
tidak tuntas.
7. Konsultasi dengan pemimpin kelompok
apabila timbul krisis sebagai akibat dari keikutsertaan peserta dalam kegiatan
kelompok itu, atau rujukan kepada sumber lain, apabila pemimpin kelompok tidak
dapat memberikan bantuan yang diharapkan anggota kelompok tersebut.
8. Upaya jaminan pihak pemimpin kelompok
untuk mengurangi resiko psikologis yang timbul dari kegiatan kelompok.
9. Penghargaan terhadap keleluasaan pribadi
berkenaan dengan pemunculan diri peserta.
10. Kebebasan dari tekanan kelompok yang tidak
adil tentang keikutsertaan dalam latihan-latihan dalam kelompok, pembuatan
keputusan, pengungkapan hal-hal yang bersifat pribadi, atau penerimaan saran
dari anggota lain.
11. Ketaatan pemimpin kelompok dan anggota
lain terhadap kerahasiaan.
12. Kebebasan dari pemaksaan mengenai nilai
tertentu dari pihak pemimpin kelompok atau anggota lainnya.
13. Kesempatan untuk memanfaatkan sumber yang
ada dalam kelompok untuk kepentingan pertumbuhan peserta.
14.
Hak untuk diperlakukan sebagai
individu.
Tanggung jawab
anggota kelompok dalam kegiatan dan proses konseling kelompok, meliputi :
menghadiri pertemuan secara teratur, menepati waktu, mengambil resiko sebagai
akibat dari proses kelompok, bersedia berbicara mengenai diri sendiri,
memberikan balikan kepada anggota kelompok lain, memelihara kerahasiaan, dan
meminta apa yang dibutuhkan.
Kerahasiaan
merupakan asas kunci dalam usaha konseling kelompok.Jika asas ini benar-benar
dilaksanakan, maka konselor dan anggota dalam konseling kelompok akan mendapat
kepercayaan dari semua pihak. Kepercayaan anggota kepada konselor dan anggota
kelompok yang lain hendaklah dihargai serta memperhatikan hal-hal berikut: (1)
Anggota kelompok hendaknya dapat mengetahui bagaimana keduidukannya dalam
hubungannya dengan kerahasiaan itu; (2) Suasana akan dijaminnya kerahasiaan
adalah lebih penting daripada jaminan yang diberikan secara lesan;(3) Andaikata
klien sebagai anggota kelompok menghendaki agar keterangan tertentu
dirahasiakan, maka konselor dan nanggota kelompok konseling yang lain
menghargai permintaan itu sebaik-baiknya;(4) Andaikata kerahasiaan suatu
keterangan tidak lagi dapat dijamin yang disebabkan karena adanya tuntutan
hukum atau karena pertimbanagn lain yang mungkin dapat membahayakan klien, maka
klien harus diberi tahu sesegera mungkin;(5) Andaikata dalam usaha membantu
klien dalam mengatasi masalahnya melalui konseling kelompok, diperlukan
konsultasi dengan orang tua atau alih tangan kepoada pihak lain, maka klien
hendaklah diminta ijinnya terlebih dahulu;(6)Bila kerahasiaan itu merupakan
bagian daripada kode etik profesional, maka kerahasiaan itu hendaklah dihargai
secara wajar.
Kegiatan konseling
kelompok merupakan kegiatan dari sejumlah individu yang memiliki kepentingan,
kepribadian, kebiasaan dan minat yang berbeda-beda. Maka ketika kegiatan
konseling kelompok berlangsung dan telah berkembang, akan muncul hal-hal yang
tidak diinginkan yang merupakan resiko psikologis dari kegiatan konseling
kelompok itu. Rochman Natawidjaya(1987:46-47), menyatakan bahwa hal-hal
pokok yang harus diperingatkan secara
khusus oleh konselor kepada para anggota konseling kelompok agar anggota
waspada akan resiko psikologis sebagai berikut :(a) Peserta harus disadarkan
akan kemungkinan bahwa keikutsertaan dalam kelompok dapat mengganggu ketenangan
hidupnya;(b) Kelompok sebagai keseluruhan mungkin menekan individu anggota
kelompok itu;(c) berbagai desakan kelompok, sampai batas tertentu dapat
melanggar kebebasan individu untuk memilih tindakannya sendiri;(d)
Sewaktu-waktu seorang individu anggota kelompok dijadikan kambinghitam dalam
kelompok itu;(e)Konfrontasi, yang sesungguhnya merupakan alat yang kuat dan
sangat berfaedah dalam konseling kelompok, dapat disalahgunakan, terutama
apabila hal itu digunakan untuk menyerang orang lain secara destruktif;(f)
Pemimpin kelompok harus waspada akan pelanggaran terhadapo kerahasiaan
kelompok; dan(g) Luka fisik sangat mungkin terjadi dalam kegiatan kelompok yang
menggunakan permainan fisik sebagai alat untuk memancing spontanitas dan
katarsis.
Menyadari bahwa
resiko psikologis dalam kegiatan konseling kelompok itu tidak mungkin dihindari
sepenuhnya, namun demikian konselor harus berusaha menguranginya sampai batas
yang paling kecil, maka konselor dapat menempuh dengan cara membuat kontrak
antara konselor dan anggota kelompok.
BAB
III
DINAMIKA
KELOMPOK
A. Pengertian dinamika
Kelompok.
Dinamika kelompok menunjukkan
seperangkat konsep yang dapat dipergunakan untuk menggambarkan proses
kelompok.Dinamika kelompok bersifat deskriptif, yang berarti tidak ada dinamika kelompok yang “ baik” atau yang”
buruk”.Dinamika kelompok merupakan pengetahuan yang mempelajari gerak atau
tenaga yang menyebabkan gerak itu sendiri. Dinamika kelompok adalah pengetahuan yang mempelajari
masalah-masalah kelompok.Jadi dinamika kelompok mencoba menerangkan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam kelompok dan mencoba menem,ukan serta mempelajari keadaan
dan gaya yang dapat mempengaruhi kehidupan kelompok.
Menurut A.A Goldberg dan Carl
E.Larson(1985), dinamika kelompok merupakan suatu studi terhadap berbagai aspek
tingkah laku. Floyd D.Ruch mendiskripsikan dinamika kelompok adalah analisis
dari relasi-relasi kelompok sosial, yang berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku
dalam kelompok itu adalah hasil interaksi yang dinamis antara individu dan
situasi sosial. Jenkins(1961), mendefinisikan
dinamika kelompok sebagai kekuatan
di dalam kelompok yang menentukan
perilaku kelompok dan anggotanya agar tercapai tujuan kelompok.
Cartwright&Zender (1967:7), mendiskripsikan dinamika kelompok sebagai suatu
bidang terapan yang dimaksudkan untuk
peningkatan pengetahuan tentang sifat atau ciri kelompok, hukum perkembangan ,
interelasi dengan anggota, dengan kelompok lain, dan lembaga-lembaga yang lebih
besar. Jacobs,Jarvill&Masson, menyatakan bahwa dinamika kelompok mengacu kepada sikap dan interaksi pemimpin
dan anggota-anggota kelompok. Gladding (1995), menggambarkan dinamika
kelompok sebagai kekuatan dalam kelompok yang mungkin menguntungkan atau
merugikan. Dinamika kelompok mengarahkan
sinergi dari semua faktor yangbada dalam suatu kelompok.Dinamika kelompok
merupakan jiwa yang menghidupkan dan menghidupi suatu kelompok(
(Prayitno,1995:23).
Dinamika kelompok mengarahkan anggota
kelompok untuk melakukan hubungan interpersonal satu sama lain. Jalinan
hubungan interpersonal merupakan wahana bagi para anggota untuk saling berbagi
pengetahuan, pengalaman, dan bahkan perasaan satu sama lain sehingga
memungkinkan terjadinya proses belajar di dalam suatu kelompok yang kohesif.
Kelompok kohesif adalah kelompok yang stabil, produktif mengerjakan tugas atau
tujuan yang diharapkan, dan bersifat menarik bagi para angotanya. Lakin (1976,
dalam Gazda,1984:56) mendiskripsikan kelompok kohesif sebagai ekspresi kolektif
dari pemilikan pribadi.Kekohesifan kelompok memperlihatkan sebagai berikut (1)
mengikat anggota secara emosional pada tugas-tugas satu sama lain,(2)
memastikan stabilitas yang tinggi dari anggota bahkan dalam menghadapi keadaan
yang mengecewakan, dan (3) mengembangkan sebuah batasan pembagian dari
referensi antar anggota kelompok.
B. Faktor-Faktor Kuratif
dalam Konseling Kelompok
Menurut Yalom(1985), ada sebelas
kategori utama faktor kuratif dalam konseling , yaitu pembinaan harapan,
universalitas, pemberian informasi, altruisme, pengulangan korektif keluarga
asal, pengembangan teknik sosialisasi, peniruan tingkah laku, belajar
berhubungan dengan pribadi lain, rasa kebersamaan, katarsis, dan eksistensial.
Selain kesebelas faktor tersebut, Butler dan Fuhrman(1983) menambahkan satu
faktor yaitu penerimaan diri. Kedua peneliti menemukan ada empat faktor yang
secara konsisten muncul dalam setiap konseling kelompok, yaitu pemahaman diri,
katarsis, belajar berhubungan dengan pribadi lain dan kohesivitas.
1.
Pembinaan Harapan
Pembinaan dan pemeliharaan harapan adalah sangat
penting. Seseorang dengan harapan tinggi bahwa ia akan memperoleh pertolongan
selama dalam konseling mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan
hasilnya. Makin tinggi taraf harapan dan kepercayaan klien terhadap
keberhasilan konseling, maka akan tinggi pula taraf perubahannya.
2.
Universalitas
Klien yang datang ke konseling kelompok dengan pikiran bahwa masalah yang dihadapinya adalah unik yang hanya diderita olehnya.
Setelah mendengar bahwa anggota lain dan ternyata memiliki masalah, pikiran,
fantasi dan impuls senada, klien merasa ia tidak sendiri dalam pendritaannya.
Kesamaan dalam masalah berikut kekhawatiran yang timbul dan penuh penerimaan
dari seluruh anggota yang disertai kelegaan emosional disebut universalitas.
Perasaan senasib meningkatkan rasa bersatu di dalam kelompok dan meningkatkan
kepercayaan terhadap kelompok.
3.
Pemberian Informasi
Di dalam tiap kelompok, pemberian informasi bersifat
didaktis yang dapat dilakukan oleh profesional maupun anggota. Informasi itu
dapat berupa cara belajar, cara menumbuhkan kepercayaan diri, topik kesehatan
mental, penyakit mental, psikodinamika umum. Nasihat, saran ataupun bimbingan
mengenai masalah kehidupan dapat diberikan oleh profesional atau anggota
kelompok lain.
4. Altruisme
Konseling kelompok merupakan tempat untuk melatih klien
menerima dan memberi. Di dalam konseling kelompok ia akan menemukan bahwa ia
dapat berperan penting untuk orang lain. Hal ini dapat meningkatkan harga
dirinya. Dalam proses konseling kelompok antar anggota kelompok akan saling
menolong. Mereka menawarkan dukungan, memberikan keyakinan, saran, insight, dan
saling membagi satu sama lain masalah serupa.
5. Pengulangan Korektif Keluarga Awal.
Konseling kelompok dalam banyak hal hampir sama dengan
susunan keluarga asal merupakan kesempatan bagi anggota untuk mengulang
konflik-konflik yang dialami ketika kecil secara singkat. Akan tetapi
pengalaman ini akan berbeda oleh karena sikap profesional dan anggota lain
tidak sama dengan keluarganya dulu. Ini memberi kesempatan klien mencoba
tingkah lakunya yang baru dalam
hubunganya dengan orang lain.
Jacobs,Harvill&Masson(1994:36), mengemukakan 16
faktor yang perlu diperhatikan dalam dinamika kelompok, yaitu (1) kejelasan
tujuan baik bagi anggota maupun pemimpin kelompok, (2) relevansi tujuan bagi
anggota kelompok, (3) ukuran kelompok, (4) lamanya waktu setiap sesi, (5)
frekuensi pertemuan, (6) tempat yang memadai, (7) ketepatan waktu pertemuan,
(8) sikap pemimpin kelompok, (9)
kelompok terbuka dan tertutup,(10) keanggotaan sukarela atau terpaksa,
(11) tingkat goodwill anggota kelompok, (12)
tingkat komitmen anggota kelompok, (13) tingkat kepercayaan
kelompok,(14) sikap anggota kelompok
terhadap pemimpin, (15) sikap pemimpin kelompok terhadap anggota, dan
pengalaman pemimpin kelompok dan kesiapan untuk berhubungan dengan kelompok.
Dinamika kelompok benar-benar akan terwujud dengan baik,
yaitu benar-benar hidup mengarah pada tujuan, dan membuahkan manfaat bagi
anggota, sangat ditentukan juga peranan anggota kelompok. Peranan yang dimaksud
adalah meliputi (a) membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar
anggota kelompok; (b) mencurahkan segenap perasaan dalam kegiatan kelompok; (c)
berusaha agar yang dilakukannya membantu tercapainya tujuan bersama;(d)
membantu tersusunnya aturan kelompok dan berusaha mematuhinya dengan baik; (e)
benar-benar berusaha secara aktif ikut serta dalam seluruh kegiatan
kelompok;(f) mampu berkomunikasi secara terbuka, (g) berusaha membantu anggota
lain;(h) memberi kesempatan anggota lain untuk menjalankan peranannya;(i) menyadari
pentingnya kegiatan kelompok.
Peranan pemimpin kelompok penting dalam
mempersiapkan anggota kelompok untuk
dapat memerankan hal-hal tersebut diatas. Pemimpin kelompok memiliki peran
memberitahukan kepada anggota kelompok pada awal kegiatan kelompok, yaitu : (a)
tentang apa saja yang diharapkan dari para anggota, suasana khusus yang dapat
terjadi dalam kelompok itu; (b) bahwa keikutsertaan dalam kelompok itu adalah
serba sukarela; (c) bahwa anggota kelompok bebas menanggapi hal-hal y6ang
disampaikan atau menolak saran dari anggota lain; (d) bahwa hasil kegiatan
kelompok tidak mengikat para anggota kelompok itu dalam kehidupan mereka di
luar kelompok;(e) bahwa segala yang terjadi dan menjadi isi dari kegiatan
kelompok itu sifatnya rahasia.
Tampilan interaksi pada suatu hubungan sosial, perilaku
non verbal menampilkan lebih 50% pesan
yang dikomunikasikan. Menurut Vander Kolk, ada empat kategori perilaku non
verbal, yaitu sikap tubuh, interaksi dengan lingkungan, berbicara dan
penampilan fisik. Sedang Walter (1978) mengidentifikasi variasi emosi yang
sering ditampilkan sebagai ekspresi perilaku non verbal yaitu keputusasaan,
kegembiraan, ketakutan/kecemasan, permusuhan, pasif, ketergantungan, perlawanan
untuk belajar. Setiap ekspresi dapat diidentifikasi dari kondisi dalam gerakan
kepala, mimik muka, posisi mulut, kontak mata, gerakan tangan dan postur tubuh.
Perilaku komunikasi non verbal menggunakan waktu, tubuh,
media vokal dan lingkungan. Komunikasi non verbal digunakan untuk tujuan
mengekspresikan emosi, memberikan ilustrasi, mengubah atau memperkaya
kata-kata, mengatur partisipan, menipu, menampilkan bentuk perasaan serta memberikan umpan balik suatu hubungan
Perilaku verbal penting dalam dinamika kelompok, karena
menggambarkan perilaku setiap anggota kelompok berbicara. Apa yang dipikirkan,
dirasakan dan dilakukan. Cara anggota kelompok berkomunikasi verbal menunjukkan
kematangan dalam berpikir, mengelola emosi, bertindak dan bersosialisasi.
Perbedaan perilaku verbal dan non verbal
merupakan indikator adanya ambivalensi atau kebingungan dalam anggota
kelompok.
Kelompok yang baik ialah apabila kelompok diwarnai
semangat yang tinggi, kerjasama yang
lancar dan mantap, komunikasi timbal balik baik, serta saling mempercayai antar
anggota kelompok. Ini akan terwujud apabila anggota saling bersikap sebagai
kawan, mengerti dan menerima secara positif tujuan bersama, dengan kuat
merasa setia kepada kelompok, serta mau
bekerja keras atau bahkan berkorban untuk kelompok. Suasana kelompok yang
terjadi dalam konseling kelompok diharapkan dapat merupakan dukungan bagi
pengembangan pribadi masing-masing anggota kelompok. Melalui dinamika kelompok setiap anggota
kelompok diharapkan akan mampu tegak sebagai individu yang sedang mengembangkan
kediriannya dalam hubungannya dengan orang lain.
C. Aplikasi Dinamika Kelompok
Dalam Konseling Kelompok Perkembangan
Stockon &Marron,(1982:70-71)
dalam survei kepemimpinan kelompok menemukan tipe kepemimpinan yang efektif,
yaitu (a) moderat secara keseluruhan stimulasi emosional,(b) kepedulian yang
sangat besar,(c) memiliki arti pemakaian, dan (d) moderat dalam menggambarkan
fungsi eksekutif. Pemimpin yang efektif ditemukan untuk mendorong keduanya
tetap hangat, hubungan yang sportif dan sebuah stimulasi emosional tingkat
tinggi.
Pemimpin yang tidak efektif
digambarkan sebagai agresif, otoriter, dan memperlihatkan kepedulian yang
rendah pada anggota kelompok, penutupan diri yang tinggi, lebih dari sekedar
egosentris.
Truax dan Carkhuff (1967:1),
menggambarkan seorang konselor efektif yang terintegrasi, tidak defensif, dan
otentik atau asli dalam kegiatan konseling atau terapeutik. Dalam studi model
kepemimpinan yang diterapkan pada kelompok terapi,Gruen(1977) menyimpulkan (a)
ketika pemimpin mengantisipasi dengan benar tema-tema kelompok, ada sebuah
pergerakan yang dapat dilihat, dan dengan sabar memberikan pandangan satu sama
lain; (b) ketika para pemimpin membuka secara keseluruhan moderat pada kontrol proses, perkembangan kelompok
melalui pemecahan masalah dapat diterima; dan (c) ketika interpretasi pemimpin
dapat menjangkau secara luas atau membuat hubungan yang sangat kuat daloam
sebuah kesempatan yang diberikan, perkembangannya dapat diterima, interpretasi
dari pasienpun meningkat, dan kelompok memperlihatkan kebersamaan semangat yang
tinggi ( Stockon &Marron,1982:71). Hasil dari penelitian disimpulkan, bahwa
pertama, pemimpin harus memiliki
kualitas peduli dan ekspresi diri yang diterapkan pertama kali oleh pemimpin
kelompok. Kedua, pemimpin haruslah
efektif atau kompeten. Ketiga, pemimpin harus mampu menempatkan rasa percaya
diri untuk model perilaku anggota. Keempat,
pemimpin harus tetap konsisten dengan model dan pola mereka pada intervensi
dalam konseling kelompok. Kelima,
perbedaan kepemimpinan di dalam wilayah-wilayah tertentu mungkin membuktikan
kepentingan yang lebih lanjut.
Lakin (1976) menyatakan delapan proses inti kelompok, sebagai berikut :
Pertama. Menetapkan dan mempertahankan
kekohesifan.
Kekohesifan diperlihatkan dengan (1) melibatkan anggota
secara emosional kepada tugas-tugas yang biasa sebagaimana satu sama lain,(2)
memastikan stabilitas yang sangat kuat pada kelompok, dan (3) mengembangkan
sebuah batasan pembagian referensi antara anggota kelompok yang menimbulkan toleransi
lebih untuk tujuan anggota yang berbeda jelas.Kelompok yang kohesif adalah
kelompok yang stabil dan produktif yang tujuan dan tugas-tugasnya telah pasti.
Kedua, Menempatkan
kenyamanan dengan norma-norma kelompok.
Konsep penyusunan
norma memiliki relevansi khusus
dan ekuivalen dengan apa yang
diharapkan/diterima dalam kelompok. Norma tersebut mungkin eksplisit atau implisit. Idealnya menyusun norma
kelompok harus melihat kelompok itu sendiri, penerimaan norma berdasar
konsensus kelompok dan tidak dipaksakan
oleh pemimpin, terutama pada tahap awal, memberi kesempatan anggota untuk
dilibatkan pada perkembangan norma, masing-masing harus merasakan komitmen pada
norma tersebut.
Ketiga, Validasi
konseptual dari persepsi pribadi dan penggunaan umpan balik.
Lakin&Carson(1966) berpendapat bahwa banyak orang
mengalami kesulitan dalam hidup karena mereka menderita dari pandangan yang
tidak valid pada diri mereka sendiri.
Jacobs, menyarankan tiga metode umpan balik, yaitu: (1)
informasi yang ada pada perkembangan yang diharapkan tindakan yang positif dan
dihubungkan dengan akibat positif, (2) meningkatkan kredibilitas umpan balik
dengan menekankan pada pengirimnya, dan (3) mempergunakan bagian positif atau
negatif secara umum lebih efektif.
Keempat, Ekspresi dari kesiapan emosional.
Kelompok konseling, membangun emosional yang ekspresif pada peserta. Giges
&Rosenfeld (1976) memperlihatkan bahwa ekspresi perasaan dalam sebuah
kelompok melibatkan keadaan berikut: kesadaran, keputusan, tindakan, kesadaran,
keputusan, reaksi. Secara umum ekspresi yang penuh memberikan secara khusus
kebutuhan pada ekspresi diri seseorang.
Kelima, Persepsi
kelompok yang berkaitan dengan masalah dan masukan untuk pemecahan masalah.
Kualitas yang unik pada kelompok konseling yaitu merupakan
bagian terkecil dari masyarakat. Keputusan kelompok seringkali lebih baik
daripada keputusan perseorangan, jika kelompok dilibatkan dalam pemecahan
masalah, keputusan nampak lebih efektif daripada yang dicapai dengan yang
diberikan/diserahkan oleh seorang
anggota atau bahkan pemimpin kelompok.
Keenam, Ekspresi
Pengaruh Kekuatan
Kesempatan bagi peserta untuk muncul dalam aturan
kepemimpinan ada dalam kelompok
konseling. Karena ada perbedaan pada masalah
personal dan interpersonal dalam kelompok, kebutuhan untuk keragaman
kebutuhan akan menyebabkan anggota kelompok memiliki kesempatan untuk
mempelajari pengaruh mereka pada lain waktu.
BAB IV
PROSES KONSELING KELOMPOK
Corey (1985:64-65) mengelompokkan tahapan proses
konseling kelompok menjadi empat tahap, yaitu tahap orientasi, tahap transisi,
tahap kerja, dan tahap konsolidasi. Jacobs,Harvill&Masson(1994:44),
mengelompokkan tahapan proses konseling kelompok menjadi tiga tahap, yaitu :
tahap permulaan, tahap pertengahan atau tahap kerja dan tahap pengakhiran atau
tahap penutupan. Gibson&Mitchel(1995:198-204) mengklasifikasikan proses
konseling kelompok ke dalam lima tahap, yakni tahap pembentukan, tahap
identifikasi, tahap produktifitas,tahap realisasi dan tahap terminasi.
Sedangkan Gladding mengklasifikasikan proses konseling kelompok menjadi empat
tahap, yaitu tahap permulaan kelompok, tahap transisi dalam kelompok, tahap
bekerja dalam kelompok, dan tahap terminasi kelompok.
A. Tahap
Permulaan ( Beginning Stage )
Pada pertemuan awal penting bagi konselor untuk
membentuk kelompok dan menjelaskan
tujuan konseling kelompok dengan istilah yang mudah dipahami siswa dalam kelompok. Kormanski &Mozenter
(1987, dalam Gladding,1995:80), menyatakan bahwa kelompok dapat berkembang dari
kesadaran lalu berlanjut pada pertentangan, kerjasama, produktifitas dan
berakhir perpisahan.
Dalam mempersiapkan anggota memasuki kelompok
Corey(1985,dalam Rochman N,1987), mengemukakan hal-hal penting yang perlu
dibahas konselor bersama calon anggota,
yaitu : (1) pernyataan yang jelas tentang tujuan kelompok,(2) deskripsi tentang
bentuk kelompok, prosedur dan peraturan mainnya,(3) kecocokan proses kelompok
dengan kebutuhan peserta, (4) kesempatan mencari informasi tentang kelompok
yang akan dimasukinya, mengajukan pertanyaan dan menjajagi hal-hal yang menarik
dalam kegiatan kelompok itu,(50 pernyataan yang menjelaskan pendidikan, latihan
dan kualifikasi pemimpin kelompok,(6) informasi biaya yang harus ditanggung
peserta, besarnya kelompok, banyaknya pertemuan, lama pertemuan, arah
pertemuan, serta teknik yang digunakan, (7) informasi tentang resiko psikologis
dalam kegiatan kelompok itu, (8) pengetahuan tentang keterbatasan kerahasiaan
dalam kelompok, yaitu pengetahuan tentang keadaan di mana kerahasiaan itu harus
dilanggar karena kepentingan bersama dan karena alasan hukum, etis, dan
profesional,(9) penjelasan tentang layanan yang dapat diberikan dalam kegiatan
kelompok itu,(10) bantuan dari pimpinan kelompok dalam mengembangkan
tujuan-tujuan pribadi peserta,(11) pemahaman yang jelas mengenai tanggungjawab
antara pimpinan kelompok dan peserta, dan (12) diskusi mengenai hak dan
kewajiban anggota kelompok.
Tahap ini merupakan tahap pengenalan, pelibatan diri
atau tahap memasukkan diri ke dalam kehidupan kelompok, tahap menentukan
agenda, tahap menentukan norma dan tahap penggalian ide dan perasaan.Dalam
tahap permulaan ini konselor perlu
melakukan (a) penjelasan tentang tujuan kegiatan,(b) penumbuhan rasa
saling mengenal antar anggota,(c) penumbuhan sikap saling mempercayai dan saling
menerima, dan (d) pembahasan tentang tingkah laku dan suasana perasaan dalam
kelompok.
A.
Tahap Transisi ( Transition
Stage ).
Transisi dimulai
dengan masa badai, yang mana anggota mulai bersaing dengan yang lain dalam
kelompok untuk mendapatkan tempat
kekuasaan dalam kelompok. Masa badai adalah masa munculnya perasaan kecemasan,
pertentangan, pertahanan, ketegangan, koflik, konfrontasi, transferensi. Dalam
masa ini anggota mulai resah atau tertekan yang menyebabkan tingkah laku mejadi
tidak sebagaimana mestinya.
Masa badai adalah masa munculnya konflik atau
kegelisahan saat kelompok beralih dari ketegangan primer ke ketegangan
sekunder. Selama masa ini, anggota kelompok terlihat gelisah dalam interaksinya
dengan sesama anggota. Kegelisahan berkaitan dengan ketakutan untuk lepas
kontrol, salah persepsi, terlihat bodoh atau ditolak. Beberapa anggota bereaksi
dengan diam sebagian lain terbuka mengemukakan kegelisahannya.
Masa transisi merupakan saat “perebutan kekuatan” antara
anggota kelompok dengan pemimpin kelompok. Ada beberapa bentuk kekuasaan dan
kekuatan dalam kelompok, yaitu kekuatan dan kekuasaan yang bersifat memberi
informasi, mempengaruhi dan mengatur.
Yang berkaitan dengan masalah kegelisahan, kekuasaan dan kekuatan,
dan kepercayaan antara anggota kelompok merupakan masalah yang berkaitan dengan
interaksi verbal. Masa ini merupakan masa produktif bagi anggota untuk
memperbaiki sosialisasinya di masa lalu yang tidak produktif, membuat
pengalaman-pengalaman baru dan menetapkan tempat dalam kelompok tersebut.
Beberapa cara umum untuk mengatasi bentuk-bentuk masalah
intrapersonal dan interpersonal selama masa ini adalah (1) menggunakan proses
peningkatan di mana anggota diminta berinteraksi secara bebas dan mantap, (2)
meminta anggota mengetahui apa yang sedang terjadi, (3) mendapatkan umpan balik
dari anggota tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu dan apa yang mereka
perlu.
B.
Tahap Kegiatan ( Working Stage)
Tahap ini merupakan inti kegiatan konseling kelompok.
Tahap ini juga merupakan tahap sebenarnya dari konseling kelompok, yaitu para anggota memusatkan perhatian terhadap tujuan yang ingin dicapai, mempelajari materi-materi
baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan tugas, dan mempraktekkkan perilaku-perilaku
baru. Tahap ini dianggap sebagai tahap paling produktif ditandai dengan keadaan
konstruktif dan pencapaian hasil. Selama tahap kegiatan, konselor dan anggota
kelompok merasa lebih bebas dan nyaman dalam mencoba tingkah laku baru dan
strategi baru, karena sudah terjadi saling mempercayai satu sama lain.
Pada tahap ini, hubungan antar anggota sudah mulai ada
kemajuan, sudah terjalin rasa saling percaya antara sesama anggota kelompok, rasa empati, saling
mengikat dan berkembang lebih dekat secara emosional, dan kelompok tersebut akan
menjadi kompak( kohesif). Kelompok yang kohesif ditandai adanya penerimaan yang
mendalam, keakraban, pengertian, di samping juga mungkin berkembang ekspresi
bermusuhan dan konflik. Pada kelompok kohesif
yang paling penting adanya saling ketergantungan anggota kepada anggota
lain.
Penekanan utama pada tahap ini adalah produktifitas.
Anggota kelompok harus lebih produktif
dalam menyelesaikan tugas pribadi atau masalah dengan melakukan kerja sama yang
dinamis dan kondusif. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi “ transference “ atau
“countertransference’ sebagai proses fundamental. Kegiatan kelompok yang
sesungguhnya ditandai oleh tingkatan moral yang tinggi dan rasa memiliki
kelompok yang tinggi pula. Dalam tahap ini juga, kelompok benar-benar sedang
mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Kelompok berusaha menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi para anggota kelompok. Konselor tetap tut wuri handayani,
terus-menerus memperhatikan dan
mendengarkan secara aktif, khususnya hal-hal atau masalah yang timbul dan kalau
dibiarkan akan merusak suasana kelompok.
Tahap ini disimpulkan berhasil bila semua solusi yang
mungkin telah dipertimbangkan dan diuji dapat diwujudkan. Solusi-solusi
tersebut harus praktis, dapat direalisasikan, dan pilihan akhir harus dibuat
setelah melalui perimbangan dan diskusi yang tepat.
D. Tahap
Pengakhiran ( Termination Stage )
Menurut Corey(1990), tahap penghentian atau pengakhiran
sama pentingnya seperti tahap permulaan sebuah kelompok. Pada tahap penghentian
pertemuan kelompok yang penting adalah bagaimana ketrampilan anggota, termasuk
konselor, dalam mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam kelompok ke
dalam kehidupannya di luar lingkungan kelompok, merefleksikan pengalaman mereka
di masa lalu, memproses kenangan, mengevaluasi apa yang telah mereka pelajari,
menyatakann perasaan yang bertentangan, dan membuat keputusan kognitif.
Dalam penghentian, ada masalah dan proses yang terjadi,
satu diantaranya adalah ambivalen emosional. Hampir selalu ada masalah-masalah
yang melibatkan “unfinished business”, transference, dan countertransference(
Kauff,1977 dalam Gladding,1995:146).
Pengakhiran kegiatan konseling kelompok tepat dilakukan pada saat
tujuan-tujuan individual anggota kelompok dan tujuan kelompok telah dicapai dan
perilaku baru telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di luar kelompok.
Ketika kelompok memasuki tahap pengakhiran, kegiatan kelompok dipusatkan pada
pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para anggota kelompok mampu
menerapkan hal-hal yang telah mereka pelajari dalam suasana kelompok, pada
kehidupan nyata mereka sehari-hari.
Pengakhiran konseling kelompok, hendaknya membuat kesan
positif bagi anggota kelompok. Untuk itu perlu kesempatan bagi anggota untuk mengemukakan
ganjalan-ganjalan yang mereka rasakan selama kegiatan berlangsung. Penghentian
terjadi pada dua tingkatan, yaitu pada akhir masing-masing sesi, dan pada akhir
dari keseluruhan sesi kelompok. Proses penghentian meliputi langkah-langkah :
(1) orientasi, (2) ringkasan,(3) pembahasan tujuan, dan tindak lanjut(
Epstein&Bishop,1981 dalam Gladding,1995:147).
Efek penghentian pada individu tergantung pada banyak
faktor. Apakah kelompok itu terbuka atau
tertutup, apakah anggotanya dipersiapkan untuk pengakhiranya, dan apakah
cepatnya dan intensitas kerja dalam kegiatan pada tahap yang tepat utuk
membiarkan anggota mengidentifikasi dengan benar dan memecahkan masalah yang
ada. Tingkah laku dari anggota kelompok pada akhir pertemuan memperlihatkan
bagaimana mereka berpikir dan perasaan mereka sebagaimana yang mereka telah
alami ( Luft,1984;Shulman,1992). Cara yang paling baik untuk setiap individu
mengakhiri sebuah kelompok adalah untuk memperlihatkan pada apa yang telah
mereka alami dan membuat jalan untuk awal baru di luar kelompok, tetapi
pencapaian dari keadaan ideal ini tidak selalu memungkinkan.
Selama tahap penghentian, sejumlah anggota mungkin
membutuhkan lebih banyak bantuan. Ada tiga pilihan produktif yang dapat
dipilih, yaitu :
D.
Konseling individual, di mana
kepedulian untuk dapat memberi perhatian yang lebih besar.
1.
Melihat pada kelompok dan
organisasi lain, di mana bantuan yang lebih spesifik dan spesialis dapat
diharapkan, atau
2.
Mendaur ulang, di mana individu
dapat pergi melalui sebuah pengalaman kelompok yang sama sekali lagi dan
mempelajari pelajaran yang tertinggal pada pertama kali ( Gladding,1995:149).
Kadang-kadang,
individu menghentikan kelompok
secara tiba-tiba atau pengalaman kelompok berakhir begitu saja karena tindakan
pemimpin kelompok. Kedua masalah itu adalah contoh-contoh penghentian
prematur dan mungkin menyebabkan
kesulitan bagi peserta ( Donigian&Malnati,1987). Ada batas-batas etika
untuk mengikuti masalah penghentian prematur berkaitan dengan alasan untuk
tindakan atau keadaan teoritikal pemimpin kelompok. Biasanya, tipe-tipe penghentian
prematur harus berhubungan dengan : (a) penghentian kelompok sebagai satu
kesatuan, (b) penghentian pada anggota kelompok yang berhasil, dan (c)
penghentian pada anggota kelompok yang tidak berhasil ( Yalom,1985).
Penghentian prematur dari kelompok keseluruhan mungkin
terjadi karena tindakan pemimpin kelompok atau anggota. Pemimpin kelompok
mungkin menghentikan kelompok secara prematur dengan tepat jika mereka sakit,
pergi/pindah, atau ditugaskan pada jabatan lain. Bagi individu atau kelompok,
penghentian prematur mungkin berkaitan dengan alasan yang tidak tepat atau
tepat, dan pengalaman keberhasilan atau kegagalan. Yalom (1985:233) membuat
daftar sejumlah alasan yang seringkali
diberikan oleh individu anggota kelompok yang meninggalkan psikoterapi dan
konseling kelompok secara prematur:
1.
faktor-faktor eksternal (
konflik penjadwalan atau tekanan eksternal ).
2.
ketidakcocokan ( anggota yang
tidak cocok dengan anggota lain ).
3.
masalah kedekatan.
4.
takut akan kontak emosional.
5.
ketidakmampuan untuk berbagi dokter.
6.
komplikasi individu dan terapi
kelompok.
7.
provokator awal( tertutup,
penolakan yang kuat pada kelompok )
8.
orientasi yang tidak
terpengaruh pada terapi.
9.
komplikasi yang muncul dari
sub-kelompok.
BAB IV
PROSES KONSELING KELOMPOK
Corey (1985:64-65) mengelompokkan tahapan proses
konseling kelompok menjadi empat tahap, yaitu tahap orientasi, tahap transisi,
tahap kerja, dan tahap konsolidasi. Jacobs,Harvill&Masson(1994:44),
mengelompokkan tahapan proses konseling kelompok menjadi tiga tahap, yaitu :
tahap permulaan, tahap pertengahan atau tahap kerja dan tahap pengakhiran atau
tahap penutupan. Gibson&Mitchel(1995:198-204) mengklasifikasikan proses
konseling kelompok ke dalam lima tahap, yakni tahap pembentukan, tahap
identifikasi, tahap produktifitas,tahap realisasi dan tahap terminasi.
Sedangkan Gladding mengklasifikasikan proses konseling kelompok menjadi empat
tahap, yaitu tahap permulaan kelompok, tahap transisi dalam kelompok, tahap
bekerja dalam kelompok, dan tahap terminasi kelompok.
A. Tahap Permulaan ( Beginning
Stage )
Pada pertemuan awal penting bagi
konselor untuk membentuk kelompok dan
menjelaskan tujuan konseling kelompok dengan istilah yang mudah dipahami
siswa dalam kelompok. Kormanski
&Mozenter (1987, dalam Gladding,1995:80), menyatakan bahwa kelompok dapat
berkembang dari kesadaran lalu berlanjut pada pertentangan, kerjasama,
produktifitas dan berakhir perpisahan.
Dalam mempersiapkan anggota memasuki
kelompok Corey(1985,dalam Rochman N,1987), mengemukakan hal-hal penting yang
perlu dibahas konselor bersama calon
anggota, yaitu : (1) pernyataan yang jelas tentang tujuan kelompok,(2)
deskripsi tentang bentuk kelompok, prosedur dan peraturan mainnya,(3) kecocokan
proses kelompok dengan kebutuhan peserta, (4) kesempatan mencari informasi
tentang kelompok yang akan dimasukinya, mengajukan pertanyaan dan menjajagi
hal-hal yang menarik dalam kegiatan kelompok itu,(50 pernyataan yang
menjelaskan pendidikan, latihan dan kualifikasi pemimpin kelompok,(6) informasi
biaya yang harus ditanggung peserta, besarnya kelompok, banyaknya pertemuan,
lama pertemuan, arah pertemuan, serta teknik yang digunakan, (7) informasi
tentang resiko psikologis dalam kegiatan kelompok itu, (8) pengetahuan tentang
keterbatasan kerahasiaan dalam kelompok, yaitu pengetahuan tentang keadaan di
mana kerahasiaan itu harus dilanggar karena kepentingan bersama dan karena
alasan hukum, etis, dan profesional,(9) penjelasan tentang layanan yang dapat
diberikan dalam kegiatan kelompok itu,(10) bantuan dari pimpinan kelompok dalam
mengembangkan tujuan-tujuan pribadi peserta,(11) pemahaman yang jelas mengenai
tanggungjawab antara pimpinan kelompok dan peserta, dan (12) diskusi mengenai
hak dan kewajiban anggota kelompok.
Tahap ini merupakan tahap pengenalan,
pelibatan diri atau tahap memasukkan diri ke dalam kehidupan kelompok, tahap
menentukan agenda, tahap menentukan norma dan tahap penggalian ide dan
perasaan.Dalam tahap permulaan ini konselor perlu melakukan (a) penjelasan tentang tujuan
kegiatan,(b) penumbuhan rasa saling mengenal antar anggota,(c) penumbuhan sikap
saling mempercayai dan saling menerima, dan (d) pembahasan tentang tingkah laku
dan suasana perasaan dalam kelompok.
B.
Tahap Transisi ( Transition Stage ).
Transisi dimulai dengan masa badai, yang mana
anggota mulai bersaing dengan yang lain dalam kelompok untuk mendapatkan tempat kekuasaan dalam kelompok. Masa badai
adalah masa munculnya perasaan kecemasan, pertentangan, pertahanan, ketegangan,
koflik, konfrontasi, transferensi. Dalam masa ini anggota mulai resah atau
tertekan yang menyebabkan tingkah laku mejadi tidak sebagaimana mestinya.
Masa badai adalah masa munculnya
konflik atau kegelisahan saat kelompok beralih dari ketegangan primer ke
ketegangan sekunder. Selama masa ini, anggota kelompok terlihat gelisah dalam
interaksinya dengan sesama anggota. Kegelisahan berkaitan dengan ketakutan
untuk lepas kontrol, salah persepsi, terlihat bodoh atau ditolak. Beberapa
anggota bereaksi dengan diam sebagian lain terbuka mengemukakan kegelisahannya.
Masa transisi merupakan saat
“perebutan kekuatan” antara anggota kelompok dengan pemimpin kelompok. Ada
beberapa bentuk kekuasaan dan kekuatan dalam kelompok, yaitu kekuatan dan
kekuasaan yang bersifat memberi informasi, mempengaruhi dan mengatur. Yang
berkaitan dengan masalah kegelisahan, kekuasaan dan kekuatan, dan kepercayaan
antara anggota kelompok merupakan masalah yang berkaitan dengan interaksi
verbal. Masa ini merupakan masa produktif bagi anggota untuk memperbaiki sosialisasinya
di masa lalu yang tidak produktif, membuat pengalaman-pengalaman baru dan
menetapkan tempat dalam kelompok tersebut.
Beberapa cara umum untuk mengatasi
bentuk-bentuk masalah intrapersonal dan interpersonal selama masa ini adalah
(1) menggunakan proses peningkatan di mana anggota diminta berinteraksi secara
bebas dan mantap, (2) meminta anggota mengetahui apa yang sedang terjadi, (3)
mendapatkan umpan balik dari anggota tentang bagaimana mereka melakukan sesuatu
dan apa yang mereka perlu.
C. Tahap Kegiatan ( Working
Stage)
Tahap ini merupakan inti kegiatan
konseling kelompok. Tahap ini juga merupakan tahap sebenarnya dari konseling
kelompok, yaitu para anggota
memusatkan perhatian terhadap tujuan yang ingin dicapai, mempelajari materi-materi
baru, mendiskusikan berbagai topik, menyelesaikan tugas, dan mempraktekkkan perilaku-perilaku
baru. Tahap ini dianggap sebagai tahap paling produktif ditandai dengan keadaan
konstruktif dan pencapaian hasil. Selama tahap kegiatan, konselor dan anggota
kelompok merasa lebih bebas dan nyaman dalam mencoba tingkah laku baru dan
strategi baru, karena sudah terjadi saling mempercayai satu sama lain.
Pada tahap ini, hubungan antar
anggota sudah mulai ada kemajuan, sudah terjalin rasa saling percaya antara
sesama anggota kelompok, rasa empati,
saling mengikat dan berkembang lebih dekat secara emosional, dan kelompok
tersebut akan menjadi kompak( kohesif). Kelompok yang kohesif ditandai adanya
penerimaan yang mendalam, keakraban, pengertian, di samping juga mungkin berkembang
ekspresi bermusuhan dan konflik. Pada kelompok kohesif yang paling penting adanya saling
ketergantungan anggota kepada anggota lain.
Penekanan utama pada tahap ini adalah
produktifitas. Anggota kelompok harus
lebih produktif dalam menyelesaikan tugas pribadi atau masalah dengan melakukan
kerja sama yang dinamis dan kondusif. Pada tahap ini dimungkinkan terjadi “
transference “ atau “countertransference’ sebagai proses fundamental. Kegiatan
kelompok yang sesungguhnya ditandai oleh tingkatan moral yang tinggi dan rasa
memiliki kelompok yang tinggi pula. Dalam tahap ini juga, kelompok benar-benar
sedang mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Kelompok berusaha menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi para anggota kelompok. Konselor tetap tut wuri handayani,
terus-menerus memperhatikan dan
mendengarkan secara aktif, khususnya hal-hal atau masalah yang timbul dan kalau
dibiarkan akan merusak suasana kelompok.
Tahap ini disimpulkan berhasil bila
semua solusi yang mungkin telah dipertimbangkan dan diuji dapat diwujudkan.
Solusi-solusi tersebut harus praktis, dapat direalisasikan, dan pilihan akhir
harus dibuat setelah melalui perimbangan dan diskusi yang tepat.
D. Tahap Pengakhiran (
Termination Stage )
Menurut Corey(1990), tahap
penghentian atau pengakhiran sama pentingnya seperti tahap permulaan sebuah
kelompok. Pada tahap penghentian pertemuan kelompok yang penting adalah
bagaimana ketrampilan anggota, termasuk konselor, dalam mentransfer apa yang
telah mereka pelajari dalam kelompok ke dalam kehidupannya di luar lingkungan
kelompok, merefleksikan pengalaman mereka di masa lalu, memproses kenangan,
mengevaluasi apa yang telah mereka pelajari, menyatakann perasaan yang
bertentangan, dan membuat keputusan kognitif.
Dalam penghentian, ada masalah dan
proses yang terjadi, satu diantaranya adalah ambivalen emosional. Hampir selalu
ada masalah-masalah yang melibatkan “unfinished business”, transference, dan
countertransference( Kauff,1977 dalam Gladding,1995:146). Pengakhiran kegiatan
konseling kelompok tepat dilakukan pada saat tujuan-tujuan individual anggota
kelompok dan tujuan kelompok telah dicapai dan perilaku baru telah dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari di luar kelompok. Ketika kelompok memasuki tahap
pengakhiran, kegiatan kelompok dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan
tentang apakah para anggota kelompok mampu menerapkan hal-hal yang telah mereka
pelajari dalam suasana kelompok, pada kehidupan nyata mereka sehari-hari.
Pengakhiran konseling kelompok,
hendaknya membuat kesan positif bagi anggota kelompok. Untuk itu perlu
kesempatan bagi anggota untuk
mengemukakan ganjalan-ganjalan yang mereka rasakan selama kegiatan berlangsung.
Penghentian terjadi pada dua tingkatan, yaitu pada akhir masing-masing sesi, dan
pada akhir dari keseluruhan sesi kelompok. Proses penghentian meliputi
langkah-langkah : (1) orientasi, (2) ringkasan,(3) pembahasan tujuan, dan
tindak lanjut( Epstein&Bishop,1981 dalam Gladding,1995:147).
Efek penghentian pada individu
tergantung pada banyak faktor. Apakah kelompok itu terbuka atau tertutup, apakah anggotanya dipersiapkan
untuk pengakhiranya, dan apakah cepatnya dan intensitas kerja dalam kegiatan
pada tahap yang tepat utuk membiarkan anggota mengidentifikasi dengan benar dan
memecahkan masalah yang ada. Tingkah laku dari anggota kelompok pada akhir
pertemuan memperlihatkan bagaimana mereka berpikir dan perasaan mereka
sebagaimana yang mereka telah alami ( Luft,1984;Shulman,1992). Cara yang paling
baik untuk setiap individu mengakhiri sebuah kelompok adalah untuk memperlihatkan
pada apa yang telah mereka alami dan membuat jalan untuk awal baru di luar
kelompok, tetapi pencapaian dari keadaan ideal ini tidak selalu memungkinkan.
Selama tahap penghentian, sejumlah
anggota mungkin membutuhkan lebih banyak bantuan. Ada tiga pilihan produktif
yang dapat dipilih, yaitu :
1.
Konseling individual, di mana
kepedulian untuk dapat memberi perhatian yang lebih besar.
2.
Melihat pada kelompok dan
organisasi lain, di mana bantuan yang lebih spesifik dan spesialis dapat
diharapkan, atau
3.
Mendaur ulang, di mana individu
dapat pergi melalui sebuah pengalaman kelompok yang sama sekali lagi dan
mempelajari pelajaran yang tertinggal pada pertama kali ( Gladding,1995:149).
Kadang-kadang, individu
menghentikan kelompok secara tiba-tiba atau pengalaman kelompok berakhir
begitu saja karena tindakan pemimpin kelompok. Kedua masalah itu adalah
contoh-contoh penghentian prematur dan
mungkin menyebabkan kesulitan bagi peserta ( Donigian&Malnati,1987). Ada
batas-batas etika untuk mengikuti masalah penghentian prematur berkaitan dengan
alasan untuk tindakan atau keadaan teoritikal pemimpin kelompok. Biasanya,
tipe-tipe penghentian prematur harus berhubungan dengan : (a) penghentian
kelompok sebagai satu kesatuan, (b) penghentian pada anggota kelompok yang
berhasil, dan (c) penghentian pada anggota kelompok yang tidak berhasil (
Yalom,1985).
Penghentian prematur dari kelompok
keseluruhan mungkin terjadi karena tindakan pemimpin kelompok atau anggota.
Pemimpin kelompok mungkin menghentikan kelompok secara prematur dengan tepat
jika mereka sakit, pergi/pindah, atau ditugaskan pada jabatan lain. Bagi
individu atau kelompok, penghentian prematur mungkin berkaitan dengan alasan
yang tidak tepat atau tepat, dan pengalaman keberhasilan atau kegagalan. Yalom
(1985:233) membuat daftar sejumlah alasan
yang seringkali diberikan oleh individu anggota kelompok yang
meninggalkan psikoterapi dan konseling kelompok secara prematur:
1.
faktor-faktor eksternal (
konflik penjadwalan atau tekanan eksternal ).
2.
ketidakcocokan ( anggota yang tidak
cocok dengan anggota lain ).
3.
masalah kedekatan.
4.
takut akan kontak emosional.
5.
ketidakmampuan untuk berbagi
dokter.
6.
komplikasi individu dan terapi
kelompok.
7.
provokator awal( tertutup,
penolakan yang kuat pada kelompok )
8.
orientasi yang tidak
terpengaruh pada terapi.
9.
komplikasi yang muncul dari
sub-kelompok.
BAB IX
ETIKA DALAM KONSELING
KELOMPOK
Etika tidak bersifat absolut.
Etika bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Jika
tidak demikian, etika-etika bisa menjadi penghambat dan bukan lagi sebagai
suatu penuntun untuk pengembangan kerja dan pengembangan diri. Karena ada
beberapa etika yang bersifat universal (tidak berubah) dalam bidang hubungan
antar manusia, kode etik untuk bidang tersebut diterima sepanjang waktu.
KEPEMIMPINAN KELOMPOK
Bab ini tidak berfokus pada
pelatihan kepemimpinan kelompok karena standar-standar pelatihan harus
menggambarkan tujuan disiplin kerja dengan yang para pimpinan identifikasi.
Sementara pelatihan praktisi-praktisi kelompok menerima perhatian yang lebih
dalam dalam literatur ini, kebutuhan akan petunjuk-petunjuk yang jelas dan
sederhana akan diberikan. Ada
kekurangan standar yang dtrumuskan dengan baik untuk pelatihan para
praktisi-praktisi kelompok untuk bisa menjalankan fungsinya pada berbagai
tingkat keahlian dalam berbagai latar belakang yang berbeda. Tetapi ada
beberapa elemen yang berkaitan dengan pimpinan untuk yang mana
petunjuk-petunjuk diindikasikan. Dengan memandang positif pada kompetensi
pimpinan, petunjuk-petunjuk ini bisa sangat berguna dan membantu bagi semua
atau sebagian besar pimpinan kelompok. Petunjuk-petunjuk tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai kode
etik yang diterima secara umum.
2.
Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai bukti
telah mengikuti pelatihan yang setaraf dengan praktek kelompok.
3.
Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai bukti
bahwa kepemimpinannya efektif (data pasca pelatihan dan tindak lanjut setiap
anggota menunjukkan bahwa mereka telah mendapat keuntungan menjadi anggota
pimpinan kelompok tersebut).
4.
.Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai model
konseptual yang baik untuk menjelaskan perubahan-perubahan tingkah laku.
5. Pimpinan
kelompok seharusnya mempunyai sertifikat-sertifikat, surat ijin-surat ijin dan
bukti kualifikasi lainnya yang diperlukan yang secara umum diterima oleh
disiplin ilmunya (B-7).
6. Pimpinan
kelompok yang tidak mempunyai surat mandat kerja (professional credentials)
seharusnya melaksanakan tugas dibawah pengawasan (supervisi) seseorang yang
berkualitas dalam bidang kerja tersebut.
7. Pimpinan
kelompok seharusnya menghadiri/mengikuti kursus-kursus penyegaran kembali,
lokakarya dan sebagainya untuk meningkatkan keterampilan dan keahliannya serta
mendapatkan evaluasi dari orang lain tentang keterampilan dan kerjanya.
8. Pimpinan
kelompok seharusnya mempunyai serangkaian aturan dasar yang jelas yang
menuntunnya dalam melaksanakan tugas kepemimpinan.
9. Pimpinan
kelompok seharusnya paham benar akan undang-undang dan hukum-hukum yang
mengatur segala yang bersifat rahasia dan mengetahui situasi dan kondisi yang
mana rahasia-rahasia tersebut harus dibocorkan.
10.
Pimpinan kelompok seharusnya tidak memihak
salah satu anggota yang mempunyai hubungan yang tidak baik dengan anggota
lainnya (B-5).
11.
Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai
pemahaman yang jelas, yang dikembangkan dari literatur-literatur hukum dan
kerja, tentang hak-hak klien dan seharusnya mengetahui bagaimana klien-klien
tersebut bisa dilindungi. Pimpinan seharusnya melindungi anggota dari
ancaman-ancaman fisik, intimidasi, cercaan dan tekanan teman sejawat. (B-1)
12.
Pimpinan kelompok seharusnya mengetahui
permintaan dan harapan lembaga dimana kelompok tersebut berada dengan
memperhatikan loyalitas dan kerahasiaan.
13.
Pimpinan kelompok seharusnya mempunyai rencana
yang jelas untuk identifikasi dan intervensi dengan para pasien yang berbahaya
dan berusaha bunuh diri yang memenuhi syarat-syarat hukum.
REKRUTMEN PESERTA KELOMPOK
Standar kerja seperti yang dijelaskan secara detail
dalam disiplin pimpinan kelompok seharusnya dipenuhi dalam rekrutmen anggota
kelompok. Seringkali petunjuk-petunjuk ini bersifat lebih eksplisit untuk
lembaga-lembaga swasta tetapi tidak begitu eksplisit untuk rekrutmen
anggota-anggota dengan latar belakang institusional seperti sekolah-sekolah,
organisasi usaha dan organisasi industri. Beberapa petunjuk yang berlaku untuk kedua
latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1.
Pengumuam seharusnya meliputi pernyataan
eksplisit tujuan kelompok, panjang dan jangka waktu program serta jumlah
partisipan/peserta.
2.
Pengumuman seharusnya meliputi pernyataan
eksplisit tentang kualifikasi pimpinan untuk memimpin kelompok-kelompok yang
dimaksud.
3.
Pengumuman seharusnya meliputi pernyataan
eksplisit tentang honor pimpinan yang merinci jumlah-jumlah untuk jasa kerja,
makan, penginapan, materi dan sejenisnya dan juga jumlah untuk jasa lanjutan.
4.
Anggota kelompok seharusnya dipaksa untuk
masuk daiam suatu kelompok oleh para superior (senior) atau pimpinan kelompok.
5.
Pernyataan tidak puas yang tidak bisa
ditunjukkan dengan bukti ilmiah seharusnya tidak dibuat.
Lihat
The American Psychological Association's "Ethical Principles of
Psychologists" dalam daftar pustaka untuk pemahaman lebih lanjut tentang
pengumuman-pengumuman atau iklan-iklan yang bersifat umum.
PENYARINGAN PESERTA
KELOMPOK
Semenjak
ada bukti bahwa tidak setiap orang bisa mengambil keuntungan dari suatu
pengalaman kelompok, pimpinan seharusnya memberlakukan beberapa bentuk prosedur
penyaringan untuk memastikan bahwa calon anggota kelompok memahami apa yang
akan diharapkan darinya dan untuk menyeleksi para anggota yang bisa mengambil keuntungan
dari program tersebut untuk dirinya sendiri dan partisipan lain. Beberapa
petunjuk umum untuk memastikan bahwa kondisi-kondisi/syarat-syarat ini
terpenuhi adalah:
1.
Calon anggota kelompok seharusnya dihargai
atas kemampuannya mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu dari program
(pengalaman) tersebut. Anggota-anggota yang terlihat tidak potensial lebih baik
tidak dimasukkan dalam kelompok tersebut. The American Medical Association's
Council on Mental Health memberi batasan-batasan mereka yang terlihat tidak
potensial dalam mengikuti pelatihan: (a) orang-orang yang benar-benar gila dan
orang-orang yang mengalami gangguan tidak bisa menerima
kenyataan;(b)orang-orang yang mengalami ketidakseimbangan mental disertai
gangguan badaniah; ©orang-orang yang mempunyai sejarah kelabilan emosi dan
masih terlihat kentara; (d)orang-orang yang melawan rasa stress dengan
kompensasi psikologi; dan (e) orang-orang yang ada dalam masa krisis.
(1971:1854). (Kecuali untuk b, individu-individu ini juga bisa mengikuti konseling
kelompok, terapi kelompok dan terapi kelompok pura-pura).
2.
Calon anggota kelompok seharusnya
diinformasikan bahwa keikutsertaannya harusiah bersifat sukarela. (Jika ada
perkecualian, harus didata secara lengkap).
3.
Calon anggota kelompok seharusnya diberi tahu
tentang apa yang diharapkan dari mereka, resiko-resiko apa yang mungkin muncul
dan teknik-teknik apa yang pimpinan akan gunakan.
4.
Calon anggota kelompok seharusnya diberitahu
bahwa mereka mempunyai kebebasan untuk keluar dari kelompok tersebut.
5.
Calon anggota kelompok seharusnya diberi tahu
bahwa mereka mempunyai kebebasan untuk menolak saran atau nasehat dari pimpinan
dan anggota-anggota kelompok.
6.
Calon anggota kelompok seharusnya diberitahu
apakah kerahasiaan merupakan suatu syarat untuk keanggotaan kelompok atau
tidak. (Biasanya hal ini akan diberitahukan dalam terapi, konseling dan
kelompok-kelompok eksperimen, walaupun kerahasiaan yang benar-benar tidak bisa
dijamin).
7.
Calon anggota kelompok seharusnya
diinformasikan secara jelas tentang bidang-bidang atau hal-hal apa yang
pimpinan kelompok nyatakan sebagai hal yang tidak rahasia (sebagai contoh,
kedekatan anggota kelompok dengan yang lainnya).
8.
Calon anggota kelompok seharusnya diberitahu
tentang riset apapun yang mungkin diselenggarakan berdasarkan kelompok tersebut
dan pernyataan atas kesediaanya dinyatakan secara tertulis.
9.
Calon anggota kelompok harus diberitahu
tentang perekaman session kelompok dan konsentrasi mereka untuk perekaman
tersebut harus maksimal. Selanjutnya, mereka juga diberitahu bahwa mereka bisa
menghentikan perekaman pada bagian-bagian tertentu dimana mereka menganggap hal
tersebut seharusnya tidak diketahui oleh peserta lain.
10.
Calon anggota kelompok seharusnya disangsikan
untuk menentukan apakah mereka berada dalam perlakuan yang sama dengan yang
lainnya.
11.
Calon anggota kelompok seharusnya diberitahu
bahwa pimpinan mungkin perlu memindahkan mereka dari kelompok tersebut jika
pimpinan menilai mereka diganggu atau mengganggu yang lainnya.
12.
Biasanya, para senior tidak ditempatkan dalam
kelompok yunior.Sebagai contoh, siswa seharusnya tidak ditempatkan dalam
kelompok terapi/konseling yang sama dengan gurunya atau yang lainnya yang
mempunyai kontrol evaluasi terhadap siswa-siswa
13.
Literatur menyarankan pemberitahuan tentang
kapan anggota harus berkonsentrasi secara penuh untuk bisa mencapai
tujuan-tujuan yang diharapkan, mengenali resikoresiko dan batasan-batasan yang
ada sehingga kesalahan pahaman bisa dihindari.
14.
Jika kelompok tersebut terdiri dari
orang-orang yang belum dewasa, pimpinan kelompok seharusnya paham betul akan
undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan perlunya peranan orang tua dan
tentang ciri-ciri khusus orang-orang-orang yang belum dewasa. Peranan orang tua
seharusnya dianggap sebagai alasan etika.
KERAHASIAAN
1.
Pemimpin kelompok seharusnya menahan diri dan
membuka data identitas anggota-anggota kelompok yang tidak perlu ketika mencari
konsultasi. Pimpinan seharusnya membahas kelompok atau individu-individu
tersebut hanya untuk tujuan kerja.
2.
Semua data yang didapat dari anggota kelompok
untuk tujuan riset harus didapatkan hanya setelah anggota-anggota kelompok
tersebut memberikan ijin tertulisnya.
3.
Pimpinan kelompok harus menyamarkan semua data
yang mengidentifikasi anggota-anggota kelompok jika itu dipakai dalam publikasi
4.
Pimpinan kelompok secara berkala seharusnya
mengingatkan anggota kelompok tentang pentingnya kerahasiaan dalam kelompok
konseling, terapi, dan terapi kuasi.
5.
Pimpinan kelompok seharusnya memberitahu
anggota-anggota kelompok tentang batasan-batasan hukum kerahasiaan pimpinan dan
anggota kelompok lainnya.
6.
Pimpinan kelompok seharusnya tahu bagaimana
rekaman klien ditangani, oleh siapa, berapa lama rekaman tersebut harus
disimpan, dimana rekaman data tersebut disimpan, siapa yang akan memberi
penilaian atas rekaman tersebut dan apa yang akan terjadi dengan rekaman data
tersebut disuatu saat nanti.
7.
Pimpinan kelompok seharusnya mengetahui apakah
klien telah membuat catatan tertulis dan prosedur apa yang digunakan klien
tersebut untuk membuat catatan.
8.
Catatan-catatan seharusnya tidak
disebarluaskan secara luas tanpa pemberitahuan dan ijin dari klien.
9.
Jika komputer yang digunakan untuk menyimpan
data atau dalam cara/ media apapun yang anggota kelompok diidentifikasi,
kehati-hatian harus dilakukan untuk memastikan data tersebut tidak terbaca oleh
orang yang tidak bersangkutan. Ancaman akan kerahasiaan dengan penggunaan
komputer harus dipahami.
10.
Jika sistem ganti rugi pihak ketiga digunakan,
beri informasi seminim mungkin. Jangan pernah mengirimkan catatan lengkap dan
menginformasikan klien tentang pemberian informasi yang ada pada
perusahaaperusahaan asuransi.
11.
Pastikan untuk merusak atau menghapus
audiotape dan/atau videotape.
12.
Pimpinan kelompok harus
memahami tingkat kerahasiaan yang mereka janjikan pada anak.
PENGHENTIAN
DAN TINDAK LANJUT
Kritik utama tentang
penghentian dan tindak lanjut penangan kelompok konseling, terapi dan
terapi-kuasi adalah pengehentian dalam jangka pendek dan tidak ada tindak lanjut
yang diberikan. Situasi ini seringkali terjadi apabila pimpinan kelompok luar
kota memberi pelatihan dan terapi pada suatu lokakarya. Karena pimpinan hanya
hadir untuk lokakarya tersebut, ia tidak paham betul dengan sumber-sumber daya
lokal dan tidak bisa membuat penyelesaian yang memuaskan. Dan karena pimpinan
seringkali tidak merencanakan kunjungan kembali sebagai upaya tindak lanjut,
para peserta tetap pada kondisinya. Maka dari itu perlu diberikan
petunjuk-petunjuk untuk penanganan situasi semacam ini. Adapun
petunjuk-petunjuk tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pimpinan kelompok seharusnya merencanakan
upaya tindak lanjut bagi kelompok jangka pendek yang mempunyai keterbatasan
waktu.
2.
Pimpinan kelompok seharusnya tahu dan
mempunyai komitmen dari seorang profesional yang berkualitas kepada siapa ia
bisa mengarahkan para peserta kelompok apabila pimpinan tersebut tidak dapat
melanjutkan keterlibatannya secara profesional.
3.
Para peserta kelompok seharusnya diberitahu
tentang nara sumber yang kompeten sehingga mereka bisa datang menemuinya
apabila mereka membutuhkan bantuan.
KELOMPOK TANPA PEMIMPIN
Sampai ada bukti penefitian yang mendukung kelompok
terapi dan terapi-kuasi tanpa adanya beberapa pimpinan kerja seharusnya
diminimalkan. Khususnya, kelompok-kelompok yang diarahkan dengan instruksi
audiotape seharusnya tidak diperbolehkan jika tidak ada seorang pimpinan yang
profesional memonitor kelompok tersebut. Batasan-batasan ini tidak diperlukan
lagi karena ada bukti yang didapat dalam penelitian Liberman, Yalom, dan Miles
(1973) bahwa kelompok tanpa pemimpin juga efektif. (Saran-saran ini sepertinya juga membatasi penggunaan kelompok swadaya
seperti AA dan Synanon. Ini dibenarkan hanya apabila tidak ada bukti yang
mendukung kelompok swadaya yang ditemukan sebelumnya).
PROSEDUR
UMUM UNTUK MENANGANI TINDAKAN YANG TERCELA, YANG TIDAK SESUAI DENGAN KODE ETIK
Biasanya ada prosedur-prosedur
tertentu yang ditetapkan oleh gabungan profesional untuk mengatur anggotanya. Kode etik atau standar etika ini tidak hanya merupakan
instrumen tetapi juga merupakan kriteria hukum. Maka dari itu kode etik
mengatur para profesional untuk mengetahui tanggungjawab etikanya dan
menjalankannya dengan baik. Hamptrsemua kode etik juga memberikan prosedur yang
harus diikuti apabila ada seseorang yang terbukti melakukan tindakan yang
tercela, tindakan yang tidak sesuai dengan kode etik yang ada.
Pada umumnya, seseorang seharusnya terlebih dahulu
melindungi klien yang terpengaruh oleh tindakan-tindakan yang tercela. Dengan
menganggap bahwa klien tersebut tidak membahayakan dalam jangka waktu tertentu,
klien tersebut seharusnya diberitahu atas tindakannya yang dianggap tidak etis
dan seharusnya diminta untuk memperbaikinya. Jika klien tersebut menolak untuk
memperbaikinya, maka pimpinan seharusnya membuat catatan khusus. Ethical
Guidelines for Group Leaders (Panduan Etika untuk Para Pimpinan Kelompok) yang
diterbitkan oleh Association for Specialists in Group Work memberikan tindakan
yang seharusnya diambil apabila pelanggaran terhadap kode etik dilakukan.
Petunjuk tersebut disimpulkan dari investigasi yang dilakukan Komite ASGN dan
saran-saran yang diberikan dalam dengar pendapat dihadapan Komite yang sama.
Dengan pendapat tersebut seharusnya sesuai dengan kebijaksanaan AACD dan
prosedur-prosedur untuk menangani masalah-masalah pelanggaran kode etik.
KES1MPULAN
Bab ini berisi beberapa petunjuk etika untuk kerja
kelompok, khususnya bagi mereka yang memimpin kelompok-kelopok konseling,
terapi dan terapi-kuasi. Petunjuk ini dibuat berdasarkan pada peninjauan
kembali secara hati-hati dan saksama atas literatur-literatur yang ada dan juga
pada survey kuesioner yang dikirim pada gabungan-gabungan kerja dan masyarakat
tertentu.
Tinjauan pustaka menunjukkan bahwa berbagai gabungan
kerja membuat sejumlah petunjuk yang diberikan/ditujukan pada para anggotanya,
khususnya untuk kelompok-kelompok konseling, terapi, dan terapi-kuasi.
Bab ini mulai dengan definisi tentang kerja kelompok
dan etika-etika kerja kelompok dan memberikan juga daftar kondisi/ketentuan Lakin's
untuk para anggota dalam kelompok eksperimen. Selanjutnya, petunjuk-petunjuk
untuk pelaksanaan kode etik-kode etik yang ada diberikan dibawah sub topik
berikut: kepemimpinan kelompok, kerahasiaan, penghentian dan tindak lanjut,
kelompok tanpa pimpinan, dan prosedur-prosedur umum untuk menangani
tindakan-tindakan yang tercela, yang tidak sesuai dengan kode etik.
BAB V
PEMIMPIN KELOMPOK
Komponen
dalam system kelompok terdiri dari :
1. Jenis kelompok
2. Tujuan kelompok
3. Peranan anggota kelompok
4. Pimpinan kelompok
5. Aturan-aturan dasar dari kelompok
6. Pokok-pokok pembicaraan dalam kelompok.
Dari
keenam komponen tersebut pimpinan kelompok merupakan merupakan komponen yang
sangat penting. Pemimpin kelompok sangat berkaitan erat dengan aktivitas
kelompok, bahkan berhasil tidaknya kelompok
dicerminkan dari pimpinannya. Persoalan yang berkaitan dengan pimpinan
kelompok sebagian besar terkait dengan gaya dan substansinya, serta pada
kepribadiannya. Seorang pemimpin kelompok merupakan seseorang yang memperlancar
tindakan untuk perubahan, oleh karena itu pimpinan kelompok harus menguasai
pengetahuan dan melatih ketrampilan-ketrampilan dalam mempimpin kelompok.
Konselor sebagai pimpinan kelompok
mempunyai pengaruh yang penting dalam konseling kelompok, konselor tidak hanya
mengarahkan perilaku anggota sesuai dengan kebutuhannya tetapi juga harus tanggap
terhadap segala perubahan yang terjadi dalam kelompok sebagai akibat dari
perkembangan kegiatan kelompok itu.
A.
Tugas-tugas Pemimpin Kelompok
Konselor sebagai pemimpin kelompok mempunyai
tugas yang tidak ringan yaitu :
1. Membuat dan mempertahankan kelompok.
Dengan cara pemimpin melakukan wawancara awal dan
seleksi yang baik saat mau membentuk kelompok konseling. Saat konseling dimulai
pemimpin harus mempertahankan anggotanya tetap hadir dan mengikuti kegiatan
kelompok. Untuk itu pemimpin harus mengenal hal-hal yang dapat mempengaruhi
kohesivitas kelompok.
2. Membentuk Budaya.
Pimpinan kelompok harus mengupayakan kelompok
menjadi system social yang terapeutik, sehingga pemimpin kelompok bertugas
membawa kelompok dari satu factor kuratif
ke factor kuratif lainnya melalui pembentukan budaya kelompok. Dengan
demikian akan dapat menimbulkan interaksi yang tepat dalam kelompok. Anggota
harus merasa bebas, kejujuran dan spontanitas harus didorong dalam kelompok,
penerimaan tanpa penilaian untuk anggota lain, pembukaan diri pada tingkat
tinggi dan keinginan yang besar untuk berubah merupakan norma yang sangat
pendting dalam kelompok.
3. Membentuk Norma
Norma dalam kelompok dibentuk berdasarkan harapan
anggota kelompok terhadap kelompok dan pengarahan langsung mapun tidak dari
pemimpin kelompok dan anggota yang berpengaruh. Dalam hal ini pemimpin kelompok
berperan sebagai :
a. pakar teknis (the technical expert) : pemimpin
secara langsung memberikan instruksi terhadap kelompok, dan petunjuk bagi
anggota untuk berinteraksi satu sama lain
b. peserta penetapan model (the model setting
participant) : pemimpin membentuk budaya melalui perilakunya sendiri yang dapat
dipakai sebagai model dalam kelompok seperti ketulusan dan kesedian menolong,
empati dan keterusterangan terhadap anggota.
Norma yang sebaiknya ada dalam kelompok adalah :
a. kelompok pemantau diri (the self-monitoring group
)
b. pembukaan diri (self-disclosure)
c. Norma procedural (procedural norms)
d. Pentinya kelompok (the importance of the group)
e. Anggota sebagai agen penolong ( members as agents
of help)
B. Pemimpin Kelompok
1. Siapa pemimpin kelompok itu ?
a.
Pemimpin kelompok sebagai pribadi
Pemimpin kelompok memiliki pengaruh pada proses kelompok bukan hanya
mahir dalam teknik-teknik kelompok
tetapi juga melalui ciri-ciri dan perilaku pribadi mereka. Pemimpin kelompok
juga perlu memiliki keberanian untuk terlibat dalam menilai diri mereka
sendiri.
b.
Pemimpin kelompok sebagai seorang professional.
Ciri-ciri
positip pribadi juga tidak cukup menjamin pemimpin kelompok yang efektif,
pemimpin kelompok juga harus menguasai ketrampilan-ketrampilan kepemimpinan
kelompok yang spesifik dan penampilan yang sesuai fungsi-fungsi tertentu.
2.Kualifikasi Pemimpin Kelompok
a. Pertimbangan Etis dan Legal Pemimpin Kelompok.
Persoalan etika yang dapat ditangani dengan
menggunakan pertimbangan professional yang baik antara lain :
1.Kualifikasi pemimpin kelompok.
Pimpinan kelompok harus memenuhi syarat
sepenuhnya untuk memimpin kelompok yang sedang dipimpinannya dalam hubungannya
dengan pemilikan latar belakang pendidikan yang cocok dan pengalamannya.
2.Pemberitahuan anggota tentang anggota kelompok.
Anggota perlu diinformasikan tentang tujuan
kelompok, resiko-resiko tertentu yang mungkin ditemukan / resiko psikologis.
Cara yang harus dilakukan oleh konselor adalah dengan membuat kontrak dengan
klien, yang menyangkut batas tanggungjawab konselor dalam kegiatan kelompok dan
komitmen peserta terhadap kelompoknya.
3.Hak anggota untuk bergerak bebas dari ancaman.
Anggota kelompok memiliki hak untuk melakukan,
memelihara dan memecahkan masalah-masalah. Mereka harus bebas dari paksaan atau
intimidasi baik oleh anggota maupun pimpinan kelompok.
4.Hak anggota untuk meninggalkan kelompok.
Pemimpin kelompok perlu melakukan wawancara
dengan anggota yang hendak meninggalkan kelompok untuk menentukan alasan.
Pemimpin kelompok boleh meminta anggota untuk tetap dalam kelompok pada session
lain dalam hubungannya dengan keprihatianan anggota atau mengalihkan ke anggota
kelompok lain atau konseling individual.
5.Kerahasiaan.
Konselor sebagai pemimpin kelompok harus
menekankan kepada semua peserta pentingnya pemeliharaan kerahasian. Dan
menyampaikan bahwa apa yang terjadi selama proses konseling kelompok merupakan
rahasia bersama sebagai kelompok. Pemimpin kelompok juga perlu menetapkan
dengan persetujuan dari anggota, suatu konsekuensi yang jelas kalau anggota
membuka rahasia.
6.Hubungan pribadi antara pemimpin dengan
anggota-anggota.
Pemimpin kelompok harus menahan diri dari
keterlibatan romantis dengan anggota kelompok saat kelompok sedang berlangsung
dan tidak pilih kasih kepada anggota tertentu.
7.Hubungan Pribadi antar Anggota.
Pemimpin kelompok bisa mencoba mengurangi
perilaku yang mengganggu dari anggota yang berhubungan dengan anggota dari luar
kelompok.
8.Nilai-nilai Pemimpin
Nilai pribadi dari pemimpin dalam kelompok tidak
boleh disisipkan pada anggota, kalaupun terjadi nilai pribadi mereka bercampur
dalam keefektifan kelompok maka pemimpin kelompok harus berhati-hati tentang
penyuaraan nilai-nilainya pada persoalan seperti agama, perceraian, aborsi dan
lain sebagainya.
9.
Penggunaan Etika Latihan-latihan.
Hal
yang perlu diperhatikan pemimpin kelompok dalam penggunaan latihan-latihan :
a. Anggota tidak harus ikut dalam latihan bila tidak
merasa enak akan latihan itu.
b. Latihan harus dijelaskan secara jelas dan
potensial resiko-resiko harus dikemukakan.
c. Bila kontak fisik antaranggota diperlukan dalam
latihan maka maksudnya harus dijelaskan.
d. Dalam latihan tidak boleh memperdaya anggota
untuk menampakkan bagian tubuh yang terlarang.
10. Peranan pemimpin dalam Pembuatan Referal
Pemimpin kelompok perlu mempertimbangkan apabila
mereka menjumpai anggotanya untuk konseling tindak lanjut, pemimpin kelompok
perlu memberi kesempatan anggota untuk melanjutkan dalam menemukan mental
mereka secara sehat dengan konselor lain atau sumber luar.
b.
Syarat-syarat Pemimpin kelompok.
1. Kepribadian dan karakter Pemimpin kelompok dengan
cirri-ciri sebagai berikut :
a. Kehadiran secara emosional pada anggota kelompok.
b. Kekuatan pribadi meliputi kepercayaan diri dan
kesadaran akan pengaruh orang lain.
c. Keberanian dalam berinteraksi dengan anggota
kelompok.
d. Kemauan untuk mengkonfrontasi diri sendiri.
e. Kesadaran diri akan kebutuhan dan motivasi
seseorang, akan konflik-konflik dan masalah-masalah pribadi, akan pertahanan
dan titik-titik kelemahan, akan bidang usaha yang belum selesai, dan dari
pengaruh potensial terhadap semua ini dalam proses kelompok.
f. Kesungguhan/ketulusan akan minat kesejahteraan
orang lain.
g. Keaslian dalam pribadi yang jujur, nyata, tidak
berpura-pura dan tidak bersembunyi dibelakang topeng-topeng.
h. Mengerti identitas dirinya sendiri.
i. Keyakinan /kepercayaan dalam proses kelompok.
j. Kegairahan/ antusiasme.
k. Daya cipta dan kreativitas terhadap ide-ide yang
segar.
l. Daya tahan / stamina baik secara fisik maupun
psikologis.
2. Pemimpin sebagai seorang professional.
Ketrampilan-ketrampilan dasar bagi seorang
pemimpin kelompok menurut Jacobs, Harvill & Masson.( 1994: 108 ) yaitu :
a. Aktif mendengar
b. Refleksi
Tujuan dari refleksi yaitu untuk membantu anggota
yang sedang bicara menjadi lebih sadar akan apa yang dikatakan dan menyampaikan
kepadanya bahwa anda sedang sadar tentang bagaiman ia rasakan.
c. Menguraikan / menjelaskan
d. Meringkas
e. Penjelasan singkat dan pemberian informasi
f. Mendorong dan mendukung
g. Mengatur suara
h. Memperagakan dan mengungkapkan diri
i. Penggunaan mata
Mata pemimpin kelompok dapat digunakan dalam
empat cara yaitu :
1.
Membaca sepintas dengan isyarat non verbal seperti anggukan kepala,
ekspresi wajah, perubahan tubuh dan kerlingan mata.
2. Mengarahkan kembali komentar-komentar anggota
kelompok.
3. Mengajak anggota bicara
4. Memotong anggota.
j. Penggunaan suara
Suara pemimpin kelompok dapat digunakan untuk
mempengaruhi bunyi dan suasana dari kelompok dan juga ruangan dan isinya.
k. Penggunaan energi pemimpin
l. Mengidentifikasi mitra-mitra dalam kelompok untuk
diajak kerjasama.
Association for Specialists in Group Work (ASGW)
mengelompokkan kemampuan khusus konselor kelompok (pemimpin kelompok) menjadi
tiga besar, yaitu (a) kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan b) kemampuan
yang berkaitan dengan keterampilan khusus, dan c) kemampuan yang berkenaan
dengan pengalaman praktek. Ketiga kemampuan itu oleh ASOW dirinci dalam
butir-butir standar sebagai berikut :
1. Kemampuan berkaitan dengan pengetahuan
a. Teori-teori utama mengenai
konseling kelompok.
b. Prinsip-prinsip pokok tentang dinamika
kelompok serta gagasan-gagasan dasar mengenai proses kelompok
c.
Kekuatan dan kelemahan diri sendiri, nilai-nilai hidup yang dianutnya
dan ciri-ciri pribadinya sendiri.
d.
Persoalan-persoalan pokok mengenai etika dan profesi yang khusus
berkaitan dengan pekerjaan kelompok.
e.
iformasi mutakhir tentang penelitian dalam bidang pekerjaan kelompok.
f.
Peranan dan perilaku yang bersifat memudahkan peserta konseling kelompok
yang mungkin diharapkan oleh para peserta
g.
Keuntungan dan kerugian dari pekerjaan kelompok dan situasi di mana
pekerjaan kelompok tepat atau tidak tepat digunakan sebagai suatu bentuk
intervensi yang bersifat terapeutik.
h.
Ciri-ciri interaksi kelompok dan peranan konseling yang terlibat alam
tahap-tahap perkembangan kelompok.
2. Kemampuan berkaitan dengan keterampilan.
a. mampu menyaring dan menilai kesiapan klien
untuk turut serta dalam suatu kelompok.
b. memiliki definisi yang jelas mengenai
konseling kelompok dan mampu menerangkan tujuan dan prosedur konseling kelompok
kepada para anggota kelompok.
c. mendiagnosis perilaku yang merusak diri
sendiri pada para anggota kelompok dan mampu menangani kasus-kasus yang
memperlihatkan perilaku demikian itu.
d.
Membuat model perilaku yang tepat untuk para anggota kelompok.
e.
Menafsirkan perilaku non verbal secara teliti dan tepat.
f.
Menggunakan keterampilan yang dimilikinya.
g.
Melakukan penanganan masalah pada saat yang kritis.
h. Mampu
memanfaatkan teknik, strategi dan prosedur konseling kelompok.
i.
Menggerakkan faktor-faktor terapeutik yang dapat menimbulkan
perubahan-perubahan tertentu.
j. Mampu
menggunakan prosedur kelompok penunjang.
k. Mampu
bekerja sama dengan pemimpin kelompok yang lain secara efektif.
l. Mampu
secara efektif mengarahkan pertemuan kelompok menuju kepada penutupannya dan
mampu mengakhirinya.
m. Mampu
menggunakan prosedur teknik tindak lanjut untuk mempertahankan dan menunjang
hasil konseling yang telah diperoleh anggota kelompok yang bersangkutan.
n. Mampu
menggunakan prosedur penilaian untuk mengetahui hasil kegiatan kelompok.
3. Kemampuan berkaitan dengan praktik klinis
a. Membuat kritik mengenal
rekaman kegiatan kelompok
b. Mengamati pelaksanaan
konseling kelompok
c. Turut serta sebagai seorang
anggota dalam kelompok
d. Menjadi pendamping pemimpin
kelompok
e. Melakukan prakek konseling
kelompok secara mancliri
f. Melaksanakan program
magang.
Kemampuan-kemampuan tersebut tidak hanya dapat
diperoleh dan pendidkan dan/atau latihan formal saja, Konselor kelompok harus
selalu berusaha melakukan profesionalisasi diri dengan mengikuti perkembangan
teori dan teknik konseling kelompok dan selalu melakukan self regulation dalam
hal kemampuannya.
C. Gaya
Kepemimpinan Kelompok
Pemimpin kelompok paling efektif adalah pemimpin
kelompok yang serba bisa mengubah pola kepemimpinannya sesuai dengan maksud
kelompok dan keanggotaannya. (Kottler,1994).
1. Kepemimpinan Interpersonal versus Kepemimpinan
Intrapersonal
Gaya interpersonal dan kepemimpinan kelompok
terfokus kepada transaksi antara individu di dalam kelompok tersebut, sedangkan
gaya intrapersonal dan kepemimpinan kelompok terkonsentrasi kepada reaksi di
dalam individu para anggota kelompok tersebut..
2.
Kepemimpinan yang terpusat ke pemimpin versus kepemimpinan yang terpusat ke
kelompok
Sebuah kelompok yang terpusat ke pemimpin adalah
gaya otokratik, dan pemimpinnya memberikan instruksi kepada para pengikutnya
dengan cara yang “benar”.atau gaya yang berorientasi ke guru. Kelompok yang
berpusat ke pemimpin adalah gaya yang berdasarkan kepatuhan dan para
pengikutnya. KelormPOk yang terpusat ke kelompok terfokus kepada proses anggota
dan intrpersonalnya. Pemimpin yang menerapkan gaya pendekatan ini kepada sebuah
kelompok akan memudahkan Kondisi-kondisi untuk “meningkatkafn kesadaran diri
dan pilihan-pilihan untuk mengembangkan sang guru di dalamnya”. Rangkaian
kepemimpinan yang luas di dalam kelompok disajikan pada Gambar 3. 1
3. Memilih sebuah gaya kepemimpinan
Lewin (1944) memperkenalkan tiga gaya dasar
kepemimpinan kelompok : otoriter,demokratis, dan laissez-faire.
a. Pemimpin kelompok otoriter menganggap
diri mereka sendiri hali. Pemimpin ini berinterpretasi,memberi saran, dan
biasanya mengarahkan gerakan kelompok seperti orang tua yang mengendalikan
tindakan-tindakan seorang anak. Pemimpin otoriter seringkali kharismatik dan
manipulatif (McClure, 1994). Permintaan mereki dipatuhi dan harapannya
dipenuhi. (lihat gambar 3.2). Gaya kepemimpinan ini dipakai oleh banyak
pemimpin kelompok latar belakang psikoanalisis.
b. Pemimpin
kelompok demokratis adalah pemimpin yang Iebih terpusat ke kelompok atau
tidak diarahkan. Pemimpin ini berlaku sebagai fasilitator proses kelompok dan
bukan sebagai pengatur kelompok tersebut. Mereka bekerja kolaborasi, dan
membagi tanggungjawab dengan kelompoknya. (lihat Gambar 3.3).
c. Pemimpin laissez-faire,
adalah gaya kepemimpinan yang gagal menyediakan struktur apapun bagi
kelompoknya. Para anggota ditinggalkan begitu saja dengan tanggung jawab untuk
memimpin dan mengarahkan. Pemimpin kelompok laissez-faire dan
kelompok-kelompoknya tidak mendapatkan apapun karena tak ada maksud dan tujuan
yang jelas. Interaksi di dalam kelompok laissez-faire ditunjukkan di dalam
Gambar 3.4.
4. Kelompok tanpa pemimpin dan para pemimpin
Salah satu jenis kelompok tanpa pemimpin adalah
kelompok membantu-diri. Di dalam kelompok ini,para pemimpin muncul begitu
kelompoknya berkembang. Para pemimpin yang non-profesional pada kasus semacam
itu berkembang ketika kelompoknya dalam kemajuan. Meskipun beberapa pemimpin
dan kelompok tanpa pemimpin ini efektif, tetapi pendekatan ini pada dasarnya
dikembangkan melalui trial and error, pendekatan ini bisa destruktif dan bisa
juga konstruktif.
5.Gaya Kepemimpinan untuk kelompok-kelompok yang
berbeda.
Jenis kelompok yang berbeda-beda membutuhkan gaya
kepemimpinan yang spesifik (Kottler,1994). Mekanisme-mekanisme
Inti dan kepemimpinan kelompok merupakan simulasi yang emosional,
kepedulian penjelasan makna, dan fungsi eksekutif. Pada semua jenis kelompok
yang berbeda, para pemimpin harus meningkatkan pemerataan level efektif
misalnya stimulasi emosional. Perasaan, seperti halnya pemikiran,perlu
diekspresikan. Selain itu pula, para pemimpin kelompok harus menunjukkan
kepeduliannya. Penjelasan makna
mengacu kepada kemampuan pemimpin untuk menjelaskan kepada para anggota
kelompok dengan cara kognitif mengenal apa yang tengah terjadi di dalam
kelompok tersebut.
6. Kualitas personal pada pemimpin kelompok yang efektif
Setiap pemimpin kelompok menyertakan kualitas
personal (dirinya) kepada kelompoknya, termasuk cara-cara yang Iebih disukai
dalam merasakan dunia dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan pribadi
seseorang dan orang lain. Para pemimpin kelompok yang efektif mungkin memanfaatkan
aspek kepribadian din dan pengetahuan mereka yang terkuat serta
mengkombinasikannya denga pengalaman di dalam mempin kelompoknya (Johnson &
Johnson,1991).
![]() |
7. Fungsi Kepemimpinan Kelompok
Ada fungsi muatan dan proses yang keduanya harus
pemimpin selama kelangsungan hidup kelompok tersebut. Fungsi muatan kata-kata
dan gagasan yang aktual yang bergantian antara pimpinan dan anggota.
Fungsi-fungsiproses merupakan serangkaian
peristiwa yang dapat dikenali yang mempengaruhi perkembangan sebuah kelompok
(Johnson & Johnson,1991).
8. Fungsi Utama Pemimpin kelompok
Bates dkk (1982) mencirikan empat fungsi utama
yang ditunjukkan oleh pemimpin kelompok pada berbagai kesempatan yaitu :
a. sebagai pengatur lalu lintas
b. sebagai model perilaku yang sesuai
c. sebagai
katalisator interaksi
d. sebagai fasilitator komunikasi.
9. Konflik Pemimpin dan Kelompok.
Selain empat fungsi yang telah dijelaskan
tersebut di atas, pemimpin kelompok juga harus dapat menjalankan fungsi
manajemen konflik. tampilnya konflik adalah hal yang normal di dalam sebuah
kelompok dan umumnya lazim pada tahap kelompok tertentu seperti “keributan’ .
Lima teknik khusus untuk menajeman konflik di dalam kelompok telah dikemukakan
oleh Simpson (1977) dan dilengkapi oleh Kormanski (1982) yaitu :
a. Menarik dari konflik. Strategi ini membuat
pemimpin membuat jarak dirinya dari konflik dan menunda intervensi. Ada
keuntungan dengan membiarkan pemimpin mendapatkan lebih banyak data dan
pengamatan yang lebih lama tanpa harus terlibat lebih jauh. Kerugian pendekatan
ini ialah bahwa konflik tersebut dapat meningkat dan penarikan benan-benan
tidak efektif berkaitan dengan situasi kritis tensebut.
b. Tekanan konflik. Sebagal sebuah strategi,
tekanan merupakan penurunan konflik. Strategi ini dipakai ketika persoalannya
kecil. Strategi ini tetap membuat emosi dalam kendali dan membantu pemimpin
kelompok membangun suasana yang mendukung. Kerugian tekanan adalah bahwa
strategi ini gagal mengatasi konflik memungkinkan terjadinya perasaan yang meldak-ledak
yang nantinya akan merusak. Selain itu pula, pemimpin bisa dianggap Iemah atau
tidak peka ketika mereka menggunakan strategi ini.
c.
Menyatukan gagasan yang bertentangan guna membentuk solusi yang baru. Dengan
mempergunakan strategi ini, para pemimpin ketompok berusaha membuat semua pihak
mengkaji kembali situasinya dan mengidentifikasi poin-poin kesepakatan.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan atternatif-alternatif baru, mempelajari
bagaimana caranya untuk membuka jalur komunikasl dengan cara yang lebih balk
dan membangUn kesatuan dan komitmen yang terpadu.
d. Melakukan kompromi. Dengan metode ini,
masing-masing pihak yang terlibat
sedikit mengalah untuk mendapatkan bagian yang menginginkan dan untuk
menghindari konflik. Hasilnya adalah win-win solution (sama rataO dimana
perilaku yang kooperatif dan usaha yar kolaboratif dikedepankan. Kerugian dari
kompromi ini bahwa beberapa pihak dapat menambah-nambahi keinginan mereka untuk
mendapatkan hasil lebih banyak, dan seringkali tmndakan yang diambil tidak
efektif atau kurang sesuai seperti yang diinginkan.
e. Menggunakan kekuatan untuk mengatasi konflik.
Strategi kekuatan mencakup “pembebanan keinginan seseorang kepada orang lain”
(Kormanski,1982:116). Sumber kekuatan bisa berasal dan status ataupun kepribadian
seseorang. Kekuatan posisi paling sering dipergunakan ketika ada hubungan yang
masih belum akrab antara Idividu (Hersey, balnchard & Natemeyer,1979).
Kekuatan posisi brasai dan status getar seseorang, misalnya ‘pemimpmn kelompok”
au “tasititator”. Kekuatan personal lebih sering digunakan pada situasi
10.
Pemimpin di dalam kelompok
Kekuatan yang berhubungan dengan bantuan untuk
pemimpin kelompok menurut para ahli seperti Corey dan Corey (1992) serta
Jacobs, Harvill, dan Mason (1994) meliputi:
a. Kemudahan dalam menangani kelompok di dalam
situasi-situasi sulit.
b. Menggunakan model. Dengan adanya wakil pemimpin, anggota kelompok
dihadapkan kepada dua model interaksi manusia
c. Umpan balik. Apapun persoalan yang dibahas anggota, mereka menerima
dua kali umpan balik pemimpinnya ketika kelompok tersebut dipimpin oleh wakil
pemimpin.
d. Berbagai pengetahuan khusus. Jenis pembagian ini bisa berasal dan
respon terhadap situasi yang terjadi di dalam kelompok.
e. Pertimbangan pragmatis. Pada kelompok yang memakai wakil pimpinan,
memungkinkan bagi seorang pemimpin untuk menggantikan pemimpin lainnya jika
sebuah sesi kelompok tidak bisa dihadiri karena pertimbangan kesehatan atau
pertimbangan profesional. Keterwakilan mungkmnkan kelompok tersebut terus berlanjut
dan berkembang.
Keterbatasan kelompok yang memiliki wakil
pemimpin adalah sebagai berikut :
a. Kurangnya usaha koordinas
b. Terlalu terfokus kepada pemimpin
c.
Kompetisi.Kompetisi diatara para pemimpin kelompok akan berakibat pada bagian
efisiensi dan produktivitas kelompok tersebut. Para pemimpin juga bisa
kehilangan respek satu sama lain pada suasana semacam ini.
d. KoIusi.
Di dalam proses kolusi,seorang wakil pemimpin mengadakan suatu aliansi informal
dengan anggota suatu kelompok guna menunjukkan kualitas yang tidak disukai dan
wakil pemimpin lainnya. Hasilnya merupakan limpahan emosi yang tidak diharapkan
menjadi pemimpin yang tak berpihak dan memecah kelompok tersebut menjadi
fraksi-fraksi.
Tiga model utama kelompok dengan wakil pemimpin
adalah model yang:
a.bergantian,
yaitu, seorang pemimpin bertanggung jawab atas periioda atau suatu sesi
tertentu, dan pemimpin yang lainnya memberikan dukungan.
b.berbagi,yaitu,
dimana setiap pemimpin saling mengambil alih sementara dia terlihat fit.
c. saling mengisi
yaitu, pemimpin yang lebih berpengalaman mengemban tanggung jawab kelompok
dalam rangka menunjukkan kepada pemimpin yang baru bagaimana caranya bekerja
dengan kelompok.
BAB VI
KONSELING KELOMPOK
PERKEMBANGAN
A. Dasar Pemikiran.
1. Manusia
pada dasarnya dibekali dengan kemauan yang bebas, maka itu mempunyai kapasitas
untuk membuat pilihan-pilihan, untuk meakukan atau memilih hal yang baik atau
buruk.
2. Kerusakan otak,dungu orang yang benar-benar
terganggu jiwanya. Bahkan “kenormalan” kanena kondisi mungkin mempunyai
tingkat-tingkat yang bervariasi dan mempengaruhi kemauan bebas mereka.
3. Manusia mempunyai hati nurani yang terletak
pada apa yang disebut sebagai ketegangan semangat manusia (Fabry,1980).
4. Dengan
benanggapan bahwa ketegangan manusia yang “sehat” ini ada, manusia mempunyai kebutuhan dasar (bawaan) untuk
mengetahui dan untuk memahami. Kebutuhan ini memberi dasar pada berbagai asumsi
yang membangkitkan pandangan dan pendidikan yang mendasari model wawancara dan
model pelatihan keterampilan hidup.
5. Gazda (1984) menyatakan bahwa sebelumnya
tidak ada usaha untuk memberi pendekatan pada konseling kelompok yang bisa
diterapkan pada semua tingkat usia.
6. Pendekatan
(yang telah berkembang) untuk konseling kelompok dan pelatihan keterampilan
hidup menggunakan konsep tugas perkembangan dengan tindakan-tindakan penanganan
yang diberikan sebagai petunjuk umum untuk konselor kelompok dan pemimpin
pemimpin dalam latihan keterampilan hidup.
7.
Havighurst (1952, dalam Gazda,1 984:25) juga mengutip dua alasan mengapa konsep
tugas perkembangan berguna bagi para pendidik, konselor dan pelatih
keterampilan hidup. Pertama, membantu penemuan dan pernyataan tujuan pendidikan
(konseling) di sekolah-sekolah. Kedua, membantu penentuan waktu upaya
pendidikan (konseling).
8. Dengan dasar tugas perkembangan manusia,
yaitu rnbangan kognitif, perkembangan ego, perkembangan physical sexual,
perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan vocational, dan
perkembangan psychosocial, adalah untuk memberi para konselor dengan beberapa parameter global sehingga
mereka bisa menilai kemajuan individu.
Kesimpulannya, jika konselor mengetahui dimana
individu seharusnya berada dalam perkembangannya, mereka bisa bersifat sangat
preventif/melindungi dengan pemberian bantuan
pada satu waktu tertentu. Baik konseling kelompok maupun pelatihan
keterampilan hidup merupakan strategi-strategi pemberian bantuan yang
mendasarkan pada perkembangan individu yang dibantu.
Beberapa individu (Blocher,1 974; Brammer &
Shostrom, 1960; Erikson, 1950; Havighurst,1 952; Superetal.,1957;,1963),telah
mengembangkan berbagai skema kiasifikasi untuk tahap-tahap perkembangan. Untuk
tujuan konseling kelompok, tahap tahap tersebut bisa dibagi menjadi menjadi:
(1) masa kanak-kanak atau sebelum sekolah dan masa sekolah pada tahun-tahun
pertama, usia 5-9; (2) masa remaja awal, usia 9-13; (3) masa remaja, usia
13-20; dan (4) orang dewasa.
B. Ekologi Perkembangan Manusia
Ilmu ekologi adalah merupakan usaha berbagai
disiplin ilmu pengetahuan, yang tujuannya untuk memahami interaksi yang halus
dan dinamis antara mahluk hidup dengan berbagai aspek di dalam lingkungannya.
Pada penerapannya,ekologi secara khusus dikaitkan dengan memahami dan
mempertahankan keseimbangan yang ada di dalam suatu lingkungan, sehingga dapat
menjaga bekal kehidupan dan tumbuh kembang dan suatu mahluk hidup dapat
dipertahankan. Permasalahan pokok yang ada, terkait dengan daya survive fisik
dari suatu mahluk hidup. Dengan demikian ekologi perkembangan manusia atau
lingkungan perkembangan manusia akan berkaitan terutama dalam hal transaksi
antara individu dengan lingkungan pembelajaran mereka. Perkembangan muncul dari
interaksi antara proses biologis dan kecenderungan-kecenderungan yang timbul
dari struktur psikologis antara seseorang dengan ketentuan-ketentuan social
budaya dan fisik dan lingkungannya. Perkembangan itu juga terjadi manakala
manusia dihadapkan kepada tuntutan-tuntutan baru dan lingkungannya
C. Lingkungan Belajar Manusia
Lingkungan belajar secara khusus merupakan
potensi dan alat dalam membentuk model perilaku yang penting dalam perilaku
seseorang, yang pada akhirnya akan menentukan arah bagi perkembangannya dalam
jangka panjang.
Lingkungan belajar dapat dikatakan memiliki
pengaruh potensial karena :
1. Pengaruhnya amat kuat disebabkan oleh
faktor-faktor dalam lingkungan yang dimanfaatkan atau tidak, sehubungan
dengan kebutuhan dan motivasi dasarnya.
2.
Lingkungan belajar menjadi potensial karena bersifat intensif
berkelanjutan. Orang cenderung untuk banyak menggunakan waktu hidupnya di dalam
lingkungan belajarnya serta memanfaatkannya di dalam ia mengambil peran dari
padanya.
3.
Lingkungan belajar menjadi potensial karena melibatkan waktu interaksi.
Bentuk-bentuk interaksi itu akan menentukan dan memberikan arti kepada
munculnya kontinyuitas maupun diskontinyuitas.
Dalam
membantu individu mengembangkan dan menguasai perilaku yang diharapkan terletak
pada pengembangan lingkungan belajar, yakni lingkungan yang memungkinkan
individu memperoleh perilaku baru yang lebih efektif. Dalam konteks konseling
kelompok di sekolah, lingkungan sekolah adalah lingkungan perkembangan peserta
didik. Perilaku melakukan pengarahan diri (self-directed),
pengaturan diri (self-regulation),dan
pembaharuan diri (self-renewal),adalah
perilaku-perilaku yang harus dikembangkan melalui bimbingan dan konseling untuk
memelihara keserasihan pribadi lingkungan secara dinamis (Sunaryo
Kartadinata,1996:9-10).
Ada tiga struktur dalam lingkungan belajar yang
harus dikembangkan dalam suatu keutuhan yaitu :
1. Struktur
peluang, yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tugas, atau masalah, atau
situasi, yang memungkinkan individu-individu mempelajari berbagai kecakapan
hidup baik inter maupun antar pribadi, kapan menguasai dan mengendalikan pola
respon. Tindakan kongkrit yang dapat dilakukan konselor ialah merancang memilih
bahan, topik, atau tema konseling yang sesuai dengan misi fungsi, dan dengan
memperhatikan segi kehidupan perkembangan dan ekspektasi individu, serta.faktor
ekologis atau kontekstual.
2. struktur dukungan, yaitu perangkat
sumber yang dapat diperoleh individu di dalam mengembangkan perilaku baru untuk
merespon tingkat stimulus. Esensi struktur dukungan adalah transaksi dalam
proses konseling. Upaya nyata yang dilakukan konselor ialah memelihara
transaksi agar motivasi, optimisme dan komitmen terhadap standar hasil yang
harus dicapai individu tumbuh dan terpelihara.
3. struktur penghargaan, yaitu perangkat
sumber dalam pengalaman belajar yang dapat memperkuat perkiraan bahwa upaya
yang dilakukan itu sebagai sesuatu yang akan memberikan pemuasan kebutuhan.
Upaya nyata yang dapat dilakukan konselor ialah memberikan balikan sepanjang
proses konseling berlangsung, melakukan diagnosis dan mengidentifikasi
kesulitan, dan mengupayakan perbaikan serta penguatan perilaku baru. Konselor
bertindak sebagai psychoeducator yang aktif terlibat di dalam membantu sistem
berfungsi efektif, melalui pengembangan relasi dan transaksi, dan mendorong
perkembangan individu ke tingkat yang lebih tinggi. Apa yang diintervensi dalam
kelompok sebagai sistem, adalah cara berpikir dan bertindak individu dalam
kelompok. Proses bimbingan dan konseling adalah proses membelajarkan individu
secara lebih bermakna, dan belajar itu tidak berlangsung sendiri-sendiri
melainkan secara kolektif, kooperatif, dan transaksional di dalam kelompok, dan
terjadi dalam setiap tatanan atau setting kehidupan.
D. Pengertian, Asumsi,
Tujuan dan Prinsip
Konseling
kelompok perkembangan adalah upaya bantuan kepada sekelompok individu dengan
cara mendorong pencapaian tujuan perkembangan dan menfokuskan pada kebutuhan
dan kegiatan belajarnya. Maka pekerjaan konselor (khususnya di sekolah), adalah
membantu seluruh siswa tanpa kecuali dengan tujuan agar mereka mencapai taraf
perkembangan pribadi secara optimal dalam berbagai aspek kehidupannya.
Proses
perkembangan adalah proses yang berkelanjutan dan proses sepanjang hayat dan
konseling dimaksudkan untuk membantu individu mencapai perkembangan optimal.
Ini mengandung arti bahwa konseling dikehendaki untuk menyiapkan lingkungan
perkembangan manusia yang sehat dan membantu individu mempelajari dan
mengembangkan perilaku efektif normatif melalui interaksi yang sehat pula.
Ada empat
pendekatan dapat dirumuskan sebagai pendekatan dalam konseling, yaitu
pendekatan (a). krisis, (b)remedial, (c) preventif, (d) perkembangan (Myrick
dalam Muro & Kottman,1995). Dalam pendekatan
krisis konselor menunggu munculnya dan dia bertindak dalam pendekatan ini
adalah teknik-teknik yang secara “pasti” dapat mengatasi krisis itu. Didalam pendekatan remedial, konselor akan
menfokuskan tujuannya kepada upaya menyembuhkan atau memperbaki
kelemahan-kelemahan yang tampak. Tujuan bantuan dan pendekatan ini ialah
menghidarkan tenjadinya krisis yang mungkin terjadi. Pendekatan preventif mencoba mengantisipasi masalah-masalah genetik
dan mencegah terjadinya masalah.. Konselor yang menggunakan pendekatan perkembangan beranjak dari
pemahaman tentang keterampilan dan pengalaman khusus dibutuhkan individu untuk
mencapai keberhasilan di sekolah dan di dalam kehidupan. Pendekatan
perkembangan dipandang sebagai pendekatan yang tepat digunakan dalam tatanan
pendidikan sekolah kanena memberikan perhatian kepada tahap-tahap perkembangan
individu, kebutuhan dan minat, serta membantu mempelajari individu keterampilan
hidup (Myrick dalam Muro dan Koottman,1955).
Pendekatan
perkembangan berimplikasi bagi pelaksanaan konseling di sekolah, yaitu (1)
perkembangan adalah tujuan konseling, ini berarti bahwa konselor perlu memiliki
kerangka berfikir dan keterampilan yang memadai untuk memahami perkembangan
peserta didik sebagai dasar perumusan tujuan dan isi konseling; (2) interaksi
sehat merupakan iklim lingkungan perkembangan yang harus dikembangkan oleh
konselor (Blocher,1974).
Profesi
konseling memandang individu sebagai manusia yang berinteraksi dengan
lingkungan, sehingga perilaku manusia harus dipandang sebagai ekologi manusia
dengan lingkungan. Tugas konselor adalah menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif bagi berkembangnya potensi individu. lndividu berkembang di dalam
sistem umum yaitu adanya hubungan antara kondisi fisik-psikis individu dengan
lingkungan sosial-budaya.
Menurut
Blocher (1 974:5) asumsi dasar konseling perkembangan adalah bahwa kepribadian
individu berkembang secara optimal melalui interaksi yang sehat antara individu
dengan lingkungan atau budayanya. Lebih lanjut Blocher (1974:25) mengemukakan
sejumlah asumsi dasar tentang hakikat konseling, konselor, dan klien yaitu :
a. Orang yang mendapat
pelayanan konseling bukanlah orang yang sedang sakit mental.
b. Konseling perkembangan
berorientasi (berpusat pandang) pada masa kini dan masa yang akan datang.
c. Orang yang dilayani itu
adalah individu normal, bukan orang sakit.
d. Secara moral konselor
perkembangan tidak bersikap netral atau “tanpa moral”.
e. Klien dipandang sebagai
individu yang unik, sebagai individu yang berguna dan berusaha mengembangkan
identitas din serta melaksanakannya sesual dengan gaya hidupnya.
Konseling perkembangan tidak mempunyai tujuan
yang membuat lebih bebas, tidak mempunyai tujuan untuk membantu orang untuk
membangun jaringan kerja yang sesuai sehingga mereka bisa memperkaya
kehidupannya dan kehidupan orang lain. Asumsi dasar konseling perkembangan
adalah bahwa kepribadian manusia berkembang secara optimal dari hubungan yang
sehat antara organisme yang berkembang dengan buya atau lingkungan.
Konseling perkembangan sebagai usaha untuk
membantu seseorang memaksimalkan kebebasannya yang mungkin dalam batas-batas
yang diberikan oleh dirinya sendiri dan lingkungannya melalui peningkatan
kesadaran aspek “di sini dan sekarang” dan pengalamannya dan melalui
pengembangan struktur kognitif untuk membenarkan pengalaman (Blocher:974:6). Tujuan konseling perkembangan adalah
berkaitan dengan tingkah laku manusia yang efektif sebagai tindakan yang
memberikan kontrol jangka panjang terbesar atas lingkungannya dan respon-respon
afektif dalam dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Manusia yang efektif
mencari aspek-aspek lingkungannya yang bisa ia manipulasi dan mengontrol respon
emosinya sendiri pada aspek-aspek situasi yang tidak bisa ia kuasai
Muro & Kottman (1995:50-53) mengemukakan
prinsip-prinsip konseling perkembangan sebagai berikut :
- KonseIing dibutuhkan oleh semua siswa
- Konseling perkembangan memiliki fokus pada
kegiatan belajar siswa.
- Di dalam program konseling perkembangan,
konselor dan guru merupakan fungsionaris yang bekerjasama.
- Kurikulum yang terorganisir dan terencana
merupakan bagian vital dan konseling perkembangan.
- Konseling perkembangan peduli pada
penerimaan din, pemahaman din, dan peningkatan din.
- Konseling perkembangan menfokuskan pada
proses mendorong perkembangan siswa.
- Konseling perkembangan lebih berorientasi
kepada perkembangan yang terarah dan pada tujuan yang definitif.
- Konseling perkembangan berorientasi tim dan
mensyaratkan pelayanan dan konselor profesional yang terlatih.
- Konseling perkembangan peduli pada
identifikasi awal kebutuhan khusus siswa.
- Konseling perkembangan berkenaan dengan
psikologi terapan.
- Konseling perkembangan memiliki dasar-dasar
di dalam psikologi anak, perkembangan anak, dan teori belajar.
- Konseling perkembangan bersifat fleksibel
dan sekuensial.
Konseling perkembangan merupakan upaya bantuan
kepada individu yang bersifat pencegahan,pengatasan masalah,dan diarahkan
kepada pemberian kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhannya. Bersifat pencegahan dalam arti bahwa
individu dalam proses perkembangannya mempunyai kemampuan untuk berfungsi
secara wajar dan optimal,tetapi ada titik-titik lemah lemah dalam kehidupannya
sehingga mengganggu dalam proses perkembangannya. Apabila konseling
berhasil,maka titik-titik lemah itu segera dapat ditangulangi agar tidak
terjadi gangguan kepribadian yang berarti. Bersifat
pengatasan masalah yaitu bagi individu yang “terperangkap” dalam perilaku
yang cenderung menghambat perkembangannya,akan tetapi permasalahannya tidak
terlalu arah dan masih dalam batas-batas kewajaran (normal). Dalam hal ini
konseling hanya mempercepat dan memperlancar penyelesaian masalah yang dihadapi
oleh individu-individu yang bersangkutan. Bersifat
memberikan kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan individu
secara optimal.
E. Model
Konseling Perkembangan
Elemen-elemen
umum dalam proses konseling perkembangan,yaitu faktor hubungan,proses
komunikasi, proses kognitif,dan proses perubahan tingkah laku. Elemen-elemen
tersebut dapat diintegrasikan menjadi sebuah model sistematik untuk membimbing
konselor perkembangan dalam praktik. Model sistematik mi mempunyai kelebihan
karena memberikan pete kognitif yang dapat digunakan oleh konselor ketika
menghadapi situasi. Model sistematik mengasumsikan bahwa langkah pertama dalam
seluruh pnoses konseling perkembangan dimulai dan konselor itu sendiri, nilai ,
tujuan ,serta komitmen yang membatasi identitas profesionalnya. Konselor harus
benar-benar memahami tujuan yang terkait dengan kebutuhan dan persepsi klien
sebelum mulai intenvensi dalam sistem klien.
Model
konseling perkembangan menganut pola konseling yang holistic. Pola ini
mempunyai makna bahwa layanan yang diberikan merupakan suatu keutuhan dalam
berbagai dimensi yang terkait. Di dalam hubungannya dengan lingkungan
pendidikan, konseling dilaksanakan secara terpadu mulai dan lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Strategi yang diterapkan merupakan keutuhan
yang terpadu antara strategi kurikuler,
interaksi, pengembangan pribadi,dan dukungan sistem.
Model
konseling yang komprehensif, menggunakan keangka kerja yang disesuaikan dengan
kebutuhan individu dan memberikan kemungkinan untuk pengembangan program yang
spesifik sesuai dengan kebutuhan dan sumber-sumber setempat. Program mencakup
tujuan dan kegiatan dalam tiga bidang kompetensi yang saling berhubungan, yaitu
kompetensi belajar sepanjang hayat, kompetensi keefektifan pribadi, dan
kompetensi peranan-peranan hidup.
Kompetensi Belajar Sepanjang Hayat. Perubahan dalam berbagai segi kehidupan
merupakan salah satu ciri kehidupan modern. Oleh karena itu seseorang tidak
dapat belajar sesuatu hanya sekali dan berlaku untuk berbagai hal dan untuk
selama-lamanya. Ia harus senantiasa belajar terus menerus sepanjang hayat
sejalan dengan perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupannya.
Kompetensi Keefektifan Pribadi. Perkembangan manusia terjadi sebagai suatu
proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan, baik dengan adanya intervensi
ataupun tidak dari pihak lain. Tantangan bagi konselor adalah memberikan
intervensi secara sistematis agar individu dapat mengembankan konsep diri yang
sehat dan keterampilan interpersonal secara efektif.
Kompetensi Peran Hidup. Dalam keseluruhan perjalanan hidupnya, individu
akan berhadapan dengan banyak peran,posisi, dan peristiwa.. Semua itu menuntut
kompetensi tertentu agar dapat berperan secara tepat dalam menghadapi stuasi
tertentu Kompetensi hidup yang diharapkan dikuasai oleh individu meliputi
keterampilan kehidupan hari-hari, keterampilan perencanaan karir, dan
keterampilan kecakapan kerja.
Kegiatan dan Proses Konseling. Isi suatu program konseling yang komprehensif
hendaknya ada keseimbangan antara kebutuhan remaja dengan kebutuhan orang tua.
Tujuan-tujuan program setidaknya memperhatikan karakteristik sebagal berikut:
- Tujuan didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan
individu.
- Tujuan hendaknya ditata secara sekuensial
(berurutan) mulai dan TK hingga SLTA sesuai dengan proses perkembangan
individu.
- Tujuan hendaknya bersifat komprehensif dan
spesifik untuk mendukung perkembangan pribadi individu dalam bidang-bidang
yang berkaitan dengan konseling (kompetensi belajar sepanjang hayat,
keefektifan pribadi dan penan-peran hidup).
Adapun program kegiatan konseling perkembangan
yang komprehensif terdiri atas empat komponen, yaitu (1) layanan dasar
konseling, (2) layanan responsif, (3) sistem perencanaan individual, dan
pendukung sistem (Munro & Kottman,1995; Sara Champan,et.al, 1993). ,Layanan
dasar konseling adalah kegiatan layanan konseling yang bertujuan membantu
seluruh individu dalam mengembangkan keterampilan dasar untuk kehidupan..
Layanan dasar konseling perkembangan memiliki cakupan dan urutan bagi pengembangan
kompetensi individu. Kegiatan konseling terpadu dengan kegiatan-kegiatan
kurikulum yang terjadwal. Kegiatan itu dapat merupakan bagian mata pelajaran di
sekolah atau dapat diorganisasikan dalam bentuk topik-topik khusus yang
dilaksanakan secara terpadu dalam kegiatan-kegiatan kurikuler.
Layanan responsif adalah kegiatan layanan konseling yang bertujuan
untuk membantu individu memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan yang dirasakan
sangat penting oleh individu saat ini (Muro & Kottman,1995:5- 6). Kegiatan
ini merupakan bentuk pertemuan langsung antara konselor dengan para individu
dalam upaya membantu pencapaian perkembangan optimal individu. Tujuan komponen
layanan responsif adalah mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian pribadi
individu yang muncul segera dan dirasakan saat itu, berkenaan dengan masalah
pribadi,sosial,pendidikan, karir,keluarga, dan keberagaman. Layanan responsif
bersifat preventif dan remedial
Layanan perkembangan individu adalah kegiatan layanan yang bertujuan membantu
individu agar menjadi pribadi yang bertanggungjawab kemajuan dalam belajar.
Kegiatan perkembangan individu mencakupi segi intervensi sstematis yang
dirancang untuk membantu setiap individu memantau secara kontinyu dan memahami
pertumbuhan dan perkembangan mereka sesuai dengan tujuan hidupnya, nilai-nilai,
kecakapan, bakat, dan minatnya. Konselor dapat berperan sebagai “penasihat”,
“pengelola belajar”, dan “spesialis pengembangan”.
Dukungan sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang
bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program konseling
(Ellis,1990).
BAB VII
KONSELING KELOMPOK SEBAGAI SISTEM
A. Konsep Sistem
Sistem merupakan satu kesatuan yang kornpleks
dan terorganisasi, kesatuan atau kombinasi benda-benda atau bagian-bagian yang
membentuk kesatuan unit atau kesatuan yang kompleks (Johnson, Kast, &
Rosenzberg, 1963:4). Sistem merupakan kumpulan terpadu elemen-elemen yang
berinteraksi, yang dirancang untuk menjalankan fungsi yang telah ditentukan
dengan baik (Gibsori, 1960:58). Sistem merupakan kumpulan kesatuan atau
benda-benda yang menerima masukkan tertentu dan dipaksa untuk bertindak dengan
semestinya untuk menghasilkan hasil tertentu, dengan tujuan memaksimalkan
beberapa fungsi masukan dan hasil (Kerstner, 1960: 141). Menurut Umar
Tirtarahardja (1992:8) sistem sebagai suatu kesatuan integral dari sejumlah
komponen. Komponen-komponen tersebut mempengaruhi dengan fungsinya
masing-masing, tetapi secara bersama-sama fungsi komponen itu terarah pada
pencapaian suatu tujuan.
Berdasarkan definisi sistem tersebut diatas, ada
beberapa persamaan nyata.
Pertama,
sepertinya ada kesepakatan umum bahwa sistem selalu merupakan kesatuan
(gabungan, kumpulan, jaringan kerja, rangkaian). Ini menunjukkan bahwa sistem
selalu merupakan kesatuan dengan batasan-batasan tertentu. Sistem juga
merupakan totalitas.
Kedua, keseluruhan/kesatuan
selalu diartikan sebagai susunan bagian-bagian (komponen-komponen, obyek-obyek,
benda-benda, elemen-elemen) yang dikaitkan dan berinteraksi satu sama lain. Ini
menunjukkan bahwa bagian-bagian sistem diorganisasi dengan beberapa cara.
Definisi sistem yang akan digunakan untuk tujuan pengembangan model
konseling kelompok ini mencakup elemen-elemen yang banyak didapati beberapa
definisi sistem yang telah dibahas. Definisi ini disusun oleh Silvern (1965:1)
yang menggambarkan sistem merupakan struktur atau organisasi suatu kesatuan
yang secara jelas menunjukkan interrelasi bagian-bagian, dengan satu sama lain
dan dengan kesatuan itu sendiri.
Konsep sistem itu mengandung kompleksitas dan interdependensi. Maksudnya
bahwa di dalam suatu sistem terdapat komponen-komponen yang terbentuk dan
sekaligus juga menjadi bagiannya. Namun pada dasarnya suatu sistem itu
berkaitan dengan sistem-sistem yang lain baik secara horizontal maupun
vertikal, sehingga terdapat pengertian sistem dalam arti mikro dan sistem dalam
arti makro, dimana terdapat suatu sistem besar yang mencakup sistem-sistem
sebagai subsistem di dalamnya. Suatu sistem terdiri dari bagian-bagian yang
saling mempengaruhi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Penjelasan tentang sistem dapat juga dibuat sampai tingkat-tingkat yang
lebih rinci sehingga sistem sering dijelaskan sebagai sesuatu yang mengandung
subsistem-subsistem yang saling berinteraksi. Subsistem-subsistem ini sendiri
dipandang juga sebagai sistem-sistem yang lebih rendah tingkatannya, yang juga
memiliki subsistem-subsistemnya sendiri yang saling berinteraksi, dan demikian
seterusnya.
Komponen dasar sistem adalah masukan, proses, balikan , kontrol, dan
keluaran (Hussain, 1973:60). Tiga komponen dasar utama dalam sistem yaitu
masukan, proses dan keluaran, dapat digambarkan dalam bagan berikut ini:
Masukan merupakan komponen awal untuk pengoperasian sebuah sistem. Proses
merupakan kegiatan yang dapat mengubah masukan menjadi keluaran. Keluaran
sebagai hasil dari suatu operasi. Masukan, proses, dan keluaran merupakan
unsur normal dalam semua sistem, dan merupakan istilah yang digunakan untuk
menerangkan semua sistem.
§uatu sistem dikatakan baik apabila sanggup mempertahankan kondisi
keseimbangan terhadap perubahan lingkungan, dengan kata lain elemen-elemen yang
dianggap berpengaruh (parameter) tidak boleh diabaikan dalam membangun sistem
sehingga terbentuk sinergi atau nilai yang jauh lebih besar dibandingkan
penjumlahan biasa (Robert & Michael, 1991). Sistem yang terlalu
sederhana akan mengaburkan permasalahan pokok yang sesungguhnya, demikian juga
sebaliknya, bila terlalu kompleks akan sulit menfokuskan pada sasaran utama.
Jadi dalam melakukan pendekatan sistem bukan detil tetapi struktur yang
dianggap penting dikemukakan.
B. Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem yaitu suatu cara menganalisis
komponen-komponen~sistem "untuk membuat situasi yang mantap dan saling
berhubungan antar komponen dan menghimpun pandangan baru agar memberikan hasil
optimal dari sistem (Ryan,1972). Pendekatan sistem pada konseling kelompok
dirancang untuk memanfaatkan analisis ilmiah pada permasalahan pengelolaan
proses konseling kelompok dengan tujuan untuk pengembangan dan pelaksanaan
sistem operasi konseling kelompok untuk pemberian bantuan pada siswa yang terfokus
pada pengembangan pribadi, pencegahan dan pengatasan masalah. Pendekatan sistem
ditekankan pada hubungan timbal balik antar komponen atau subsistem.
Efektivitas sistem terletak pada keberhasilan menghubungkan komponen atau
fungsi satu dengan yang lain dalam keseluruhan sistem.
Konseling kelompok sebagai program layanan konseling
di sekolah perlu direncanakan, dikelola dan dilaksanakan secara sistem. Karena
konseling kelompok merupakan kegiatan yang kompleks, meliputi berbagai komponen
yang berkaitan satu sama lain. Berbagai komponen dan saling hubungan satu sama
lain yang ada dalam sistem konseling kelompok perlu dikenali, dikaji dan
dikembangkan sehingga mekanisme kerja komponen-komponen itu secara menyeluruh
membuahkan hasil yang maksimal.
Komponen-komponen sistem konseling kelompok bergerak dinamis dan saling
berhubungan secara fungsional, yang merupakan satu kesatuan organisasi. Sistem
konseling kelompok akan berjalan dengan baik, jika semua komponen-komponen
berada dalam kondisi baik, bergerak dan menjalankan tugas sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Apabila salah satu dari komponen sistem itu tidak
berfungsi, maka sistem konseling kelompok tidak akan berjalan dengan baik.
Program konseling kelompok merupakan komponen dari
program pendidikan di sekolah, dan merupakan subsistem dari masyarakat yang
mendukung (masyarakat sekitar). Tujuan konseling kelompok merefleksikan dan
menyokong tujuan pendidikan di sekolah. Pendekatan sistem menempatkan
keterkaitan sistem dalam perspektif dan menekankan tujuan pada pencapaian
tujuan efektivitas dan efisiensi sistem. Efektivitas ditujukan pada pencapaian
tujuan dan efisien ditujukan pada koordinasi yang harmonis dari
komponen-komponen dalam sistem.
C. Konseling Kelompok Sebagai Suatu
Sistem
Konseling kelompok dapat terlaksana dengan efektif
dan efisien apabila semua unsur yang terlibat dalam proses konseling dipandang
sebagai sistem. Variabel-variabel (komponen-komponen) sistem dalam konseling
kelompok yaitu variabel raw input (siswa/anggota kelompok); instrumental
input (konselor, program, tahapan dan sarana); enviromental input (norma,
tujuan, lingkungan sekolah); proses atau perantara yang
menyangkut jenis relasi/interaksi, perlakuan, kontrak perilaku yang disepakati
untuk dikuasai/diubah, dinamika kelompok; output yaitu berkenaan dengan
perubahan perilaku dan penguasaan tugas-tugas perkembangan serta
keberfungsiannya dalam sistem. Di dalam sistem, hubungan antara komponen satu
dengan komponen lain dikaji secara khusus dan mendalam dalam kaitannya dengan
tujuan yang ingin dicapai oleh setiap anggota kelompok.
Sunaryo Kartadinata (1997:9) menyatakan bahwa proses bimbingan menyangkut
proses perilaku individu di dalam sistem, sehingga yang menjadi target
intervensi bimbingan bukanlah individu yang terlepas dari sistem, melainkan
individu di dalam sistem, sehingga kepedulian utamanya terletak pada interaksi
individu di dalam sistem. Mendasarkan pada pernyataan tersebut, proses
konseling kelompok juga pada dasarnya suatu proses perubahan perilaku individu
di dalam sistem, target intervensi konseling kelompok adalah individu dalam
sistem, dan kepedulian utamanya terletak pada interaksi individu di dalam
sistem. Individu-individu di dalam sistem mempunyai tujuan yang ingin dicapai
melalui proses konseling kelompok. Tujuan yang ingin dicapai adalah perubahan
perilaku pada diri individu, baik dalam bentuk pandangan, sikap, sifat maupun
keterampilan yang lebih memungkinkan individu itu dapat menerima, mewujudkan
diri, mengembangkan diri, mencegah dan mampu mengatasi permasalahan secara
optimal sebagai wujud dari individu yang memiliki pribadi mandiri.
Siswa sebagai
anggota kelompok merupakan komponen dasar dalam sistem konseling kelompok. Di
daiam sistem konseling kelompok, anggota kelompok akan mengikat satu sama lain,
tidak hanya membawa masalah, kebutuhan yang perlu dipecahkan dan dipenuhi,
tetapi secara keseluruhan ia memiliki kualitas seperti kesehatan fisik,
penampilan, sifat genetik, usia, suku bangsa, adat istiadat, jenis kelamin,
status sosial-ekonomi, struktur motivasi, latar belakang lingkungan, dan
serangkaian nilai yang memberi warna dan sikap terhadap diri sendiri dan orang
lain, sehingga setiap individu dalam kelompok menjadi seorang yang unik. Dengan
demikian pemimpin kelompok dan anggota kelompok yang lain harus siap untuk
memberi respon terhadap keunikan-keunikan individu dalam kelompok. Anggota
kelompok merupakan komponen utama dalam proses kehidupan kelompok, sehingga
tanpa adanya anggota kelompok tidaklah mungkin ada kelompok.
Konselor sebagai
pemimpin kelompok, merupakan komponen dasar untuk pengoperasian sebuah sistem,
yaitu sistem konseling kelompok. Konselor dalam proses konseling kelompok harus
menguasai dan mengembangkan kemampuan (keterampilan) dan sikap yang memadai
untuk terselenggaranya proses kegiatan secara efektif. Konselor harus mampu
mengembangkan hubungan antara konselor dengan anggota kelompok, dan antar
anggota kelompok yang di dasarkan pada kepercayaan, pengertian dan rasa
menghargai.
Program, sebagai
komponen masukan instrumental dalam sistem konseling kelompok, yaitu
seperangkat kegiatan konseling kelompok yang dirancang secara terencana,
terorganisasi, terkoordinasi selama periode waktu tertentu dan dilakukan secara
kait mengkait untuk mencapai tujuan. Kejelasan dan ketepatan penyusunan program
memegang peranan penting dalam rangka keberhasilan pelaksanaan konseling
kelompok di sekolah. Tujuan penyusunan program ialah agar kegiatan konseling
kelompok di sekolah dapat terlaksana dengan lancar, efektif, dan efisien, serta
hasil-hasilnya dapat dievaluasi.
Sarana merupakan
seperangkat alat bantu untuk memperlancar proses konseling kelompok. Sarana
sebagai perangkaf alat bantu akan mempermudah pemimpin kelompok dan anggota
kelompok sebagai personil sistem dalam mencapai tujuan. Sarana yang dimaksud dalam
komponen instrumental input sistem konseling kelompok, yaitu ruangan, tempat
duduk dan perlengkapan administrasi lain untuk kegiatan konseling kelompok.
Tahapan sebagai komponen dalam sistem konseling
kelompok yang digunakan oleh konselor sebagai personil sistem dalam pemrosesan
masukan menjadi keluaran. Tahapan dalam konseling kelompok yang meliputi tahap
persiapan, tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap akhir.
Norma, tujuan dan lingkungan sekolah merupakan komponen dasar dalam sistem
konseling kelompok yang berkaitan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan
siswa. Norma kelompokadalah petunjuk yang harus dijalankan oleh kelompok
sebelum dan selama bekerja dalam kelompok. Norma kelompok yang berupa ketentuan
berkenaan dengan pengembangan suasana interaksi yang akrab, hangat, permisif,
terbuka, dan kerahasiaan. Masing-masing anggota yang berbicara dan menanggapi
pembicaraan orang lain harus dengan sopan, berusaha memahami dan menerima apa
adanya pendapat orang lain, mengendalikan diri dan bertenggang rasa. Aturan
lain, misalnya berbicara tidak perlu berkeliling bergiliran, dan tidak perlu
pula menunggu ditunjuk oleh konsebr kelompok, tetapi bicara tetap satu persatu,
tidak berebutan, setiap masalah yang dialami anggota dibicarakan sampai tuntas
satu persatu masalah, mana yang didahulukan pembahasannya dan urutan berikutnya
ditentukan secara musyawarah. Kerahasiaan merupakan titik etika dalam konseling
kelompok ( Plotkin,1978) dan merupakan komponen yang berharga sebagai syarat
untuk mengembangkan kepercayaan kelompok, hubungan, dan kerja produktif
(Gazda,1989:303). Apa yang terjadi dalam kelompok dilarang dibicarakan di luar
kelompok dengan orang lain.
Tujuan dirumuskan berdasarkan kebutuhan siswa,
perkembangan siswa dan tuntutan lingkungan. Tujuan yang ditetapkan dalam
konseling kelompok adalah target yang harus dipenuhi, motivator bagi konselor
kelompok dan anggota kelompok, merupakan imbalan dari hasil usaha, dan
menyebabkan perubahan rencana (Stewart, at.al, 1979:118). Tujuan konseling
kelompok merupakan kompas petunjuk arah ke mana konseling kelompok harus
menuju, dan apa yang ingin dicapai dari kegiatan konseling kelompok
dilaksanakan. Tujuan ialah kondisi yang diinginkan dalam sistem konseling
kelompok setelah terjadi proses dari masukan menjadi keluaran.
Lingkungan kehidupan nyata siswa di sekolah
adalah lingkungan belajar yang dapat mempengaruhi pengembangan dan memberikan
pemuasan kebutuhan siswa. Hakikat konseling kelompok terletak pada keterkaitan
antara lingkungan belajar dengan perkembangan siswa, dan konselor yang berperan
sebagai fasilitator serta perekayasa lingkungan. Lingkungan beiajar adalah
lingkungan terstruktur, sengaja dirancang dan dikembangkan oleh konselor untuk
memberi peluang kepada siswa mempelajari perilaku-perilaku baru sesuai dengan
kebutuhan siswa, norma, dan tuntutan lingkungan kehidupan nyata.
Komponen-komponen yang terkandung dalam konseling
kelompok sebagai suatu sistem, harus baik dan terpadu, sebab komponen-komponen
yang baik dan terpadu dapat menunjang lancarnya pencapaian tujuan konseling
secara optimal. Hubungan fungsional dan terpadu semua komponen dalam konseling
kelompok ini harus dinamis agar fungsi dari semua unsur terarah pada pencapaian
tujuan konseling yaitu terwujudnya perkembangan pribadi yang optimal, terhindarnya
dari masalah dan terpecahkannya masalah setiap anggota kelompok.
Hubungan fungsional dan keterpaduan semua
komponen dalam konseling kelompok memegang peranan penting dalam menentukan
keberhasilan konseling kelompok sebagai suatu sistem. Tanpa adanya hubungan
fungsional secara terpadu antara semua komponen, maka suatu komponen yang baik
kondisinya praktis tidak punya arti dalam pencapaian tujuan konseling.
D. Model Konseling Kelompok
Dalam merancang model konseling kelompok berdasarkan
pendekatan sistem, sebagai landasan teori untuk menopang penyusunan model
hipotetik digunakan model kelompok dan model proses (Bochler, 1987).
1.
Model Kelompok.
Model kelompok yaitu model intervensi konseling
dengan memanfaatkan proses kelompok. Banyak kerja konselor profesional
melibakan kerja dengan kelompok. Kelompok sebagai suatu kesatuan yang dinamis
mempunyai pengaruh langsung dan tak langsung pada anggota. Keberadaan orang
lain dapat meningkatkan atau memperbaiki unjuk kerja dan perkembangan orang
tergantung pada latar belakang persiapannya. Individu-individu dipengaruhi oleh
kelompok, dan sebaliknya, individu juga mempengaruhi fungsi kelompok.
Intervensi konseling melalui kegiatan kelompok
mempunyai dua rangkaian manfaat utama yang tidak diperoleh dalam pendekatan
konseling individual. Pertama, motivasi
manusia muncul dari hubungan kelompok kecil. Kedua, setiap usaha untuk
mengubah tingkah laku manusia di luar lingkungan alam dimana klien bekerja dan
hidup sangat tergantung pada efektivitas tingkat transfer pelatihan. Yaitu
tingkah laku-tingkah laku baru, pemahaman dan sikap harus ditransfer secara
sukses kegiatan konseling ke kehidupan klien. Metakukan transfer tingkah laku
merupakan salah satu dari masalah yang paling sulit di berbagai situasi
pembelajaran (Galassi & Galassi,1984; Wicker, 1972).
Semua anggota dalam kelompok seharusnya benar-benar
bersifat sukarela. Tidak ada jenis paksaan yang digunakan untuk memaksa
berpartisipasi. Informasi yang akurat dan komprehensif seharusnya tersedia
untuk semua calon anggota kelompok dengan memperhatikan tujuan-tujuan khusus
kelompok, jenis-jenis teknik yang dipakai dan kualifikasi profesional atau
kualifikasi kerja dan kredensial pimpinan. Kerahasiaan penting dalam semua
aspek konseling profesional. Dalam situasi kelompok, konselor profesional tidak
bisa menjamin bahwa semua anggota kelompok akan menghargai kerahasiaan anggota
kelompok. Pembahasan secara lengkaptentang masalah kerahasiaan seharusnya
dilakukan dengan calon anggota di awal sesion dan pada sesion-sesion awal itu
sendiri.
Ada tiga jenis kerangka kerja konseling kelompok, yaitu kelompok temu
dasar (basic encounter group), model analisis transaksional (transactional
analysis model), dan kelompok berpusat pada tema (theme-centered groups).
(Bochler, 1987). Kelompok
temu dasar merupakan contoh penggunaan pembelajaran eksperimental untuk
meningkatkan perkembangan diri. Pendekatan ini secara gratis telah digambarkan
oleh Carl Rogers (1970) dalam istilah apa yang ia pandang sebagai model
pembelajaran baru dan penting dalam budaya saat ini. Model kelompok analisis
transaksional (TA) dibentuk di sekitar kerangka kerja teoritis yang
dikembangkan oleh Berne (1964) dan
dipopulerkan dalam bukunya yang terkenal, Games People Play. Kelompok TA
diselenggarakan atas asumsi bahwa dalam situasi kelompok tertentu, orang
cenderung menggunakan serangkaian usaha sosial tertentu atau tingkah laku
interpersonal yang representatif terhadap cara-cara yang mereka operasikan
dalam bidang-bidang lain dalam kehidupan. Model kelompok yang berfokus pada
tema, memberi kontras pada kelompok temu dan kelompok analisis
transaksional (Cohn,1969, dalam Bochler,1987).
2. Model Proses
Sebuah proses konseling merupakan tahapan yang sangat,seperti perjalanan
yang kompleks dan tidak familiar. Setiap klien baru diterima, akan ada sebuah
tujuan yang harus dinegoisasikan, dan dalam setiap situasi dimana
kitamemberikan layanan-layanan, tampaknya seperti sebuah perjalanan yang penuh
petualangan. Semua konselor menggunakan model-model proses. Pilihan kita
sebenarnya adalah antara menggunakan beberapa urutan peta kognitif yang
dibentuk dari latihan kita, bacaan, atau pengalaman-peng^laman pribadi yang
lain, dan mengembara secara buta dalam sebuah pilihan-pilihan yang penuh teka
teki, alternatif dan pilihan terhadap apa yang akan kita tanggapi secara acak
atau apa yang akan kita abaikan.
Tugas dari setiap konselor profesional adalah memilih atau mengembangkan
satu atau lebih model-model proses yang digunakan dalam prakteknya. Kita hanya
mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada penelitian yang mendukung adanya klaim
yang mengatakan bahwa ada satu yang lebih supervisor secara umum dibandingkan
dengan pendekatan yang lain dalam hal klien, tujuan dan situasinya. Dalam
"meta analisis" pada penelitian psikoterapi yang dilakukan untuk
menganalisis hasil dari berbagai studi yang berbeda. Smith dan Glass (1977)
menyimpulkan bahwa selama bukti mendukung keefektifan secara umum dalam
psikoterapi, penelitian yang dilakukan tidak mendukung adanya satu pendekatan
yang superior terhadap yang lain.
Sebuah proses konseling merupakan tahapan yang sangat,seperti perjalanan
yang kompleks dan tidak familiar. Setiap klien baru diterima, akan ada sebuah
tujuan yang harus dinegoisasikan, dan dalam setiap situasi dimana
kitamemberikan layanan-layanan, tampaknya seperti sebuah perjalanan yang penuh
petualangan. Semua konselor menggunakan model-model proses. Pilihan kita
sebenarnya adalah antara menggunakan beberapa urutan peta kognitif yang
dibentuk dari latihan kita, bacaan, atau pengalaman-peng^laman pribadi yang
lain, dan mengembara secara buta dalam sebuah pilihan-pilihan yang penuh teka
teki, alternatif dan pilihan terhadap apa yang akan kita tanggapi secara acak
atau apa yang akan kita abaikan.
Tugas dari setiap konselor profesional adalah memilih atau mengembangkan
satu atau lebih model-model proses yang digunakan dalam prakteknya. Kita hanya
mempunyai sedikit atau bahkan tidak ada penelitian yang mendukung adanya klaim
yang mengatakan bahwa ada satu yang lebih supervisor secara umum dibandingkan
dengan pendekatan yang lain dalam hal klien, tujuan dan situasinya. Dalam
"meta analisis" pada penelitian psikoterapi yang dilakukan untuk
menganalisis hasil dari berbagai studi yang berbeda. Smith dan Glass (1977)
menyimpulkan bahwa selama bukti mendukung keefektifan secara umum dalam
psikoterapi, penelitian yang dilakukan tidak mendukung adanya satu pendekatan
yang superior terhadap yang lain.
Model-model proses, harus dipilih atau dirancang tidak hanyas etelah
melihat dan mereview secara kritis keseluruhan teori dan penelitian yang ada
atau setelah mempertimbangkan tujuan-tujuan profesional dan
karakteristik-karakteristik klien, tetapi juga harus dilakukan dalam latihan
yang menyeluruh dan hati-hati dalam melakukan instrospeksi agar seorang konselor
dapat mengorganisasikan dan memberi penekanan dalam identitas profesional dan
identitas pribadinya.
Untuk memilih dan merancang model proses, konselor harus mampu untuk
mengkonsepkan hasil atau masukan yang diharapkan untuk dicapai sebagai dasar yang
beralasan. Tujuan-tujuan konseling atau hasil yang diperlihatkan, dapat
diklasifikasikan sebagai pengembangan, pencegahan, dan penyembuhan. Tujuan umum
konseling perlu dikonsepkan untuk merancang atau memilih model proses,
tujuan-tujuan umum tertentu harus ditetapkan secara pasti dalam bentuk
kebutuhan yang dialami, aspirasi dan keadaan kehidupan dari klien tertentu atau
sistem klien.
Model proses selanjutnya harus dibentuk tidak hanya untuk menghasilkan
bentuk-bentuk hasil yang diberikan, tetapi mereka juga harus merefleksikan
kerakteristik dari klien dan variabel "masukan" lain yang dilibatkan.
Pada tingkat yang paling sederhana kita dapat mengkosepkan tiga rangkain dari
variabel-variabel input, yaitu variabel klien, variabel konselor, dan variabel
situasional. Karena klien dan sistem klien beragam dalam bentuk dari semua
kerakteristik pribadi dan organisasional, model proses yang efektif harus
fleksibel dan cukup menyeluruh baik untuk memenuhi dan menggandakan
perbedaan-perbedaan.
Asumsi dasar mode! proses dalam
intervensi konseiing yang harus dipahami oleh konselor (Bochler,1989) sebagai
berikut.
1. Konselor profesiona! memahami
diri mereka sendiri dan sistem klien dengan mana dia bekerja sebelum melakukan
intervensi apapun. Asumsi ini memperlihatkan bahwa konselor profesional mulai
dengan mempelajari dan memperjelas tujuan mereka sendiri, nilai dan komitmen,
dengan kata lain, dengan mengemukakan identitas profesional mereka sendiri
sebagai langkah pertama dalam melaksanakan pekerjaan dengan masing-masing klien
baru atau sistem klien. Konselor profesional perlu untuk memahami secara jelas
tujuannya, nilai-nilai dan peranan dari agen yang memperkerjakan mereka atau
institusi utama untuk mencampuri dengan klien. Pada akhirnya, konselor dianggap
paling tidak memulai proses perkembangan sebuah pemahaman kerja pada klien atau
sistem klien.Asumsi ini berarti bahwa sebelum mencoba untuk intervensi,
konselor telah mulai mengembangkan sebuah pemahaman dari keseluruhan sosial,
atau konteks lin'gkungan dalam hal mana intervensi akan dibatasi.
2. Konselor profesional mencapai secara proaktif untuk menemukan atau
menciptakan kesempatan untuk memajukan tujuan profesional mereka. Asumsi dasar
kedua ini memperlihatkan bahwa konselor profesional bertindak secara proaktif
lebih dari keadaan reaktif.
3. Sekali seorang profesional mengucapkan dan
menegoisasikan tujuan mereka dengan
klien dan sistem klien, mereka mencari secara
sistematis dan komprehensif untuk membawa, menanggung semua sumber yang tersedia.
Secara umum model digunakan untuk memberikan gambaran (description),
memberikan penjelasan (prescription), dan memberikan perkiraan (prediction)
dari realitas yang diselidiki. Dalam kaitan ini, Siregar (1991) mengungkapkan
bahwa suatu model yang baik memiliki kerakteristik sebagai berikut.
1. Tingkat generalisasi yang
tinggi. Semakin tinggi derajat generalisasi suatu model, maka semakin baik,
sebab kemampuan model untuk memecahkan masalah semakin besar.
2. Mekanisme transparansi. Suatu
model dikatakan baik jika kita dapat melihat mekanisme suatu model dalam
memecahkan masalah, artinya kita bisa menerangkan kembali (rekonstruksi) tanpa
ada yang disembunyikan. Jadi kalau ada formula, formula tersebut dapat
diterangkan kembali.
3. Potensial untuk
dikembangkan. Suatu model yang berhasil biasanya mampu membangkitkan minat
(interest) peneliti lain untuk menyelidikinya lebih jauh.
4. Peka terhadap perubahan
asumsi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pemodelan tidak pernah berakhir,
selalu memberi celah untuk membangkitkan asumsi.
Dalam rangka pengembangan model, diperlukan adanya
analisis sistem. Analisis sistem dilakukan untuk memahami bagaimana suatu
sistem yang diusulkan dapat beroperasi. Idealnya, seorang analis bereksperimen
langsung dengan sistem tersebut. Akan tetapi kenyataan yang dilakukan adalah
membangun model sistem tersebut dan menyelidiki perilakunya melalui model
tersebut.
Dalam pengembangan model umumnya menggunakan
prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. Elaborasi.
Pengembangan model dimulai dengan yang sederhana dan secara bertahap
dielaborasi hingga memperoleh model yang lebih representatif. Penyederhanaan
dilakukan dengan menggunakan sistem asumsi ketat, yang tercermin pada jumlah,
sifat, dan relasi variabel-variabelnya. Akan tetapi asumsi yang dibuat tetap
harus memenuhi persyaratannya, yaitu konsistensi, independensi,ekivalensi, dan
relevansi.
2. Analog!.
Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum,
teori yang sudah dikenal secara meluas tetapi pernah digunakan untuk memecahkan
masalah yang dihadapi.
3. Dinamis.
Pengembangan model bukanlah proses yang bersifat mekanistis dan linier.
Oleh karena itu, dalam tahap pengembangannya mungkin saja dilakukan
pengulangan.
Dengan demikian, pemodelan adalah proses membangun atau membentuk sebuah
model, dalam bahasa formal tertentu, dari suatu sistem nyata berdasarkan sudut
pandang tertentu. Sistem nyata akan dilihat dan dibaca oleh pemodel dan
membentuk image atau gambaran tertentu di dalampikirannya. Namun image, ini
tidak persis sama dengan sistem nyata, karena pemodel membacanya dengan
menggunakan sudut pandang tertentu. Sudut pandang yang dimaksud adalah visi
atau wawasan yang dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni: (1) sistem nilai yang
diyakini/dianut oleh pemodei, (2) \\rnu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel,
(3) pengalaman hidup dari pemodel (Kadarsah Suryadi & Ali Ramdhani,
1998:85).
Pengembangan model konseling kelompok di Sekolah
Menengah Umum dirancang untuk mengubah sistem menjadi efektif. Efektif berarti
menghasilkan keluaran sesuai yang diinginkan atau dapat bekerja, melayani dan
berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan. Konseling kelompok sebagai suatu
sistem terdiri dari komponen-kompoen yang dapat diidentifikasi. Jadi untuk
memperoleh sebuah sistem yang efektif keseluruhan sistem harus diperhatikan,
dipikirkan, dan dirancang secara baik. Keefektifan sebuah sistem konseling
kelompok akan berpengaruh terhadap keefektifan siswa dalam mencapai tujuan.
Oleh karena itu agar konseling kelompok dapat efektif harus dibangun mendasarkan
pada kerangka kerja sistem yang terdiri dari komponen-komponen sistem yang
tangguh sehingga dapat beroperasi secara baik yakni adanya kerja sama yang
harmonis antar komponen yang secara langsung mempengaruhi hasil.
Model konseling kelompok yang akan dikembangkan adalah konseling kelompok
yang dirancang dalam sebuah sistem yang mana bagian-bagian dari berbagai aspek
proses konseling diidentifikasi secara jelas dan diorganisasi ke dalam suatu
urutan khusus untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengembangan
pribadi dan menyelesaikan masalah klien. Pengidentifikasian elemen-elemen
proses konseling dan pengorganisasian elemen-elemen dalam suatu urutan secara
ideal ini tidak mengurangi fleksibelitas dalam proses konseling. Konselor
sebagai pemimpin kelompok mempunyai kebebasan untuk membuat
pengataman-pengalaman belajar khusus yang dirancang untuk membantu klien
mencapai tujuan. Pendekatan sistem konseling kelompok ini menggambarkan
sintesis pada tiga pendekatan ilmiah, yaitu teori pembelajaran, analisis
sistem, dan teknologi pendidikan.
Salah satu alasan dasar memilih pendekatan sistem
yang ilmiah adalah bahwa pendekatan tersebut member! metodologi yang terbaik
untuk merancang dan menguji model konseling kelompok. Suatu pendekatan sistem
seperti yang akan dijelaskan dalam konseling kelompok, memberi teknologi dalam
bentuk model flowchart yang menunjukkan urutan dasar dan optimal fungsi-fungsi
dan pengoperasian yang seharusnya konselor lakukan. Bahasa yang sederhana,
langsung dan mudah dipelajari digunakan untuk memandu konselor dan klien
menjalani proses konseling kelompok. Apabila proses konseling kelompok dianggap
bersifat holistik, model sistem konseling kelompok memberi perlindungan
teknologi sebelumnya atau yang diproduksi dimasa yang akan datang, bisa
dimanfaatkan atau digunakan bila diperlukan.
Sistim konseling kelompok merupakan subsistem
bimbingan di sekolah sehingga usaha pengembangannya perlu dikaitkan dengan
tujuan dan misi bimbingan. Bimbingan merupakan subsistem dari sistem pendidikan di sekolah sehingga
tujuan bimbingan dan misi bimbingan harus sesuai dengan tujuan dan misi
pendidikan di sekolah. Atas dasar itulah sistem konseling kelompok tidak akan
lepas dari sistem-sistem lain yang ada di sekolah dan juga di luar sekolah yang
terkait.
Perencanaan pengembangan model konseling kelompok
sebagai suatu sistem, melibatkan 3 aktivitas utama, yaitu : (1) penganalisaan,
(2) sintesis, dan (3) simulasi (Rosalinda, 1991). Penganalisaan sistem meliputi
: (a) menetapkan kerangka kerja konseptual, (b) menganalisa lingkungan dari
organisasi bimbingan, dan (c) need assessment. Penetapan kerangka kerja
konseptual penting agar semua yang terlibat di dalam perencanaan sistem,
pelaksanaan dan pengevaluasian memiliki kesamaan dasar dalam penyampaian semua
bagian sistem yang ada, menjelaskan kunci-kunci konsep, dan alasan pengembangan
sistem. Penganalisaan lingkungan dari organisasi bimbingan melibatkan kompoonen
yang sama dengan pengkoseptualisasian ideal. Sistem balikan merupakan bagian
dari model ini yang memberikan informasi terus menerus pada titik keputusan
yang sesuai Cara pendekatan sistem pada pengembangan model sistem konseling
kelompok menjamin suatu penanganan secara dinamis, perencanaan merupakan fungsi
yang bersifat terus menerus dan model-model baru dievaluasi dan di uji-cobakan
dari waktu kewaktu guna memperbaiki sistem yang sudah ada. Keberhasilan
pengembangan model konseling kelompok sebagai suatu sistem bergantung pada
kejelasan tujuan-tujuan kemudian dijabarkan dalam program yang bersifat
spesifik bagi komponen-komponen sistem yang ada guna mengikuti hirarki untuk
pencapaian tujuan sistem.
Model yang digunakan dalam pengembangan sistem konseling kelompok yaitu
model flowchart. Model konseling kelompok di SMU dikembangkan dengan model flowchart
yaitu dibentuk melalui grafik atau diagram yang menunjukkan arus proses yang
bekerja secara logik untuk menggambarkan sistem, komponen sistem dan hubungan
antara komponen (Hussain, 1973; Salim, 1990).
Dalam pengembangan model konseling kelompok sebagai suatu sistem,
akuntabilitas di perlukan. Akuntabilitas berkaitan dengan pengevaluasian
penampilan sistem dalam melaksanakan sasaran yang telah di rumuskan secara
jelas. Suatu sistem akuntabilitas merupakan satu perangkat prosedur-prosedur
yang menbanding-bandingkan informasi tentang keberhasilan melaksanakan suatu
kerja dan biaya guna memudahkan pembuatan keputusan (Krumboltz, 1974).
Informasi semacam ini dapat digunakan secara baik dan juga untuk hal-hal yang
buruk. Apa yang harus dilakukan oleh sistem akuntabilitas adalah untuk
menyediakan informasi tersebut.
Model konseling kelompok yang akuntabel adalah : (a)
tujuannya jelas dan dapat dijabarkan menjadi tujuan-tujuan khusus, (b)
kegiatannya dapat diawasi agar selalu mengarah kepada pencapaian tujuan, (c)
hasilnya efektif karena tujuannya tercapai, (d) proses pencapaian hasil itu
efisien dengan mengingat sumber-sumber yang tersedia, dan (e) mekanisme umpan
balik jelas untuk penyempurnaan sistem (Program Akta mengajar V-B, 1982).
Konsepsi akuntabilitas pada dasarnya tidak menghendaki adanya
penyimpangan-penyimpangan dalam suatu sistem, baik disengaja maupun tidak
disengaja.
Sistem konseling kelompok yang dikembangkan akan
mudah dipertanggungjawabkan kepada pengguna sistem, yaitu siswa untuk
pengembangan pribadi dan pemecahan masalah, konselor untuk keputusan bantuan
kepada siswa, dan juga penyandang dana kegiatan konseling kelompok yaitu kepala
sekolah. Hal ini karena tujuan sistem konseling kelompok dirumuskan secara
jelas sehingga diketahui dengan tepat hasil sistem, kegiatan yang dilakukan
mengarah pada pencapaian tujuan, penilaian mudah dilakukan untuk mengetahui
seberapa jauh tujuan telah tercapai dan berapa banyak biaya yang dikeluarkan,
dan umpan balik dapat dilakukan untuk penyempurnaan perumusan tujuan dan cara
kerja komponen-komponen dalam sistem.
Untuk mengevaluasi model sistem konseling kelompok
yang dikembangkan, tujuan sistem dijadikan tujuan evaluasi. Bila tujuan
evaluasi tercapai berarti tujuan sistem juga tercapai. Oleh karena itu, sistem konseling
kelompok yang dikembangkan, tujuannya dirumuskan secara jelas, kegiatan sistem
mengarah pada pencapaian tujuan dengan memanfaatkan sumber-sumber yang
tersedia, sehingga hasilnya tercapai sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Dengan demikian, sistem konseling kelompok yang dikembangkan dapat
dipertanggung jawabkan atau akuntabel.
Akuntabilitas pengembangan model sistem konseling
kelompok yang efektif harus memperhatikan kriteria yang menurut Krumboltz
(1974) perlu dikenali, yaitu:
1. Tujuan
model sistem konseling kelompok yang dirumuskan harus disetujui oleh semua
pihakyang berkaitan, yaitu konselor, siswa, kepala sekolah, guru, dan orang
tua, agar dalam melaksanakan kerja sistem dapat berhasil. Dengan adanya
pemahaman dan pengertian yang jelas tentang tujuan sistem, maka akan ada kerja
sama dan saling percaya dalam mencapai tujuan sistem.
2.
Keberhasilan pelaksanaan kerja sistem konseling kelompok, harus
dinyatakan dengan perubahan-perubahan perilaku penting yang bersifat dapat
diamati dari pihak konselor dan siswa sebagai pengguna sistem. Hasil-hasil
untuk setiap siswa dan konselor sebagai pengguna sistem harus dapat diamati,
disesuaikan dengan situasi siswa yang bersangkutan, dan disetujui oleh konselor
dan siswa sebagai pengguna sistem.
3. Aktivitas-aktivitas sistem harus dinyatakan
sebagai sebagai pengeluaran biaya dan bukannya pengeluaran keberhasilan
pelaksanaan kerja. Pelaksanaan sistem konseling kelompok yang banyak
menggunakan waktu adalah bukan merupakan suatu "accomplishment" tetapi
merupakan "biaya". Accomplishment adalah apa yang berhasil dipelajari
atau didapat oleh siswa sebagai akibat dari hasil pelaksanaan sistem konseling
kelompok.
4. Akuntabilitas pengembangan sistem konseling kelompok disusun guna
memajukan efektivitas layanan konseling kelompok kepada siswa. Akuntabilitas
akan berlangsung baik jika secara penuh didukung oleh setiap personil yang
terlibat dalam sistem konseling kelompok. Kerjasama antar personil dalam sistem
dan dengan pihak-pihak yang terkait akan mendukung pencapaian tujuan sistem.
5. Semua pemakai sistem konseling
kelompok yang akuntabel harus terlibat dalam perancangan sistem tersebut.
Konselor harus yang paling utama dalam menyusun sistem, karena konselor yang
diharapkan mengoperasikannya. Demikian juga, guru, kepala sekolah, dan siswa
harus menyumbangkan gagasan-gagasannya dan kerjasamanya.
6. Setiap akuntabilitas itu
sendiri harus bersifat "tunduk" terhadap pengevaluasian dan
pengubahannya jika diperlukan. Suatu sistem akuntabilitas dalam pengembangan
sistem konseling kelompok akan memakan waktu dan tenaga, dan harus terbukti
sebagai sesuatu yang bermanfaat dengan biaya yang digunakan.
BAB VIII
MODEL KONSELING KELOMPOK
Model konseling kelompok ini hasil studi
pengembangan berdasarkan pendekatan sistem di
SMU Negeri kota Semarang yang disusun untuk disertai bidang bimbingan dan konseling. Penelitian
dilakukan melalui enam tahap kegiatan, yaitu:
Tahap
I : Persiapan Pengembangan Model Konseling Kelompok
Kegiatan yang dilakukan peneliti pada tahap ini
adalah sebagai berikut:
a. studi
evaluasi, yaitu mencari informasi untuk pengembangan (memotret kondisi obyektif di
lapangan) yang meliputi:
(1) Mendiskripsikan temuan penelitian tentang kebutuhan siswa yang berorientasi pada pencegahan
terhadap gangguan kepribadian pengatasan masalah, dan kemudahan dalam rangka perkembangan dan pertumbuhan
kepribadian
(2) mendiskripsikan temuan penelitian tentang kondisi obyektif lingkungan belajar siswa di sekolah
(3) Mendiskripsikan temuan penelitian tentang implementasi aktual
konseling kelompok di SMU
b.
Mengkaji konseptual model konseling kelompok
c. Mengkaji hasil-hasil peneiitian
yang relevan dengan pengembangan model konseling kelompok.
d. Mengkaji ketentuan formal
pelaksanaan konseling di SMU
Tahap
II : Merancang Model Hipotetik Konseling Kelompok
Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah sebagai berikut:
a.
Merancang model hipotetik konseling kelompok
b. Analisis kesenjangan antara model konseling
kelompok hipotetik dengan implementasi aktual konseling kelompok di lapangan.
c. Mendisikripsikan kerangka kerja kolaboratif
dengan personil konseling (konselor) di lapangan dalam menguji kelayakan model hipotetik konseling kelompok.
Tahap
III : Uji kelayakan Model hipotetik Konseling kelompok.
Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan:
a. Uji kelayakan melalui seminar dan lokakarya
(semiloka) dengan para ahli, teman sejawat, dan konselor di SMU Negeri Kota Semarang.
b.
Mendiskripsikan hasil pelaksanaan uji kelayakan.
Tahap
lV : Perbaikan Model Hipotetik (ModelTeruji l).
Berdasarkan hasil pelaksanaan uji-kelayakan,
peneliti melakukan kegiatan:
a. mengevaluasi hasil uji-kelayakan model hipotetik.
b. Memperbaiki model hipotetik secara
kola.boratif.
c. Tersusun model hipotetik konseling kelompok di SMU (model teruji
I).
Tahap V :
Uji-lapangan (Uji-Empirik) Model Hipotetik.
Pelaksanaan uji-lapangan dilakukan bersama
konselor dan kepala
sekolah, melalui langkah-langkah berikut ini.
a. Menyusun rencana kegiatan uji-lapangan.
b. Melaksanakan uji-lapangan.
c. Mendsikripsikan hasil pelaksanaan uji-lapangan
Tahap Vl : Merancang Model "Akhir" Konseling
Kelompok ( Model teruji II ).
Langkah-langkah yang ditempuh dalam tahapan ini
adalah sebagai berikut:
a. Mengevaluasi hasil uji-lapangan model
konseling kelompok (teruji l).
b. Memperbaiki model konseling kelompok secara
kolaboratif.
c. Tersusun model "akhir' konseling kelompok
(model teruji II).
Tujuan akhir penelitian adalah untuk rnenghasilkan model konseling kelompok berdasarkan pendekatan sistem yang dapat meningkatkan mutu layanan konseling dan oapat diterapkan di SMU.
3. lmplementasi aktual
layanan konseling kelompok di SMU
a. Target populasi layanan konseling kelompok
Sasaran layanan konseling kelompok di SMU adalah semua siswa yang membutuhkan bantuan,
baik terfokus pada pencegahan, pengatasan masalah, maupun pada pemberian kemudahan dalam
rangka perkembangan dan pertumbuhannya. Namun berdasarkan temuan,pelaksanaan
layanan konseling kelompok lebih terfokus pada pengatasan masalah, sehingga
siswa yang diberi layanan konseling kelompok terbatas pada siswa yang
bermasalah.
b. Penyusunan Program
Dasar kebijakan diselenggarakan layanan konseling di sekolah adalah : UUSPN
No.2 tahun 1989, pp No.29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Kurikulum SMU
tahun 1994, dan seri pemandu Pelaksanaan Birnbingan dan Konseling (SPPBK) di
SMU; dengan alasan sebagai dasar hukurn dan pedoman penyelenggaraan.
c. Ketenagaan
Perbandingan
jumlah guru pembimbing dengan jumlah slswa di SMU sangat
bervariasi. Ada yang 1: 450; ada yang 1
: 350; ada yang 1 : 200. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa rasio jumlah guru pembimbing dengan
jumlah siswa adalah 1 : lebih dari 150. Fenomena ini mengandung makna bahwa
tidak semua guru pembimbing di SMU Kota Semarang adalah konselor yang sudah
profesional ditinjau dari segi pendidikan prajabatan.
d. lsi
dan metode layanan
Isi layanan
konseling kelompok ditetapkan berdasarkan isi layanan yang dirumuskan dalam
Kurikulum BK dan SPPBK, karena dipandang sebagai pedornan. Fenomena ini
mengandung makna bahwa penetapan isi layanan tidak realistik, karena tidak
didasarkan kepada kebutuhan obyektif atau riil siswa. Isi layanan konseling
kelompok yang diprogramkan di SMU adalah bidang pribadi, sosial, belajar, dan
karir. Jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling
yang diprogramkan di semua SMU adalah layanan orientasi, layanan informasi,
layanan penempatan clan penyaluran, layanan pembelajaran, layanan konseling
perorangan, layanan bimbingan kelompok, dan layanan konseling kelompok, dan
kegiatan penunjang yang meliputi instrumentasi bimbingan, himpunan data,
konferensi kasus, kunjungan rumah, dan alih tangan kasus.
e. Sarana
dan Prasarana
Sarana
berkenaan dengan kelengkapan administrasi, alat pengumpul data, penyirnpan
data, dan perlengkapan teknis layanan konseling, sebagian besar sudah tersedia
di SMU. sedangkan yang berkenaan dengan perlengkapan fisik, semua SMU mempunyai
ruangan konseling, meskipun luas ruangan sangat bervariasi, di SMU sudah
tersedia sarana dan prasarana konseling, namun belum visibel untuk digunakan
sebagai kegiatan konseling yang ideal.
f. Sistem
Pengelolaan
Sistem
pengeloiaan konseling kelompok di sekolah telah melibatkan berbagai unsur terkait, yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
konselor wali kelas, guru mata pelajaran, dan siswa.
Kepala sekolah, wakil kepala sekolah, wali kelas, guru mata pelajaran di dalam
penyelenggaraan layanan konseling kelompok sudah berpartisipasi, namun belum
tepat dan belum optimal sesuai dengan deskripsi tugas sebagaimana dirumuskan
dalam kurikulum BK; karena pada umumnya kurang memahami, kurang berminat, dan
banyak disibukkan dengan tugas-tugas lain
yang dianggap lebih penting, dari pada kegiatan konseling kelompok. Ada beberapa konselor di SMU yang mempunyai jam atau waktu khusus
masuk kelas selama 2 x 45 menit untuk setiap minggu, sehingga konseling belum bisa dilaksanakan secara terprogram. Konselor
seharusnya dapat mengatur waktu untuk konseling dengan
beberapa alternatif, yaitu : (1) terjadwal seperti jam pelajaran, (2) terjadwal
tersendiri secara individual, (3) mengarnbil waktu d iluar jam pelajaran, (4)di
luar jam pelajaran sekolah (Kurikulum SMU 1994; SK Mendikbud Rl No. 025/0/1995).
Namun dalam kenyataan di lapangan konselor masih banyak
mengharapkan pelaksanaan konseling terjadwal
seperti jam pelajaran, disisi lain sekoiah tidak memberikan jam khusus,
sehingga konsellng tidak dapat dilaksanakan. Lima tahap
kegiatan konseling, yaitu penyusunan program konseling, pelaksanaan konseling.
evaluasi pelaksanaaan konseling, analisis evaluasi pelaksanaan konseling, dan
tindak lanjut pelaksanaan konseling, sesuai dengan tugas pokok guru pembimbing
di sekolah (SK Mendikbud Rl No.025/0/1995: 18),
g. Proses
konseling kelompok
Proses
konseling kelompok meliputi tahap permulaan' tahap peralihan,
tahap kegiatan, dan tahap pengakhiran yang di dalamnya akan terjadi interaksi secara harmonis antara masukan mentah (siswa),
masukan instrumen (konselor, program, prosedur, sarana),
dan masukan lingkungan (norma, tujuan,
lingkungan sekolah) sehingga akan menghasilkan keluaran
perubahan perilaku yaitu siswa tercegah dari masalah, masalah siswa teratasi, dan pribadi siswa berkembang).
h.
Evaluasi pelaksanaan konseling kelompok
Evaluasi
yang dilakukan oieh konselor belum rutin dan baru terbatas pada evaluasi kesesuaian antara program dengan pelaksanaan dan kualitas pelaksanaan program. Aspek lain yang belum dievaluasi yaitu hambatan; dampak layanan terhadap kegiatan belajar mengajar, respon siswa,
personil sekolah, orang tua dan masyarakat terhadap
layanan konseling pada umumnya dan konseling kelonrpok pada khususnya.
i. Faktor
kontekstual
Isi
kegiatan cenderung mengacu pada Kurikulum BK dan SPPBK di SMU. Sumber-sumber dari lingkungan sekolah, rnasyarakat dan kebutuhan
siswa belum dimanfaatkan untuk isi/materi layanan konseling kelompok. Kegiatan-kegiatan layanan yang dilaksanakan cenderung masih“steril”, baik dari isi
kgiiatan maupun kerjasamanya dengan pihak-pihak terkait.
4. Analisis Kebutuhan Model Konseling Kelompok
a.
Berdasarkan Kebuttrhan Siswa
Hasil
analisis kualitatif terhadap tingkat pencapaian pemenuhan kebutuhan siswa, kondisi lingkungan di sekolah, dan implementasi
actual layanan konseling kelompok di SMU, menunjukkan bahwa siswa membutuhkan bantuan konseling kelompok dalam semua aspek perkembangan yang terfokus pada pengembangan pribadi pencegahan dan pengatasan masalah.
b.
Berdasarkan Lingkungan Siswa diSekolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan siswa di sekolah Menunjang terhadap pemenuhan kebutuhan siswa, konselor perlu merancang lingkungan pemenuhan kebutuhan dengan memberi peluang kepada siswa untuk
mempelajari perilaku-perilaku baru yang sejalan dengan kebutuhannya.
c. Berdasarkan lmplementasi Aktual Konseling
Keiompok
Data hasil
penelitian menunjukkan bahwa layanan konseling kelompok dirasakan bermanfaat
bagi siswa,konselor,guru mata pelajaran wali kelas,
dan kepala sekolah. Namun demikian, pelaksanaan dan hasil dari konseling kelompok belum optimal. Kendala
yang ditemukan sebagai pengharnbat pelaksanaan konseling
kelompok di sekolah, menunjukkan adanya : (1) keterbatasan kemampuan konselor dalam menangani sejumlah siswa yang menjadi tanggungjawabnya, (2) keterbatasan kemampuan konselor dalam melaksanakan konseling kelompok, (3) belum ada model
konseling kelompok yang mudah dilaksanakan oleh konselor,
dan (4) keterbatasan kemampuan konselor
dalam mengelola semua komponen yang terkandung dalam
sistem konseling kelompok. Konselor perlu menguasai semua komponen yang terkandung dalam sistem konseling kelompok, yaitu input ( raw
input, instrumental input, enviromental input), proses.
output, monitoring & evaluasi, cian kontrol beserta cara kerjanya, sehingga
akan dapat melaksanakan konseling kelompok secara efektif,
efisien dan profesional.
B.
Model Konseling Kelompok Berdasarkan Pendekatan Sistem
Model konseling kelompok ini terdiri atas komponen-komponen: (1) rasional,
(2) visi dan misi konseling kelornpok, (3) tujuan konseling kelompok, (4) isi
konseling kelompok, (5) pendukung sistem konseling kelompok, (6) konseling
kelompok berdasarkan pendekatan sistem.
1.
Rasional
Pada tataran makro legalitas secara kelembagaan, keberadaan konseling di
dalam pendidikan dijamin oleh undang-undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No 28 dan No. 29 tahun 1990 tentang
pendidikan dasar dan menengah.
2. Visi dan Misi Konseling Kelompok
Visi konseling kelompok adalah pengembangan, pencegahan, dan pengatasan masalah, yang
menjunjung tinggi niiai-nilai dan potensi kemanusiaan dalam berbagai bentuknya.
Visi ini dikatakan pengembcngan, karena fokus tujuan konseling kelompok adalah
pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa secara optimal. Dikatakan pencegahan, karena fokus kepedulian konseling kelompok
adalah pencegahan terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangan
siswa. Sedangkan dikatakan pengatasan masalah, karena fokus utama kepedulian
konseling kelompok adalah membantu mempercepat dan memperlancar penyelesaian
masalah siswa.
Misi konseling kelompok adalah pemberian bantuan kepada slswa dalam mengembangkan seluruh
potensi untuk mengoptimalisasikan pencapaian tugas-tugas perkembangan, mencegah
kondisi yang dapat menghambat perkembangan, dan memperbaiki atau menjembatani
kesenjangan antara perkembangan aktual dengan perkembangan yang diharapkan.
3. Tujuan Konseling
Kelompok
Berdasarkan
visi dan misi konseling kelompok serta kebutuhan siswa,tujuan umum konseling
kelompok (Hansen, Warner & Smith dalam Larrabee &
Terres,1984; Gazda, 1984; Rochman Natawidjaja,l987; Corey' 1985) adalah:
a.
memberikan kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhan siswa berkaitan dengan
pribadi, sosial, belajar dan karir.
b. membantu
menghilangkan titik-titik lemah yang dapat mengganggu siswa
berkaitan dengan pribadi, sosial, belajar, dan karir
c. membantu
mempercepat dan memperlancar penyelesaian masalah yang
dihadapi siswa berkaitan dengan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
Secara khusus layanan konseling kelompok bertujuan membantu siswa dalam:
a. belajar
mengembangkan kemampuan mengenal diri terkait dengan aspek moral, intelektual
dan emosional.
b. belajar mengembangkan sikap positip terhadap diri sendiri dan
lingkungan.
c. beiajar mengembangkan penerimaan diri dan perasaan menghargai diri
sendiri
d. belajar lebih terbuka dan juiur terhadap diri sendiri dan
orang lain.
e. belajar untuk mempercayai diri sendiri
dan orang lain.
f. belajar untuk lebih akrab dengan orang lain.
g. belajar untuk bergauldengan sesama jenis atau
lawan jenis.
h. belajar untuk berkomunikasi dengan orang lain.
i. belajar meningkatkan kesadai.an diri, sehingga
akan merasa bebas dan dapat lebih tegas dalam memilih dan menentukan
j. belajar untuk memberi dan menerima
k. belajar untuk memecahkan masalah.
l. belajar untuk memberikan perhatian kepada
orang lain.
m. belajar lebih peka terhadap kebutuhan dan
perasaan orang lain.
n. belajar untuk memberikan umpan balik dan konfrontasi
demi kepentingan dan
perkembangan pribadi orang lain
o. belajar menerima perbedaan pendapat dengan
orang lain
p. belajar memiliki rasa tanggung jawab terhadap
diri sendiri dan ingkungan belajar mengembangkan keterampilan berhubungan antar pribadi
r. belajar membuat kpputusan secara efektif
s. belajar mengembangkan sikap dan perilaku
emosional yang mantap.
t. belajar rnengembangkan kemampuan dan
keterampilan intelektual
yang matang.
u.belajar mengembangkan sikap dan perilaku sosial
yang bertanggungjawab.
v.belajar mengembangkan kemampuan memilih dan membuat keputusan
karir.
w.beiajar menjadi konkruen dengan diri sendiri,
dapat menyatakan apa yang dipikirkan dan di percaya.
Isi Konseling Kelompok
lsi konseling kelcmpok ini dapat dirinci menjadi pokok-pokok berikut:
(1) Kebiasaan dan sikap dalam beriman dan bertaqwa ierhadap TuhanYME
(2) Pengenalan dan penerimaan perubahan pertumbuhan, dan perkembangan fisik dan psikis yang terjad idalam diri sendiri.
(3) Pengenalan tentang kekuatan diri sendiri,
bakat, minat serta penyaluran dan pengembangannya.
(4) Pengenalan tentang kelemahan diri dan
usaha-usaha penanggulangannya.
(5) Kemampuan mengambil keputusan dan pengarahan
diri sendiri.
(6) Perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat
(7) Kemampuan berkomunikasi, serta menerima dan menyampaikan
pendapat secara logis, efektif, dan produktif.
(8) Kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial, baik di rumah,
di sekolah, maupun di masyarakat luas dengan menjunjung tinggi tatakrama, sopan
santun, serta nilai-nilai agama, adat, hukum, ilmu, dan kebiasaan yang berlaku.
(9). Hubungan dengan teman sebaya,baik di sekolah yang sama di sekolah lain, di luar sekolah, maupun di
masyarakat pada umumnya
(10) Pemahaman dan pelaksanaan disiplin pada
peraturan sekolah
(11)Pengenalan dan pengamalan pola hidup
sederhana yang sehat dan bergotong royong.
(12) Sikap dan kebiasaan belajar.
(13)Motivasi dan tujuan belajar
(14)Kegiatan, disiplin, dan berlatih belajar
secara efektif, efisien, dan produktif .
(15) Penguasaan materi pelajaran dan latihan
keterampilan.
(16) Keterampilan teknis belajar.
(17) Pengenalan dan pemanfaatan kondisi fisik,
sosial dan budaya yang ada di sekolah, lingkungan sekitar.
(18) Orientasi belajar untuk pendidikan di
perguruan tinggi.
(19) Pilihan dan latihan keterampiian.
(20) Orientasi dan informasi pekerjaan/karir, dunia kerja, dan upaya
memperoleh penghasilan.
(21 ) Orientasi dan informasi lembaga-tembaga keterampilan sesuai dengan pilihan pekerjaan dan arah pengernbangan karir.
(22) Pilihan, orientasi dan informasi perguruan tinggi sesuai dengan arah pengembangan karir.
Masukan Instrumen
a. Konselor
b.Program
c. Sarana
d. Tahapan ( Transisi,
Kegiatan, Pengakhiran, Evaluasi dan
Tindak Lanjut ).
Prosedur
Kerja Konseling Kelompok
Langkah
pertama mengidentifikasi kebutuhan'Konselor
Langkah
kedua, menentukan tujuan.
Langkah
ketiga, memeriksa dan menilai lingkungan nyata siswa di
sekolah.
Langkah
keempat, mengenali sistem klien (siswa).
Langkah kelima, melayani
siswa.
Langkah keenam,monitoring,
evaluasi dan balikan
Sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi proses dan evaluasi hasil
dapat digunakan untuk: (1) memperbaiki dan mengembangkan program konseling
kelompok selanjutnya, (2) memperkirakan keberhasilan upaya konseling kelompok,
(3) memperkirakan perolehan siswa melalui konseling kelompok dalam perkembangan
selanjutnya, (4) penyusunan laporan kepada pihak-pihak yang meinerlukan, dan
(5) memperkuat akuntabilitas konseling kelompok sebagai layanan profesional.
Langkah-langkah
yang ditempuh konselor :
a.
Membina hubungan baik d. Norma kelompok
b.Pelibatan diri e.
Penggalian ide dan perasaan
c. Agenda
KODE ETIK
PROFESI KONSELING
BAB I
PENDAHULUAN
Dasar
Dasar
Kode Etik Profesi Konseling di lndonesia adalah (a) Pancasila, mengingat bahwa profesi
konseling merupakan usaha pelayanan terhadap sesama manusia daiam rangka
ikut membina warga negara yang bertanggung jawab, dan (b) tuntutan profesi,
mengacu kepada kebutuhan dan kebahagiaan klien sesuai dengan orma-norma yang berlaku.
BAB II
KUALIFIKASI DAN KEGIATAN PROFESIONAL KONSELOR
A.
Kualifikasi
Konselor
harus memiliki (1) nilai, sikap, keierampilan, pengetahuan, dan wawasan dalam bidang profesi konseling, dan (2) pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor.
1. Wawasan Pengetahuan,
Keterampilan, Nilai, dan Sikap
a.
Agar dapat memanami orang
lain cengan sebaik-baikirya, konselor harus terus-menerus berusaha mengembangran dan
menguasai dirinya. la harus mengerti kekurangan-kekurangan dan prasangka- prasangka pada dirinya
sendiri, yang dapat mempengaruhi hubungannya dengan orang lain dan mengakibatkan rendiahnya mutu layanan profesional serta
merugikan klien.
b.
Dalam melakukan tugasnya membantu klien,
konselor harus memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendahhati, sabar menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib, dan hormat.
c.
Konselor harus memiliki rasa tanggungjawab terhadap saran dan peringatan yang diberikan
kepadanya, kh ususnya dari rekan – rekan seprofesi dalam hubungannya dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan tingkah
laku profesional sebagaimana diatur dalarn Kode Etik ini.
d.
Dalam menjalankan tugas-iugasnya,
konselor harus mengusahakan mutu kerja yang setinggi mungkin; kepentingan
pribadi, terrnasuk keuntungan material dan
finansial tidak diutamakan.
e.
Konselor harus terampil menggunakan teknik-teknik
dan prosedur- prosedur khusus yang dikembangkan atas dasar
wawasan yang luas dan kaidah-kaidah
ilmiah.
2.
Pengakuan Kewenangan
Untuk dapat
bekerja sebagai konselor, diperlukan pengakuan keahlian
dan kewenangan oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan kepadanya oleh pemerintah.
B. Informasi, testing, dan
Riset
1. Penyimpanan dan
Penggunaan Informasi
a.
Catatan tentang klien yang
meliputi data hasil wawancara, testing, surat-menyurat, perekaman, dan data lain,
semuanya merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boieh digunakan untuk kepentingan klien. Penggunaan
data/informasi untuk keperluan riset atau pendidikan
calon konselor dimungkinkan, sepanjang identitas klien dirahasiakan.
b.
Penyarnpaian informasi mengenai klien kepacia
keluarga atau kepada anggota profesi lain, membutuhkan
persetujuan klien.
c.
Fenggunaan inlormasi tentang klien dalam rangka
konsultasi dengan 'anggota
profesi yang sama atau yang lain dapat dibenarkan,
asalkan untuk kepentingan klien dan tidak merugikan klien.
d.
Keterangan mengenai bahan pro{esional hanya boleh
diberikan 'kepada orang yang berwenang menafsirkan dan menggunakannya.
2. Testing
a.
Suatu jenis tes hanya diberikan oleh petugas yang
berwenang menggunakan dan menafsirkan hasilnya. Konselor
harus selalu memeriksa dirinya apakah ia mempunyai wewenang
yang dimaksud.
b.
Testing diperlukan bila proses pemberian layanan
memerlukan data tentang sifat atau ciri kepribadian yang
rnenuntut adanya perbandingan dengan
sampel yang lebih luas, misalnya taraf intelegensia, rninat, bakat khusus, dan
kecenderungan pribadi seseorang.
c.
Konselor harus memberikan orientasi yang tepat
kepada klien mengenai alasan digunakannya tes dan apa
hubungannya dengan masalahnya. Hasilnya
harus disampaikan kepada klien dengan disertai penjelasan tentang arti dan
kegunaannya,
d.
Penggunaan suatu jenis tes harus mengikuti
pedoman .atau petunjuk yang berlaku bagi tes
yang bersangkutan.
e.
Data yang diperoleh cari hasil testing harus
diintegrasikan dengan informasi lain yang
relah diperoieh dari klien sendiri atau dari sumber
lain. Dalam hal ini data hasil testing harus diperlakukan setaraf dengan data dan informasi lain tentang klien.
f.
Hasil testing
hanya dapat diberitahukan kepada pihak lain sejauh pihak lain
yang diberitahu itu ada hubungannya dengan usaha bantuan
kepada klien dan tidak merugikan klien.
3. Riset
a.
Dalam melakukan riset, di mana tersangkut manusia
dengan masalahnya sebagai subyek, harus dihindari
hal-hal yang dapat merugikan
subyek yang bersangkutan.
b.
Dalam melaporkan hasil riset di mana tersangkut klien sebagai subyek,
harus dijaga agar identitas subyek dirahasiakan.
C. Proses Layanan
1.
Hubungan dalam Pemberian Layanan
a.
Kewajiban konselor harus
menangani klien berlangsung selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan
konselor. Kewaiiban itu berakhir jika hubungan konseling berakhir dalam arti, klien mengakhiri hubungan kerja atau konselor
tidak lagi beftugas sebagai konselor.
b.
Klien sepenuhnya berhak
untuk mengakhiri hubungan dengan konselor, meskipun proses konseling belum
mencapai suatu hasil yang kongkret. Sebaiknya konselor tidak akan melanjutkan hubungan apabila klien ternyata tidak memperoleh
manfaat dari hubungan itu.
2. Hubungan dengan Klien
a.
Konselor harus menghormati
harkat pribadi, integritas dan keyakinan klien.
b.
Konselor harus menempatkan
kepentingan kliennya di atas kepentingan pribadinya. Demikian pun dia tidak bolen memberikan layanan bantuan di luar
bidang pendidikan, pengalaman, dan kemampuan yang dimilikinya.
c.
Dalam menjalankan tugasnya,
konselor tidak mengadakan pembedaan klien atas dasar suku, bangsa, warna kulit, agama atau status sosial ekonomi.
d.
Konselor tidak akan memaksa untuk
memberikan bantuan kepada seseorang dan tidak akan mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa izin dari orang yang bersangkutan.
e.
Konselor bebas memilih siapa
yang akan diberi bantuan, akan tetapi dia harus memperhatikan setiap permintaan
bantuan, lebih-lebih dalam keadaan darurat atau apabila banyak orang yang rnenghendaki.
f.
Kalau konselor sudah turun
tangan membantu seseorang, maka dia tidak akan melalaikan klien tersebut, walinya
atau orang yang bertanggungjawab padanya.
g.
Konselor harus menjelaskan
kepada klien sifat hubungan yang sedang dibina dan batas-batas tanggungjawab
masing-masing, khususnya sejauh mana dia memikul tanggungjawab terhadap klien.
h.
Hubungan konselor
rnengandung kesetiaan ganda kepada klien, masyarakat, atasan, dan rekan-rekan sejawat.
1)
Apabila timbul masalah dalam
soal kesetiaan ini, maka harus diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang
terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor. Dalam hal ini terutama sekali harus diperhatikan
ialah kepentingan klien.
2)
Apabila timbul masalah
antara kesetiaan kepada klien dan lembaga tempat konselor bekerja, maka konselor
harus menyampaikan
situasinya kepada klien dan atasannya. Dalam hal ini klien harus diminta
untuk mengambil keputusan apakah dia ingin meneruskan hubungan konseling dengannya.
i.
Konselor tidak akan
memberikan bantuan profesional kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, apabila
hubungan profesional dengan orang-orang tersebut mungkin dapat terancam oleh kaburnya peranan
masing_masing.
D. Konsultasi dan Hubungan dengan Rekan sejawat
atau Ahli Lain
1. Konsultasi dengan Rekan Sejawat
Dalam
rangka pemberian layanan kepada seorang klien, kalau konselor
merasa ragu-ragu tentang suatu hal, maka ia harus berkonsultasi dengan rekan-rekan sejawat se lingkungan profesi. untuk itu ia harus mendapat izin terlebih dahulu dari kliennya
2. Alih Tangan Tugas
1.
Konselor harus mengakhiri hubungan konseling
dengan seorang klien bila pada
akhirnya dia menyadari tidak dapat mernberikan pertolongan kepada klien tersebut, baik karena kurangnya kemampuan/keahlian maupun keterbatasan pribadinya. Dalam hai ini konselor mengizinkan klien untuk berkonsultasi dengan petugas atau badan lain yang rebih ahli, atau
ia akan mengirimkan kepada orang atau badan ahli
tersebut, tetapi harus atas dasar persetujuan klien.
2.
Bila pengiriman ke ahli lain disetujui krlen.
maka menjadi tanggungjawab konselor untuk menyarankan kepada
klien orang atau badan yang mempunyai keahlian khusus.
3.
Bila konselor
berpendapat klien perlu dikirim ke ahli lain, akan tetapi
klien menolak pergi kepada ahli yang disarankan oleh konselor,
maka konselor mempertimbangkan apa baik-buruknya kalau hubungan yang sudah ada mau diteruskan lagi.
BAB III
HUBUNGAN KELEMBAGAAN
A. Prinsip Umum
1.
Prinsip-prinsip yang berraku
dalam rayanan individuar, khususnya tentang penyimpanan serta penyebaran informasi
tentang klien dan hubungan konfidensial antara konselor.dengan klien, berlaku juga bila konselor bekerja
dalam hubungan kelembagaan.
2.
Apabila konselor bertindak
sebagai konsultas pada suatu lembaga, maka harus ada pengertian dan kesepakatan yang
jelas antara dia dengan pihak lembaga dan dengan klien yang menghubungi konselor di tempat lembaga
itu. Sebagai seorang konsultas, konselor harus tetap mengikuti dasar-dasar pokok profesi
dan tidak bekerja atas dasar komersial.
B. Keterkaitan Kelembagaan
1.
Setiap konselor yang bekerja
dalam hubungan kelembagaan turut bertanggungjawab terhadap pelaksanaan peraturan
kerjasama dengan pihak atasan atau bawahannya, terutama dalam rangka layanan konseling dengan
menjaga rahasia pribadi yang dipercayakan kepadanya.
2.
Peraturan-peraturan
kelembagaan yang diikuti oleh semua petugas dalam lembaga harus dianggap mencerminkan kebijaksanaan lembaga itu
dan bukan pertimbangan pribadi. Konselor harus mempertanggungjavrabkan
pekerjaannya kepada atasannya. Sebaliknya dia berhak pula mendapat perlindungan dari lembaga itu dalam
menjalankan profesinya.
3.
Setiap konselor yang meniadi
anggota staf suatu lembaga harus rnengetahui tentang programplrogram yang
berorientasi kepada kegiatan-kegiatan dari lembaga itu dari pihak lain, pekerjaan konselor harus dianggap
sebagai sumbangan khas dalam mencapai tujuan lembaga itu.
4.
Jika dalam rangka pekerjaan
dalam suatu lembaga, konselor tidak cocok dengan ketentuan-ketentuan atau
kebijaksanaan- kebijaksanaan yang berlaku di lembaga itu, maka ia harus mengundurkan diri dari
lembaga tersebut.
BAB IV
PRAKTIK MANDIRI DAN LAPORAN
KEPADA PIHAK LAIN
A. Konselor Praktik Mandiri (Privat)
1.
Konselor yang berpraktik
mandiri (privat) dan tidak bekerja dalam hubungan kelembagaan terientu, tetap menaati
segenap kode etik jabatannya sebagai konselor, dan berhak untuk mendapat dukungan serta perlindungan
diri dari
rekan-rekan seprofesi.
2.
Konselor yang berpraktik
mandiri wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari organisasi profesi (ABKIN).
B. Laporan kepada pihak Lain
Apabila konselor perlu melaporkan suatu hal tentang klien kepada pihak lain (misalnya:
pimpinan lembaga tempat ia bekerja), atau kalau ia diminta keterangan tentang
klien oleh petugas suatu badan di luar profesinya, dan ia harus juga memberikan
informasi itu, maka dalam memberikan informasi itu ia harus sebijaksana mungkin dengan berpedoman pada pegangan
bahwa dengan berbuat begitu klien tetap dilindungi dan tidak dirugikan.
BAB V
KETAATAN KEPADA PROFESI
A. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban
1.
Dalam meraksanakan hak dan
kewajibannya sebagai konseror, konselor harus selalu mengaitkannya dengan tugas
darr kewajibannya
terhadap klien dan profesi sebagaimana dicantumkan dalam kode etik ini, dan semuanya itu
sebesar- besarnya untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
2.
Konselor tidak dibenarkan
menyalahgunakan jabatannya sebagai konselor untuk maksud mencari keuntungan pribadi
atau rnaksud-maksud lain yang dapat merugikan klien, ataupun menerima komrsi atau balas jasa dalam bentuk
yang tidak wajar.
B. Pelanggarin terhadap Kose
Etik
1.
Konselor harus selalu mengkaji
tingkah laku dan perbuatannya tidak melanggar kode etik ini.
2.
Konselor harus senantiasa
mengingat bahwa pelanggaran terhadap kode etik ini akan merugikan mutu proses dan hasil layanan yang ia
berikan, merugikan klien, lembaga cdna pihak- pihak lain yang terkait,
serta merugikan diri konselor sendiri dan profesinya.
3. Pelanggaran
terhadap kode etik ini akan mendapatkan sanksi berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh ABKIN.
